Menuju konten utama

Tarik-ulur Aturan Presidential Threshold dalam Pilpres 2019

Partai Demokrat menyayangkan sikap pemerintah yang mengancam walk out dari pembahasan RUU Pemilu.

Tarik-ulur Aturan Presidential Threshold dalam Pilpres 2019
Mendagri Tjahjo Kumolo (tengah) didampingi Sekjen Kemendagri Yuswandi A Temenggung (kiri) mengikuti rapat kerja dengan pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu masih buntu terutama pemerintah dan DPR belum sepakat mengenai ketentuan “presidential threshold" guna menjadi pedoman pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019.

Ada lima isu krusial dalam RUU Pemilu: ambang batas parlemen, ambang batas partai mengajukan calon presiden (presidential threshold), kuota suara per-daerah pemilihan, sistem pemilu, dan metode konversi suara. Namun, yang paling menyita perdebatan sejumlah fraksi di DPR adalah ketentuan presidential threshold.

Ada tiga opsi yang berkembang di DPR: 20-25 persen; ada yang mengusulkan 0 persen; dan ada yang menginginkan 10-15 persen. Sementara pemerintah ingin parpol dan gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Sejauh ini baru tiga partai yang mantap mendukung usulan pemerintah: PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Nasdem. Sementara 7 fraksi lain ingin ketentuan presidential threshold lebih rendah, dan bahkan ditiadakan.

Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu menawarkan sistem paket untuk memutuskan lima isu krusial dalam RUU Pemilu.

“Paling tidak ada empat variasi,” kata Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy, pada Senin lalu, seperti dikutip Antara.

Variasi pertama, kata Lukman, ambang batas parlemen sebesar 5 persen, presidential threshold sebesar 10-15 persen, kuota suara per daerah pemilihan 3-8, sistem pemilu terbuka, dan metode konversi suara jenis Sainte-Lague murni (penghitungan lebih proporsional, menguntungkan partai kecil).

Variasi kedua: ambang batas parlemen sebesar 5 persen, presidential threshold sebesar 20-25 persen, kuota suara per-daerah pemilihan3-8 suara, sistem pemilu terbuka terbatas, dan metode konversi suara Sainte-Lague murni.

Variasi ketiga: ambang batas parlemen 4 persen, presidential threshold 0 (nol) persen, kuota suara per daerah pemilihan 3-10 suara, sistem pemilu terbuka, dan metode konversi suara Kuota Hare (2 tahapan: menentukan harga satu kursi dalam satu dapil dengan menggunakan rumus suara dibagi kursi; jumlah perolehan suara parpol di suatu dapil dibagi hasil hitung harga satu kursi di tahap pertama untuk mengetahui jumlah perolehan kursi dari masing-masing partai di dapil tersebut).

Variasi keempat: ambang batas parlemen 4 persen, presidential threshold 10-15 persen, kuota suara per daerah pemilihan 3-10 suara, sistem pemilu terbuka terbatas, dan metode konversi suara Sainte-Lague murni.

Meski muncul empat tawaran dari pembahasan RUU Pemilu, sampai kini semua fraksi belum mencapai kesepakatan. Alasannya, rapat untuk mengambil keputusan yang diagendakan Pansus RUU Pemilu selalu tertunda, padahal regulasi ini akan menjadi landasan penyusunan Peraturan KPU.

Pemerintah Ancam Tarik Diri

Pemerintah sendiri meminta agar DPR mempercepat penyelesaian pembahasan RUU Pemilu karena sudah harus diundangkan pada akhir Juni 2017. Bahkan, pemerintah mengancam akan tarik diri dari pembahasan RUU Pemilu apabila legislatif masih emoh.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, jika pemerintah menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu, maka pembahasannya tidak bisa dilanjutkan. Namun, pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019 tetap bisa digelar serentak dengan menggunakan regulasi yang lama.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Hanura Sarifudin Sudding. Menurutnya, kalau pembahasan RUU Pemilu buntu, maka UU Pemilu lama diberlakukan.

Sudding mengatakan, pemerintah tinggal mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pelaksanaan Pemilu serentak sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi.

“Harus ada payung hukumnya dengan membuat Perppu Pemilu serentak karena dalam UU nomor 8 tahun 2015 tidak diatur tentang Pemilu serentak,” ujarnya.

Sementara itu, Partai Demokrat menyayangkan sikap pemerintah yang mengancam walk out dari pembahasan RUU Pemilu. Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Imelda Sari mengatakannya "kemunduran politik."

Imelda menuduh, jika ancaman itu dilakukan, "pemerintah tidak menghargai kerja keras legislatif" untuk pembahasan UU Pemilu.

“Kalau kayak gitu, kemunduran demokrasi, anggaran sudah keluar, waktu, segala macam. Kan, orang sudah kerja,” kata Imelda saat dihubungi Tirto, Jumat (16/6).

Imelda mengatakan, langkah penetapan ambang batas partai 0 persen untuk bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden cukup masuk akal, sebagaimana diusulkan Partai Demokrat. Ia menilai, partai-partai kontestan Pemilu ingin mengajukan kader terbaiknya dalam Pilpres 2019. Apalagi, Pemilu legislatif dan Pemilu presiden 2019 akan digelar secara serentak sehingga, klaimnya, berdampak secara politik di masa depan.‎

“Kita maunya capres sendiri, karena Pemilu serentak, punya kader mumpuni, ingin mengajukan sendiri, baik Gerindra, PAN, dan lain-lain. Kita mau kader sendiri yang diajukan,” katanya

enetapan ambang batas 20 persen, kata Imelda, bak seseorang yang membeli tiket bioskop yang sudah disobek. Ia mengingatkan, ketentuan presidential threshold 0 persen juga disetujui partai lain.

Imelda mengklaim bahwa selain Partai Demokrat yang mengusulkan nol ambang batas, ada juga PKB, Gerindra, PAN, PKS, dan PPP.

Baca juga artikel terkait RUU PEMILU atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Fahri Salam