tirto.id - Pemberlakuan tarif bagasi diyakini dapat berimbas pada industri cinderamata dan oleh-oleh di kawasan wisata. Hal ini akan berefek pada omzet penjualan toko souvernir dan UMKM yang ada.
Peneliti pariwisata dan Dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Baiquni membenarkan hal itu sebab konsumen memerlukan bagasi yang cukup untuk membawa oleh-oleh. Dengan adanya bagasi berbayar masyarakat akan menyesuaikan bawaannya sehingga berpotensi menurunkan volume barang yang akan dibawa pulang ke kampung halamannya.
Namun ia meyakini bila kunjungan wisatawan masih tetap terjaga, hanya saja terdapat perubahan dalam sisi spending.
"Ya memang perilakunya yang terdampak. Bagi wisatawan domestik, pembelian barang-barang di daerah wisata dalam jumlah banyak akan berkurang," ucap Baiquni saat dihubungi Reporter Tirto pada Kamis (31/1).
Baiquni mengatakan dari pengamatannya wisatawan kini sedang menyesuaikan dengan kebijakan tarif bagasi itu. Dari cerita yang ia terima, penumpang mulai membiasakan diri membawa tas jinjing tambahan.
Tujuannya agar oleh-oleh dapat dibawa di kabin. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir dengan pungutan tarif bagasi namun akan berpengaruh pada kabin yang semakin penuh dengan barang.
"Orang juga bawanya jadi ke kabin. Kabin jadi penuh. Mereka bawa second bag supaya masuk kabin," ucap Baiquni.
Kendati demikian, Baiquni menuturkan dampak ini belum tentu terjadi pada wisatawan mancanegara. Sebab umummya, mereka kata Baiquni cenderung lebih praktis seperti membawa kebutuhan barang relatif sedikit dan tidak biasa membawa oleh-oleh.
Efeknya baru dirasakan bila terdapat wisman yang membawa barang spesifik seperti papan selancar atau tongkat golf pribadi. Namun, ia melihat terdapat peluang bila hal itu dapat menjadi insentif bagi industri penyewaan lokal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari