Menuju konten utama

Tanggapan Amnesty International Soal Penolakan PK Ahok oleh MA

Atas tindakannya menolak PK Ahok, maka MA melewatkan kesempatan memperbaiki hukum yang tidak adil.

Tanggapan Amnesty International Soal Penolakan PK Ahok oleh MA
Puluhan orang dari beberapa ormas Islam melakukan aksi menolak pengajuan PK Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Senin (26/2/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Amnesty International Indonesia menyesalkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama pada tanggal 28 Maret 2018 lalu.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan, dengan menolak PK Ahok, maka MA melewatkan kesempatan memperbaiki hukum yang tidak adil.

"MA kehilangan kesempatan untuk memperbaiki hukum yang tidak adil dan memastikan perlindungan atas kemenangan berpendapat dan berkeyakinan di Indonesia," ucap Usman, di Kantor Amnesty International Indonesia, Menteng, Rabu (5/4/2018)

“Praktik pemenjaraan dengan vonis penodaan agama tidak adil dan melanggar kewajiban HAM Indonesia dalam hukum international,” lanjut dia.

Usman mengatakan, sejak 2005 hingga 2017, ada 116 orang yang dituntut menodai agama dengan merujuk Undang-Undang nomor 1/PNPS Tahun 1995 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta Pasal 156 KUHP. Salah satu orangnya adalah Ahok.

"Amnesty mencatat ada 112 yang telah dituntut dan di pidana dengan pasal penodaan agama. Ahok adalah pejabat publik dengan pangkat tertinggi pertama yang dipidana dengan pasal penistaan agama," ucapnya.

Pasal Penodaan Agama Jadi Dalih Kekerasan Kelompok Intoleran

Usman menegaskan, pasal penodaan agama berpotensi memperlebar jurang sosial masyarakat. Pasal penodaan agama menjadi dalih kelompok intoleran untuk melakukan kekerasan, seperti yang terjadi pada 168 warga Syiah di Sampang Madura dan kasus Organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Saat itu, kata Usman, terjadi pengusiran dan penangkapan 3 pimpinan besar Gafatar yaitu Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis Tumanurung dan Andry Cahya.

"Pasal ini memperparah keterbelahan sosial. Sudah muncul pembenaran untuk melakukan kekerasan kepada orang-orang karena pelanggaran agama. Kasus-kasus yang paling menyentuh adalah pengusiran 168 penganut Syiah [ustaz] Tajul Muluk pada tahun 2012 serta Organisasi Gafatar dengan pasal penodaan agama," ucapnya.

Terakhir, Usman meminta agar pemerintah Indonesia menghapus UU PNPS 165, Pasal 156 KUHP dan membebaskan semua terpidana kasus penodaan agama seperti Ahok dan juga tersangka lainnya.

"Sehingga kami meminta kepada pemerintah otoritas Indonesia untuk mengakhiri pasal penodaan agama serta memberikan bebas bersyarat kepada semua tersangka," tutupnya.

Diskusi tersebut juga turut dihadiri oleh Fiti Lety Indra selaku kuasa hukum Ahok, pianis Ananda Sukarlan dan Agus seorang mantan pengikut organisasi Gafatar.

Untuk diketahui, Ahok divonis 2 tahun penjara dalam kasus penodaan agama pada 9 Mei 2017. Kemudian, pihak kuasa hukum mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA). Namun, pada 28 Maret 2018, MA menolak permohonan PK kasus Ahok.

Baca juga artikel terkait SIDANG PK AHOK atau tulisan lainnya dari Naufal Mamduh

tirto.id - Hukum
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Alexander Haryanto