tirto.id - Donald Trump resmi menarik Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan Trans-Pacific Partnership [TPP], sehari setelah dilantik sebagai Presiden AS. Keputusan itu diambil sebagai upaya untuk melindungi industri dan tenaga kerja AS.
“Hal besar bagi pekerja Amerika atas apa yang kita lakukan baru saja,” kata Trump, sambil memperlihatkan surat perintah penarikan AS dari TPP yang baru saja ditandatanganinya pada Senin (23/1/2017).
Pada hari pertamanya sebagai Presiden AS, Trump juga menandatangani surat untuk melarang pendanaan bagi kelompok internasional yang mendukung aborsi.
Keputusan Trump untuk menarik AS dari TPP bukan kejutan. Sejak kampanyenya, Trump selalu menyuarakan perlindungan terhadap pasar AS. Untuk itu, ia secara tegas menyatakan akan menarik AS dari kesepakatan TPP jika terpilih.
“Ini [TPP] adalah potensi bencana besar bagi negara kita [Amerika],” tegas Trump dalam pidato usai kemenangannya pada November 2016 lalu. Ia menegaskan, Amerika tidak akan melakukan negosiasi ulang untuk kesepakatan TPP ini.
“Sebaliknya, kami akan menegosiasikan kesepakatan bilateral perdagangan yang adil, yang bisa menciptakan lapangan kerja dan industri ke Amerika,” tegasnya.
Pernyataan tentang penarikan TPP diulanginya setelah dirinya dilantik sebagai Presiden AS.
"Sejak lama, rakyat Amerika telah dipaksa menerima kesepakatan-kesepakatan perdagangan yang menguntungkan kepentingan orang dalam dan elite Washington, bukan pekerja di negeri ini," ujar Trump.
Ia juga menyatakan, AS akan membidik negara mana pun yang melanggar kesepakatan perdagangan dan merugikan pekerja AS.
Gedung Putih menyatakan Trump bertekad untuk menegosiasikan ulang pakta perdagangan lainnya, yakni Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang ditandatangani AS, Kanada, dan Meksiko pada 1994.
Gedung Putih melanjutkan bahwa kesepakatan yang tegas dan adil dalam perdagangan bisa digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi AS dan mengembalikan jutaan lapangan pekerjaan kepada warga Amerika.
"Strategi ini diawali dengan menarik diri dari Kemitraan Trans Pasifik dan memastikan bahwa setiap kesepakatan perdagangan dibuat untuk kepentingan kaum pekerja Amerika," demikian pernyataan dari Gedung Putih.
AS memang masih terbelah soal TPP. Sejak dirintis oleh Obama, TPP tak kunjung mendapatkan restu dari Kongres. Dalam kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai Presiden, Barack Obama mengatakan bahwa ia memang sudah menyerah mencari persetujuan kongres atas TPP. Padahal, tujuan Obama menggagas pakta perdagangan ini agar Amerika dapat memimpin standar perdagangan internasional yang diharapkan lahir dari TPP.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menilai, TPP tak akan ada artinya tanpa kehadiran Amerika. Sebab, Amerika adalah pasar yang luas dan menggiurkan dari kacamata perdagangan Jepang.
Aturan TPP yang ditandatangani 5 Oktober lalu di Selandia Baru memang mensyaratkan ratifikasi oleh setidaknya enam negara yang mencapai 85 persen PDB dari 12 negara yang tergabung TPP. Kedua belas negara tersebut ialah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Selandia Baru, Meksiko, Cile, Peru, dan empat negara Asia Tenggara: Malaysia, Singapura, Brunei, dan Vietnam.
TPP merupakan kesepakatan perdagangan yang ditujukan untuk memperkuat kerja sama ekonomi dari 12 negara yang menyetujuinya itu. TPP akan memungkinkan pemangkasan tarif dan mendorong perdagangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kesepakatan ini didesain untuk nantinya menciptakan sebuah pasar tunggal baru, menyerupai Uni Eropa.
TPP sudah pasti merupakan sebuah kesepakatan besar. Sebanyak 12 negara yang menyepakati itu tercatat memiliki total penduduk sebanyak 800 juta jiwa, dua kali lipat dari pasar tunggal Uni Eropa. Negara-negara itu juga tercatat menguasai 40 persen perdagangan dunia.
Kesepakatan itu merupakan sebuah langkah besar karena bisa menyatukan negara-negara yang memiliki pendekatan dan standar berbeda dalam perdagangannya. Dalam kesepakatan ini, sebanyak 18.000 tarif akan berlaku. Beberapa negara masih mempertahankan tarif perdagangan untuk melindungi produk dalam negerinya
Agar efektif, kesepakatan TPP harus diratifikasi pada Februari 2018 oleh paling tidak enam negara yang menguasai 85 persen perekonomian dari 12 negara yang menyepakatinya. AS tercatat menguasai 60 persen PDB dari 12 negara itu, dan Jepang punya kurang lebih 20 persen. Sehingga jelas, syarat terbentuknya TPP harus dengan keikutsertaan Amerika dan Jepang. Karena itu, keluarnya AS dari kesepakatan jelas membuat TPP layu sebelum berkembang.
Senator John McCain menilai, penarikan AS dari TPP akan membuka kesempatan bagi Cina untuk menuliskan ulang peraturan ekonomi, yang dibiayai oleh pekerja AS.
“Dan ini akan memberikan sinyal gangguan dari putusnya hubungan Amerika di wilayah Asia Pasifik di saat kita paling tidak bisa mendapatkannya,” ujarnya.
Berbeda dengan AS yang semakin menarik diri, Cina kini justru semakin terbuka. Dalam World Economic Forum di Davos beberapa waktu lalu, Presiden Cina Xi Jinping menyebut proteksionisme sebagai “mengunci diri dalam ruangan yang gelap”. Ia memberikan sinyal Cina akan menegosiasikan ulang sejumlah kesepakatan perdagangan regional.
“Ini adalah sebuah hadiah besar kepada Cina karena sekarang mereka bisa menempatkan diri sebagai penggerak liberalisasi perdagangan,” kata Eric Altbatch, Vice President Albright Stonebridge Group di Washington.
Cina sendiri kini telah menandatangani sejumlah kesepakatan perdagangan bilateral, salah satunya dengan ASEAN melalui ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Perjanjian itu sudah mulai berlaku sejak 2010, dan Indonesia termasuk yang ikut meratifikasinya.
Terkait TPP ini, Indonesia sebenarnya pernah ditawari masuk ketika Susilo Bambang Yudhoyono masih menjadi presiden. Tapi ia menolak, sebab menilai keuntungan TPP tak lebih besar dari mudaratnya bagi Indonesia. Namun, pandangan ini berseberangan dengan Presiden Joko Widodo.
Pertemuannya dengan Obama Oktober 2015 di Gedung Putih, Presiden Jokowi menyatakan ketertarikannya untuk bergabung dengan TPP. Namun, setelah muncul polemik di dalam negeri, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Indonesia bukan akan bergabung, tetapi baru sebatas ingin.
“Waktu bertemu dengan Presiden Barack Obama, saya sampaikan bahwa Indonesia bermaksud akan ikut TPP. Sekali lagi, “bermaksud akan”. Jadi sebetulnya masih jauh, bukan “akan”. Kalau “akan” sudah agak dekat,” kata Presiden Jokowi saat memberikan arahan pada Rapat Pimpinan TNI, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu (16/12/2015)
Presiden Jokowi menyebutkan kehati-hatiannya itu juga diungkapkannya dalam pemilihan bahasa yang digunakannya saat bertemu Presiden Barack Obama, di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat, akhir Oktober 2015. “Sampai Inggrisnya kemarin kita pilih “intend to join“, sampai tanya bolak balik ke Bu Menteri (Menlu, red) bukan “will join“. Pemilihan kata-kata saja nanti kalau keliru bisa repot,” ungkapnya.
Dengan kandasnya TPP ini, maka peta perdagangan dunia akan berubah. Akankah Cina bisa mengambil alih peran AS sebagai penentu arah perdagangan dunia?
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Suhendra