tirto.id - Lebaran pertama orang Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dirayakan tak lama setelah proklamasi. Saat Sukarno dan Hatta bersepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, hari itu baru masuk bulan puasa hari kesembilan atau 9 Ramadan 1334 Hijriah.
Pada lebaran pertama sebagai bangsa merdeka, tidak banyak yang bisa dirayakan. Saat itu, tentara Jepang masih berjaga di sekitaran Jakarta. Salat Idul Fitri pun berlangsung dengan penjagaan ketat dari tentara Jepang. Rencana salat Id di halaman Gedung Proklamasi di Pegangsaan timur pun tidak terlaksana.
Pada malam lebaran pertama, Sukarno mendapatkan tamu misterius. Pertemuan itu sudah direncanakan oleh Sayuti Melik jauh-jauh hari sebelumnya. Pada malam takbiran, Sukarno meminta Dokter Raden Soeharto, dokter pribadinya untuk menyediakan tempat untuk pertemuan tersebut.
Dalam buku Saksi Sejarah, dr. Soeharto menceritakan pertemuan itu dilakukan di rumahnya, di jalan Kramat Raya nomor 128. Selepas Isya, Sukarno datang bersama seorang ajudannya. Tak lama berselang, Sayuti Melik menyusul bersama tamu misterius itu.
“Berturut-turut saya tuntun Bung Karno dan tamu misterius itu ke kamar yang saya sediakan. Dalam kegelapan malam itu sang tamu rahasia memperkenalkan dirinya kepada saya sebagai Abdulrajak dari Kalimantan,” tulis dokter Soeharto.
Setelah mengantar tamu, lampu semua dimatikan dan Soeharto keluar dari kamar itu, sementara Sayuti Melik dan ajudan Sukarno berjaga di depan rumah. Pertemuan rahasia mengundang rasa ingin tahun Soeharto. Namun, ia sama sekali tidak bisa menguping pembicaraan dua orang itu.
Belakangan, dr. Soeharto baru mengetahui siapa sebenarnya sosok misterius itu. Dalam suatu perjalan ke Solo bersama Hatta pada Maret 1946, Sukarno membeberkan siapa sebenarnya sosok misterius itu. Abdulrajak adalah nama samaran dari Tan Malaka.
“Mengenai pertemuan rahasia itu saya baru mengetahuinya secara jelas pada awal tahun 1946, ketika saya menyertai perjalanan Bung Karno dan Bung Hatta ke Solo dalam rangka menghadiri sidang Pleno KNIP. Ketika itu bung Hatta menolak permintaan Tan Malaka untuk mengadakan pertemuan empat mata di luar penginapan bung Hatta,” tulis Soeharto.
Lebaran Pun Membahas Politik
Belum genap sebulan merdeka, topik obrolan Sukarno masih seputar politik dan mempertahankan kemerdekaan. Ia sudah memikirkan pilihan-pilihan terburuk. Apalagi ia dan Hatta sudah tentu menjadi target tentara Jepang.
Saat lebaran pun topik itu tidak pernah dilewatkan. Bahkan pertemuan dengan Tan Malaka, sang tamu misterius itu, bukan sekadar untuk bersilaturahmi seperti kebanyakan orang ketika lebaran. Malam itu, keduanya membahas kelangsungan kemerdekaan Indonesia.
Tan Malaka menawarkan kemungkinan jika sesuatu yang buruk terjadi pada Sukarno dan Hatta. Ia menyediakan diri untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan jika Sukarno dan Hatta dibunuh atau ditawan Jepang.
“Secara lisan Bung Karno mengatakan akan membuat testamen berisi penunjukan siapa yang akan meneruskan pimpinan nasional jika terjadi hal-hal seperti tersebut di atas,” tulis Soeharto.
Pada pertemuan pertama itu, Sukarno belum mengambil keputusan. Pada pertemuan selanjut dengan Tan Malaka di rumah Soebardjo bersama Hatta, disepakati ada empat orang nama yang dipercaya sebagai penerus jika terjadi sesuatu pada Sukarno dan Hatta. Keempat orang itu yakni Tan Malaka, Mr. Iwa Kusumasumantri, Sjahrir, dan Mr. Wongsonegoro.
Sosok Sang Tamu Misterius
Usulan Tan Malaka itu bukan tanpa pertimbangan. Tan Malaka bukanlah orang sembarangan yang baru muncul ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Sukarno memang belum mengenal dekat Tan Malaka secara pribadi. Pertemuan Sukarno dengan Tan Malaka adalah pertemuan gagasan.
Di masa mudanya, Sukarno adalah pembaca buku-buku Tan Malaka. Dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, sejarawan Harry Poeze menuliskan bahwa Sukarno mengenal risalah politik Tan Malaka sejak 1920an, lewat dua karya Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia dan Massa Actie.
“Terutama risalahnya yang kedua telah sangat berpengaruh pada pemikiran politik Sukarno, maka ketika pada tahun 1931 Sukarno diadili karena tuduhan menghasut pemberontakan, dalam vonis disebut referensi berkali-kali pada Massa Actie yang sangat penting baginya,” tulis Poeze.
Tan Malaka lahir di Sumatera Barat 2 Juni 1897. Semasa hidupnya, ia bergerilya mengupayakan kemerdekaan Indonesia dan sempat diasingkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Ia pernah menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia dan pernah mendirikan partai Murba. Ia meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949. Di akhir hayatnya, sang tamu misterius ini digelari pahlawan Nasional.
Editor: Maulida Sri Handayani