Menuju konten utama

Tanggapan Kompolnas Soal Demonstrasi Polisi di Halmahera Selatan

Komisioner Kompolnas Andrea Poeloengan menjelaskan ada dua sisi dari peristiwa demonstrasi anggota Polri di Halmahera Selatan yakni sisi pengunjuk rasa dan kapolres yang dituntut oleh massa.

Tanggapan Kompolnas Soal Demonstrasi Polisi di Halmahera Selatan
Lambang Polri. FOTO/polri.go.id.

tirto.id - Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Andrea Poeloengan mengatakan ada dua sisi dari peristiwa demonstrasi anggota Polri di Halmahera Selatan yakni sisi pengunjuk rasa dan kapolres yang dituntut oleh massa.

“Sebagai instansi sipil maka hak dan kewajiban tanggung jawab hukumnya melekat pada anggota Polri. Sehingga berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan pendapat di muka umum unjuk rasa oleh anggota Polri yang sesuai prosedur adalah hal yang wajar,” ujar Andrea ketika dihubungi Tirto, Selasa (30/4/2019).

Sesuai prosedur, lanjut dia, diantaranya seperti tidak membawa senjata, tidak merusak atau melukai dan menyampaikan pemberitahuan sebelumnya perihal izin unjuk rasa kepada pejabat Polri yang berwenang.

“Kasus yang di Halmahera Selatan, dugaan pelanggaran anggota polisi adalah melakukan penyampaian pendapat di muka umum tidak dengan pemberitahuan sebelumnya [bukan izin],” kata Andrea.

Ia pun merujuk kasus unjuk rasa polisi di Belanda dan Spanyol yaitu polisi yang unjuk rasa dengan yang tidak, dibedakan dengan menggunakan atribut tertentu seperti rompi.

“Sementara dugaan yang terjadi di Halmahera Selatan tidak seperti itu, harusnya Kapolres memerintahkan pejabat dan anggota yang tidak unjuk rasa menggunakan rompi misalnya, untuk membedakan dengan yang sedang menuntut hak hukumnya,” jelas Andrea.

Ia menambahkan sebagai instansi sipil, Polri telah mengatur dalam aturan internalnya bukan saja hanya patuh kepada pimpinan, tapi juga punya hak menolak atas perintah pimpinan yang tidak benar dan juga ada tata cara pengaduan atau pelanggaran oleh anggota Polri.

Sedangkan dari sisi oknum pejabat Polres atau oknum Kapolres, tambah Andrea, selain menurunkan anggota, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) juga melakukan cara lain seperti Kapolres tersebut segera dicopot oleh Kapolda dan diganti oleh Pjs untuk dilakukan pemeriksaan.

“Adanya unjuk rasa anggota dapat juga dilihat sebagai ketidakmampuan Kapolres dalam memimpin anggotanya dan kurangnya legitimasi kedudukan Kapolres di mata sebagian anggota,” ucap dia.

"Sangat disesalkan jika hanya tim dari Div Propam yang turun tangan. Kabareskrim sudah seharusnya pada kesempatan pertama mengirimkan Tim Penyidik Gabungan," tambahnya.

Selain itu, untuk membuktikan integritas kelembagaan, Kabareskrim seharusnya mengirimkan Tim Penyidik Gabungan dari Direktorat Tipikor dan Subdit Tindak Pidana Pencucian Uang.

"Artinya harus segera, bukan Propam saja yang segera [bertindak]. Karena semakin lama biasanya alat bukti semakin bias dan bisa hilang. Selain itu, akar masalahnya adalah dugaan Tindak Pidana Korupsi dan bisa jadi tambah dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang karena pengelolaan yg tidak beres. Unjuk rasa hanya dampak saja," sambung dia.

Menanggapi hal tersebut, menurut Andrea, Divisi Propam berfokus terhadap dugaan pelanggaran anggota dalam berunjuk rasa, sedangkan tim penyidik gabungan fokus pada dugaan pelanggaran terkait pengelolaan anggaran pemilu.

“Mengapa bukan Polda setempat yang disarankan turun, karena pihak Polda juga sebaiknya diperiksa oleh Divisi Propam, mengapa potensi gangguan yang menjadi ambang gangguan kemudian malah menjadi gangguan nyata berupa tidak dapat diantisipasi,” kata Andrea.

Viral video personel kepolisian berdemo di halaman kantor Polres Halmahera Selatan, Maluku Utara, diduga karena menuntut honor pengamanan pemilu dan mereka diduga mogok kerja.

Kejadian itu pada Senin (29/4/2019), sekitar pukul 08.00 WIT atau selesai apel pagi. Sebuah ban dibakar di halaman polres, ratusan anggota polisi berkumpul dan mulai menuntut haknya. Bahkan isunya ada potongan anggaran pengamanan yang dilakukan oleh Kabag Ops Polres Halmahera Selatan.

Kapolda Maluku Utara Brigjen Pol Suroto menyatakan terjadi kemoloran dalam pemilu setempat sedangkan prediksi dari tahap pemungutan hingga penghitungan suara hanya enam sampai tujuh hari sesuai jadwal yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga menimbulkan persepsi anggota polisi bahwa mereka tidak mendapatkan bayaran atau jumlah bayaran kurang ketika pengamanan pemilu.

Baca juga artikel terkait DEMO POLISI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri