tirto.id - Selasa pagi, 16 Juni 2020, saya menerima 11 SMS dari Ajip Rosidi. Isinya seragam: Blank. Tanpa satu pun karakter tertera. Paling-paling kepencet, kata saya, kepada diri sendiri.
Sabtu pagi, empat hari kemudian, lagi-lagi nomor Telkomsel Ajip menghubungi. Kali ini menelepon, bukan kirim pesan. Saya angkat panggilannya, dua menit lebih, dan tak mendengar apa-apa. Paling kepencet lagi, ujar saya, lagi-lagi kepada diri sendiri.
Selang lima menit, nomor yang sama menghubungi kembali. Sekarang saya menajamkan telinga, mengucapkan halo berkali-kali, tapi tak ada sahutan apa pun dari seberang sana. Sebelum saya tutup, panggilan berlangsung 18 menit. Hanya suara napas tersengal, berat, putus-putus, sesekali ditingkahi lenguhan-lenguhan pendek yang menimbulkan iba. Saya bergidik. Bayangan Kang Ajip tengah berhadapan dengan ajal tiba-tiba berkelebat di kepala.
“Geus teu bisa hudang tina ranjang. Tapi masih keneh ngeditan buku,” komentar Dea Lugina, pengarang Sunda, ketika saya mengabarkan hal tersebut di grup WhatsApp Buruan.co.
Sementara mengirim pesan ke grup, saya juga mengirim pesan yang sama: pesan bahwa saya mendapat telepon tapi cuma napas terengah-engah yang kedengaran; kepada Nundang Rudagi, anak keempat Ajip Rosidi. Kang Nundang tidak menjawab; selang dua-tiga menit kemudian suaranya jelas terdengar ketika, lagi-lagi, saya menerima telepon dari Kang Ajip.
(Percakapan berlangsung dalam bahasa Sunda)
“Kata Zulkifli tadi Bapak menelepon?”
“Zulkifli? Ini bapak pencet-pencet hp. Kontak paling bawah nomornya Zulkifli.”
Lega mendengar suara anggota Akademi Jakarta tersebut, lekas-lekas saya menyahuti percakapan mereka.
“Halo, ini siapa?” Nundang bertanya. Sosok yang kerap menemani Ajip ke mana pun itu segera memberikan telepon kepada bapaknya, begitu saya menyebutkan nama.
Percakapan dengan Ajip tidak lama, kira-kira satu setengah menit saja. Pembawaannya santai, meski suaranya berat—beberapa kalimatnya bahkan tidak jelas, lazimnya orang tua mengunyah-ngunyah sesuatu.
Tanpa ditanya, ketawa pula, begawan kebudayaan ini bercerita bahwa dirinya sudah sebulan lebih terbujur di ranjang akibat jatuh saat keluar kamar tidur. Mulanya tidak apa-apa, tapi selang sehari pinggangnya merasakan sakit luar biasa. Sesampainya pada soal sakit luar biasa ini, omongan Kang Ajip yang saya pahami hanya lima patah kata: “bujur” (pantat); “dipotret, getihan” (difoto, berdarah); dan “tukang peuseul: (tukang pijat). Setelah itu, barulah artikulasinya kembali normal.
“Mudah-mudahan saja cepat sembuh. Kapan mau ke Pabelan? Kapan ke Pabelan?”
Mendapat pertanyaan demikian, saya kesulitan menjawab. COVID-19 benar-benar bikin waswas bepergian. Tapi karena penulis paling produktif yang belakangan intens saya temui ini lagi-lagi menanyakan kapan saya mengunjunginya, saya jawab sekenanya saja.
“Insyaallah bulan depan, Kang.”
“Oke, ditunggu. Wassalamu’alaikum.”
Kunjungan ke Jatiniskala
Jumat, 13 November 2015, saya diajak budayawan sekaligus akademisi Hawe Setiawan, mengunjungi kediaman Ajip Rosidi. Tanpa pemberitahuan atau janji, selepas makan malam di Hotel Manohara, tempat Borobudur Writer and Reader Festival (BWRF) digelar, seorang kawan lama Kang Hawe mengantarkan kami ke portal Jatiniskala—demikianlah keterangan pada papan kecil yang dipajang di area depan rumah Ajip. Kami jalan kaki barang 150 meter, suara kodok sawah terdengar dari kanan kiri. Di muka gerbang, kami membunyikan genta dan mengucapkan salam.
Seorang perempuan sepuh datang, bertukar sapa dengan Kang Hawe, lalu mengabarkan kalau Kang Ajip masih anteng depan televisi. Kami menyeberangi halaman yang luas, mengamati sebuah bangunan dua tingkat—itulah perpustakaan dengan 40 ribu koleksi—sepetak taman dan pohon kembang kertas, gazebo, menghindari beberapa ekor angsa, sebelum mencapai bangunan utama. Begitu pintu rumah paling besar terbuka, kira-kira pukul 21.30, yang empunya malah menampakkan mimik dan pertanyaan super biasa.
“Eh, Hawe. Ada apa?”
Bagi saya yang lahir dan besar di Tatar Sunda, pertanyaan semacam itu mengagetkan. Alih-alih menanyakan kabar, atau terkejut sebab malam-malam kedatangan tamu dari jauh, tuan rumah malah bersikap datar, bahkan cenderung dingin. Mungkin memang begitu karakternya, saya membatin.
Di rumahnya yang lengang, Ajip tinggal sendirian. Di satu meja tampak tumpukan buku dan koran, kertas-kertas, komputer; di meja lain televisi dan kertas-kertas. Di dinding terpajang sebagian lukisan old master—beberapa saya kenal karena dijadikan sampul buku-buku terbitan Pustaka Jaya; agak di bawah tampak lukisan potret Ajip Rosidi bertandatangan Tisna Sanjaya.
Anak dan pembantu, seperti halnya dapur dan perpustakaan pribadinya, masing-masing berada di bangunan lain, dalam kompleks yang itu juga.
Kami bertandang barang setengah jam. Sepuluh menit pertama, obrolan tawar-tawar saja. Saat Hawe mengenalkan saya sebagai “penyair muda dari Ledeng”, tak sedikit pun Ajip menoleh. Kami berada di sisi kanannya dan sosok asal Majelengka itu memandang lurus ke meja makan, memangku, dan mengelus-elus seekor kucing—mirip Don Corleone.
Barulah keadaan jadi lebih cair setelah kang Hawe, yang sempat lama bekerja dengan Ajip di Pustaka Jaya, bicara tentang pendamping hidup.
“Akang tidak mau cari istri lagi?”
“Hawe, Akang ini sudah tua. Cari yang muda, siapa yang mau; cari yang tua, nanti malah Akang yang repot ngurus.” Ajip tertawa, dan melepas binatang peliharaannya. Ketika ia menikahi Nani Wijaya—satu setengah tahun kemudian—saya terkekeh mengenang omongannya.
Ajip menuturkan, setelah ditinggal Ceu Empat, perempuan yang ia nikahi kala dirinya berusia 17 tahun, hari-harinya di Pabelan masih dijalani dengan menulis, menyunting buku, dan menyusun kamus. Selain itu ia juga rutin membaca buku-buku terbitan baru (terutama sastra dan agama), berlangganan majalah dan koran (dari skala lokal hingga nasional), serta—dan ini yang istimewa—rajin mengirim surat kepada bapak presiden.
“Ini sebagai tanggung jawab Akang saja untuk mengingatkan, kalau-kalau ada hal yang dianggap keliru,” katanya.
Surat itu biasanya dititipkan kepada orang istana yang ia kenal. Di pemerintahan Joko Widodo, Ajip memercayakan surat-suratnya via Teten Masduki.
“Urusan dibaca atau enggak, sampai atau tidak, itu mah terserah. Yang penting tanggung jawab untuk mengingatkan sudah Akang lakukan.”
Sebagai penulis, produktivitas Ajip tak tertandingi. Sejak menerbitkan kumpulan puisi Ketemu di Jalan bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan (1958), jemarinya terus melahirkan ribuan tulisan. Pada 2008 bukunya yang sudah terbit dan yang ia editori berjumlah 154 judul. Temanya beragam: mulai dari kumpulan sajak, cerpen, roman, drama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan kanak-kanak, kumpulan humor, esai dan kritik, linguistik, memoar, bunga rampai, publikasi ilmiah, biografi, hingga ensiklopedi.
Keragaman tema tidak hanya menunjukkan minat dan wawasannya yang luas, tapi juga pergaulannya yang luwes. Dua hal itu kentara betul dalam Hidup Tanpa Ijazah (2008), autobiografi yang Ajip tulis setebal 1.364 halaman, serta Mengenang Hidup Orang Lain (2010), kumpulan yang menempatkan lelaki kelahiran 31 Januari 1938 ini sebagai penulis obituari jempolan.
Terhubung Berkat Utuy
Kamis, 26 September 2019, sebulan setelah dinyatakan lolos Residensi Penulis Kominte Buku Nasional, saya kembali berkunjung ke Jatiniskala. Kali ini sendirian saja. Saya perlu wawancara soal Utuy Tatang Sontani sebelum bertolak ke Rusia. (Ajip adalah orang pertama yang bertemu Utuy di Moskow saat penulis drama Awal dan Mira itu dinyatakan tak jelas rimbanya pasca Peristiwa 1965). Pasangan Indrian Koto dan Mutia Sukma, yang rumahnya saya tumpangi setiba di Jogja, mengingatkan agar tidak terlambat kalau bikin janji dengan Ajip. Orangnya sangat disiplin.
“Dulu teman-teman dari Jogja pernah diundang sarapan di rumah Ajip, pukul 10.00. Mereka terlambat satu jam, dan setibanya di lokasi hidangan di meja malah dibereskan, padahal belum disentuh sama sekali,” kata Sukma.
Untungnya, kedatangan saya disambut hangat, meski harus mengenalkan diri dari awal dan terlambat setengah jam akibat kesasar. Menariknya, sebelum sampai di Jatiniskala, 5 dari 7 orang yang saya tanyai kediaman Ajip bisa menunjukkan jalan—dua orang menggelengkan kepala karena bukan penduduk setempat.
Sepulang dari Jepang, April 2003, Ajip memang memutuskan tinggal di Pabelan, alih-alih di Jakarta atau kembali ke Jatiwangi, Majalengka. Sebelum menempati Jatiniskala, yang lahannya kurang lebih satu hektar, ia lebih dulu beli tanah dekat mata air Parimono, desa tetangga Pabelan.
“Mulanya karena orang yang mempunyai tanah dekat mata air itu hendak menjual tanahnya dan yang berminat membelinya adalah perusahaan air minum botolan. Padahal air dari sana mengairi entah berapa puluh hektar tanah di desa yang lebih ke hilir,” tulis Ajip dalam Hidup Tanpa Ijazah (hlm. 1150).
Keterangan itu bikin saya mengerti, Ajip sangat dikenal dan dihormati bukan sebab karya-karyanya semata, tapi juga karena jasanya tak sepele di tengah-tengah masyarakat. Bahkan di Pondok Pesantren Pabelan, sebagaimana kesaksian Arlian Buana, alumnusnya, berdiri Gedung Jepang. Saya percaya bantuan pemerintah Negeri Sakura untuk pesantren itu terjalin lewat, sedikit banyak, campur tangan Ajip. Selama 22 tahun, ia berkarier sebagai profesor tamu di negeri itu.
“Ahli Sastra Sunda yang kini diakui oleh dunia, Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, adalah mahasiswa Akang,” kata Ajip kala terakhir kali saya menemuinya di Komplek Batan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (8/3/2020).
Saban bulan, sebelum pandemi, Ajip memang mobile. Ia biasa berada di Jakarta, Bandung, dan Pabelan untuk menyelesaikan berbagai urusan.
Hanya, memang, Ajip yang belakangan saya temui bukan Ajip yang dulu lagi. Bukan si tukang kritik yang polemiknya di media masa, terutama Pikiran Rakyat, kerap memantik perdebatan orang. Bukan pula Ajip yang tinggi besar dan dari jauh wibawanya sudah terasa menggentarkan. Badannya yang tegap belakangan bahkan disangga tongkat. Dalam kedekatan yang baru seumur jagung ini, Ajip bagi saya tak ubahnya seorang kakek yang hangat dan peduli.
“Ini Zulkifli? Kok belum berangkat ke Moskow? Akang doakan semoga urusannya lancar,” kata Ajip saat kami tak sengaja bertemu di kediaman Ketua PDS H.B. Jassin, Abrory Djabbar, November 2019.
Meski begitu, sepulang dari Moskow, saya mendapati Ajip yang teguh pada urusan janji. Ajip yang tak segan memarahi dan mengusir tamu, jika yang bersangkutan ingkar. “Kemarin ada mahasiswa UIN Jakarta datang ke sini, mau undang Akang. Akang tolak undangannya.”
Ternyata, kelakuan mahasiswa itu lebih parah dari teman-teman penulis di Jogja. Mereka berjanji menemui Ajip pukul 12.00, tapi baru datang lima jam kemudian. Ajip memang tidak kemana-mana, tapi hal itu sangat mengecewakannya. “Kalau alasannya macet dan kesasar, seharusnya sejak kemarin survei dulu ke sini. Jadi bisa memperkirakan berapa lama waktu tempuhnya,” kata Ajip misuh-misuh.
Saat isu revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) mengemuka, berbagai kelompok bergantian mendatanginya di Komplek Batan. Mereka minta dukungan Ajip agar bersama-sama menolak revitalisasi TIM, gelanggang yang bagi peneliti karya-karya Haji Hasan Mustapa ini tak ubahnya anak kandung sendiri.
“Menurut Google, Gubernur Anies adalah yang gubernur paling bodoh se-alam dunia. Gak tahu tuh gimana caranya Google bisa sampai pada kesimpulan seperti itu, tapi tentunya objektif,” kata Ajip, Rabu (4/3/2020).
Saya bukan pendukung Anies atau Ahok atau Jokowi atau Prabowo. Tapi, mendengar pernyataan seperti itu, saya meringis. Betapa tokoh sastra terkemuka, pemikir kebudayaan pula, pada usia senjanya kesulitan memverifikasi berita. Tapi pada akhirnya, itu toh soal kecil saja. Tak sebanding dengan jasa-jasanya dalam berbagai bidang yang ia geluti.
“Selama di Jepang, Akang terus berpikir kenapa dulu Ali Sadikin sangat percaya kepada Akang. Padahal usia belum mencapai 30 tahun,” kenangnya.
Ajip memang bocah ajaib, wonderkid kesusastraan Indonesia yang gemar berpolemik. Sejak masih berstatus murid Taman Siswa, karyanya sudah menarik perhatian khalayak. Meski karya kreatifnya dalam bentuk puisi atau prosa, sependek amatan saya, tak banyak dibicarakan orang hari ini, jasa-jasanya dalam bidang kebudayaan sepertinya bakal sulit disamai siapapun. Selain turut mengarsiteki lahirnya TIM, Ajip juga satu-satunya orang yang menaruh perhatian sangat besat terhadap perkembangan bahasa daerah.
“Faruk HT menyebut aku sebagai manusia langka dengan kelebihan yang tidak dimiliki oleh H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Subagio Sastrowardoyo. Dia juga menganggapku sebagai sosok yang bisa melepaskan diri dari kecenderungan polarisasi, antaranya polarisasi antara kebudayaan modern dan tradisional,” tulis Ajip dalam Hidup Tanpa Ijazah (hlm. 1155).
Sejak 1989, lewat Yayasan Kebudayaan Rancage, Ajip rutin memberikan Hadiah Sastra Rancage kepada orang-orang yang dianggap punya jasa dalam pengembangan bahasa dan sastra daerah. Beberapa karya yang dinilai antara lain karya-karya berbahasa Sunda, Jawa, Bali, Madura, Batak, Lampung, dan Banjar. Pernah saya dengar, untuk mengongkosi kegiatan ini tak jarang Ajip menjual koleksi lukisannya di salah satu balai lelang di Singapura.
Pekan lalu, setelah masuk Rumah Sakit lantaran terjatuh lagi (kini yang kena kepalanya) dan selesai menjalani operasi, Abrory Djabbar menyatakan Ajip ingin melepas lukisan-lukisan Nashar koleksinya. “Ia ingin membuat pesantren yang akan dikelola cucunya, di atas tanah yang akan diwakafkannya. Namanya pesantren Nashar. Dua tahun sebelum wafat Nashar begitu tekun beribadah.”
“Kapan mau ke Pabelan? Kapan ke Pabelan?”
Pertanyaan Ajip kembali membayangi saya semalam. Konteks pertanyaan itu mulanya adalah ajakan tetirah. Ajip mengajak saya dan Pak Son Diamar, Bu Lia Dirmara, dan Teh Sitha Ramadir—anak-cucu Utuy Tatang Sontani—agar berkumpul di Pabelan.
Menyaksikan pertemuan kedua keluarga itu pada Minggu (8/3/2020) saya terharu. Jauh di masa lalu, Ajip yang antikomunis sempat berseteru dengan Utuy yang masuk Lekra. Hubungan keduanya memang membaik pada 1975, setelah Ajip, berkat bantuan Indonesianis Rusia Prof. Villen Sikorsky, menemui Utuy di sebuah rumah sakit di Moskow.
Pada 1979, sehari setelah Son Diamar menyunting seorang gadis Minang, Ajip datang menyampaikan berita yang ia dapat dari Kedutaan Besar Uni Soviet: Utuy meninggal di Moskow akibat serangan jantung. Sukacita mendadak berubah menjadi kesedihan saat itu juga dan sejak itu pula kedua keluarga tak saling berhubungan lagi. Terlebih, Ajip mengajar di Jepang dan Sondi melanjutkan studi ke AS.
“Nah, sekarang mah kalian saudaraan sama bintang film. Nani kan sudah jadi istri Akang, panggil saja bibi. Bapak Utuy juga sudah Akang anggap keluarga sendiri,” kata Ajip kepada Sondi, Lia, dan Sitha.
Meski bukan bagian dari keluarga, mendengar pernyataan itu sontak saya ikut tertawa. Apalagi tiap kali mendengar Ajip menyebut dirinya “Raka” di hadapan Nani Wijaya, manis betul kedengarannya.
Tapi kini semua tahu: Ajip Rosidi, peraih Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1993), meninggal pada Rabu, 29 Juli 2020 pukul 22.26 di Rumah Sakit Tidar, Magelang. Siapapun tak bakal bertemu Ajip di Pabelan atau di manapun dan tawa serta makiannya tak akan kedengaran lagi.
Editor: Ivan Aulia Ahsan