tirto.id - “Kalau mau tahu dia orang Muntilan atau bukan, lihat meja tamunya saat Lebaran: ada suguhan tapé ketan atau tidak….”
Terhimpit di antara Yogyakarta-Magelang-Semarang dan berada di tengah rute perjalanan ke tujuan wisata super prioritas Candi Borobudur, membuat keberadaan Muntilan seringkali terlewatkan. Padahal di kecamatan yang luasnya tak lebih dari 30 kilometer persegi ini ada titik-titik penting bagi umat beragama di Indonesia. Dari Islam, Katolik, sampai Budha, Konghuchu, dan Tao.
Mulai Pesantren Darussalam Watucongol yang kerap jadi kunjungan para tokoh nasional jelang perhelatan politik, komplek sekolah Van Lith dan gereja Santo Antonius yang menjadi titik penyebaran Katolik di Pulau Jawa, juga klenteng Hok An Kiong tempat ibadah Tri Dharma yang menyimpan hio loo atau tempat dupa yang diklaim terbesar di kawasan Asia, bahkan mungkin di dunia setelah Tiongkok. Dari berbagai perbedaan yang ada, ada satu identitas yang mengikat orang-orang Muntilan dari berbagai latar belakang: tapé ketan.
Tapé ketan pada dasarnya adalah hasil dari fermentasi beras ketan (Oryza sativa glutinosa) dengan ragi tapé. Ragi tapé ini merupakan campuran beberapa mikroorganisme seperti kapang Amylomyces rouxii Calmette dan ragi Endomycopsis burtonii.
Menurut Cronk dkk. dalam Indonesian Tapé Ketan Fermentation (1977), ragi tapé ini adalah elemen yang dibutuhkan untuk mengubah beras ketan kukus menjadi bercita rasa asam dan manis, bertekstur sedikit basah, dengan kandungan alkohol ringan.
Selain di Muntilan, tapé ketan ini juga ditemui di daerah lain. Di wilayah Jakarta dan sekitar, tapé ketan dibuat dari beras ketan hitam dan disajikan dengan uli. Uli atau juga dikenal sebagai juadah terbuat dari beras ketan putih yang dikukus hingga tanak, lalu ditumbuk sampai halus dengan lumpang dan alu dari kayu, dan dipotong persegi atau sesuai selera. Sajian ini mirip dengan lamang tapai yang jamak ditemui di Sumatera. Lamang adalah penganan dari beras ketan putih, santan, daun pandan, dan garam yang dimasak dalam ruas bambu yang dibakar dengan api kecil hingga masak.
Sedangkan di wilayah Cirebon dan sekitar, tapé ketan terbuat dari beras ketan putih yang dibungkus dengan daun jambu. Untuk buah tangan, tapé ketan dari Cirebon ini biasanya diwadahi dalam ember plastik hitam bertutup. Kudapan-kudapan berbasis beras ini dalam penjelasan Fadly Rahman di buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) banyak ditemui di wilayah-wilayah yang memiliki pembudidayaan padi yang masif sejak awal abad ke-19 seperti Jawa dan Sumatera.
Tapé ketan Muntilan sendiri dekat dengan tapé ketan Cirebon. Berbahan dasar beras ketan putih kemudian diberi kelir hijau muda dari daun suji. Ada yang dibungkus dalam tum, wadah dari daun pisang yang dipotong persegi kemudian dilipat sisi kanan dan kirinya ke arah tengah lalu disematkan lidi sebagai pengunci untuk makanan-makanan basah. Ada pula yang lebih praktis dengan menaruh di stoples besar.
Menjelang Lebaran biasanya teras atau ruang tamu rumah-rumah di Muntilan dipenuhi dengan tampah-tampah bambu besar. Tampah-tampah ini berisi beras ketan berwarna hijau yang sudah ditaburi ragi tapé yang dialasi dan ditutupi daun pisang. Lalu didiamkan dalam suhu ruang sekitar dua sampai tiga hari sebelum matang sempurna saat gema takbir sudah dikumandangkan di corong-corong pengeras suara masjid.
Jika baru pertama kali mengunjungi rumah orang Muntilan saat Lebaran, boleh jadi Anda akan keheranan dengan cara daripada orang Muntilan menikmati tapé ketan. Mereka makan tapé ketan dengan emping melinjo!
Entah sejak kapan food pairing ini populer, tapi tapé ketan Muntilan dan emping melinjo ini telah lama berjalan beriringan dengan segala keajaiban-keajaibannya. Seperti Bonnie dan Clyde atau Sid Vicious dan Nancy Spungen; berandalan, lekat dengan kriminalitas, tapi di lain sisi jadi perwujudan kisah cinta nan hakiki.
Tapé ketan dengan kadar alkohol sekitar tujuh persen serta rasa asam manisnya bukan makanan ramah bagi yang punya masalah pencernaan. Sementara emping melinjo memiliki kandungan purin relatif tinggi, berkisar 50 hingga 150 miligram per 100 gram sajian, yang dapat memicu gejala asam urat jika dikonsumi secara berlebih.
Toh, meski punya sederet catatan tidak berkelakuan baik, tapé ketan Muntilan dan emping melinjo saling melengkapi sebagai sejoli. Manis dan asam tape ketan Muntilan dipadukan dengan dan sedikit getir emping melinjo. Kelembutan ketan bertemu kerenyahan emping. Ya, mirip seperti hidup yang selalu punya dua sisi.
Krusialnya perkara tape ketan saat Lebaran ini setidaknya teramati dari Ibu saya yang bersikukuh selalu membuat tapé ketan Muntilan setiap Lebaran saat masih tinggal di Bogor. Bisa ditebak banyak tamu-tamunya yang keheranan dengan kombinasi tapé ketan Muntilan dan emping melinjo tadi. Dan Ibu menjadi Duta Besar Muntilan yang baik.
Berdiplomasi bahwa kombinasi hidangan ini harus dicoba setidaknya sekali seumur hidup, menerangkan dengan jelas dan rinci berbagai kenikmatan-kenikmatan tapé ketan Muntilan, sekaligus memberikan tutorial cara Muntilan menikmati tapé ketan: menggunakan emping sebagai sendok. Banyaknya tamu yang ketagihan membuat Ibu tak segan membungkus tapé ketan Muntilan buat mereka, layaknya simbol persahabatan antarbangsa.
Perkara kedua bisa dilihat dari daftar kerabat di Muntilan dan sekitar yang perlu dikunjungi ketika Lebaran. Ibu memiliki semacam daftar rumah kerabat yang punya sajian tapé ketan Muntilan yang enak. Setidaknya ada tiga rumah yang menurut Ibu tape ketannya layak dipujikan: adik perempuan Simbah dan dua lagi saya agak lupa hubungan kerabatnya.
Tapé ketan di rumah mereka punya karakteristik rasa manis dan asam yang seimbang, tidak terlalu berair tapi juga tidak kelewat pera, dan pastinya tidak ketinggalan satu toples besar emping melinjo. Tentu dengan semakin bertambahnya usia dan meningkatnya kesadaran menjalani gaya hidup sehat, tapé ketan Muntilan beserta emping tadi semakin bijak dikonsumsi oleh Ibu dan Bapak.
Di luar momentum Hari Raya, tapé ketan Muntilan biasanya disajikan sebagai wedang tapé di warung-warung bakmi. Sesendok makan tapé ketan Muntilan, satu sendok gula pasir, diseduh dengan air panas atau dibubuhi es batu. Sesederhana itu, tapi ampuh sebagai pengusir bosan saat menunggu antrian di warung bakmi yang bisa sampai dua digit.
Jika ingin dijadikan sebagai buah tangan, ada dua toko di Muntilan yang bisa dikunjungi. Pertama Tapé Ketan Muntilan 181 yang papan namanya langsung menyambut jika kamu masuk kota Muntilan dari arah Yogya. Mengklaim sebagai tapé ketan Muntilan yang pertama sejak tahun 1935, tapé ketan 181 punya cita rasa asam yang lebih dominan ketimbang rasa manisnya.
Sementara jika ingin tapé ketan Muntilan yang lebih manis, bisa membeli buatan Toko Nyonya Pang yang berdiri sejak tahun 1912. Letaknya di tengah kota, hanya berjarak sekitar satu kilometer dari toko sebelumnya. Keduanya menjual tapé ketan Muntilan yang belum matang dalam kemasan stoples plastik dalam berbagai berat. Belum matang artinya perlu dua sampai tiga hari lagi agar siap disantap. Setelah dibuka, tapé ketan Muntilan ini bisa tahan sampai dua minggu jika disimpan di lemari pendingin.
Orang Muntilan boleh merantau sampai jauh, tapi tapé ketan tetap jadi identitas yang tak bisa ditinggalkan.
Editor: Nuran Wibisono