tirto.id - Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kepala daerah sekarang boleh menerapkan PSBB dengan syarat melakukan pengajuan ke Kementerian Kesehatan. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto akan mengkaji permohonan untuk disetujui. Barulah kemudian PSBB bisa diterapkan.
Jalan birokrasi yang panjang untuk penerapan PSBB ini digagas oleh pemerintah pusat setelah korban mencapai sekian ribu orang. Beberapa daerah, termasuk ibukota Indonesia, DKI Jakarta, sebenarnya sudah terlebih dahulu menjalankan kebijakan dari Gubernur Anies Baswedan yang sebagian hampir sama dengan PSBB.
Ada tiga poin penting dalam aturan PSBB, yakni libur sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan sosial di tempat umum. Satu yang agak berbeda adalah pembatasan jumlah penumpang pada transportasi umum dan pribadi. Motor tidak boleh digunakan untuk berboncengan. Sedangkan kapasitas mobil dan kendaraan umum dikurangi sampai setengahnya. Misalnya mobil berkapasitas lima orang, maka hanya boleh mengangkut 2-3 penumpang.
Jakarta dan beberapa daerah lain sudah mengimbau lebih dulu agar sekolah diliburkan. Imbauan agar masyarakat juga tidak melakukan kegiatan agama beramai-ramai dan kegiatan sosial di tempat umum juga sudah dilontarkan oleh kepala daerah masing-masing. Anies yang memimpin Jakarta, di mana pasien terdampak virus Corona atau COVID-19 paling banyak juga mengimbau perusahaan agar mempekerjakan karyawan dari rumah selama dua minggu.
Hanya saja saat itu tidak ada payung hukum dan aturan tegas yang mengikat. Anies dan kepala daerah lain tak bisa berbuat banyak. Apalagi Presiden Jokowi sudah memberi ultimatum agar kepala daerah tidak mengambil keputusan seenaknya dalam membatasi pergerakan masyarakat.
Dampak nihilnya aturan hukum, banyak masyarakat tidak patuh, dan mereka yang membandel tetap saja tidak mendapat sanksi atau teguran. Dengan resmi diterapkannya PSBB, mereka yang melanggar bisa dikenai sanksi pidana hingga satu tahun penjara atau denda Rp 100 juta.
Pemerintah pusat menyusun birokrasi dan aturan ini dalam waktu kurang lebih satu bulan sejak pasien pertama Corona teridentifikasi. Kepala daerah, misalnya Anies, sudah bisa memikirkan kebijakan tersebut dalam waktu 18 hari saja.
Kepala Daerah Lebih Aktif
Kecenderungan kepala daerah lebih aktif daripada pemerintah pusat di masa pandemi Corona terjadi bukan di Indonesia saja, tapi juga di belahan dunia lain. Di India beberapa daerah juga menerapkan lockdown atau menerapkan Pasal 144 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) India tentang pelarangan aktivitas ramai di tempat umum. Mereka yang berkumpul empat sampai lima orang di tempat umum boleh dibubarkan oleh pihak yang berwajib.
Pada 5 Maret 2020, pemerintah provinsi Delhi meliburkan sekolah dasar sampai 31 Maret 2020. Saat itu, jumlah kasus positif virus Corona di India baru mencapai angka lima. Pemerintah kemudian juga meliburkan sekolah menengah hingga kampus, termasuk tempat hiburan seperti bioskop pada 12 Maret 2020. Pada tanggal 22 Maret 2020, pemerintah provinsi kemudian menetapkan status lockdown. Kebijakan ini berlaku sehari setelahnya, pukul 6 pagi.
Pada 10 Maret 2020, kepala daerah Karnataka, B.S Yediyurappa juga memerintahkan sekolah, mal, kampus, bioskop, dan tempat hiburan malam untuk ditutup. Dia juga meminta agar aktivitas pernikahan dan perkumpulan di tempat umum disetop. Kebijakan ini diambil sangat cepat mengingat korban pertama virus Corona di daerah Karnataka baru satu orang. Penderitanya juga berada di usia yang rentan, 76 tahun.
“Mulai besok, selama seminggu, semua mal, bioskop, kelab malam, gedung pertemuan, kamp musim panas, kelas renang, acara olahraga, pertemuan dan pernikahan, akan ditutup di seluruh area (Karnataka),” kata Yediyurappa seperti dilansir Livemint.
Penanganan yang lebih responsif dilakukan oleh Gubernur New York, Andrew Cuomo. Kala Presiden Amerika Serikat Donald Trump menggemborkan optimisme menghadapi pandemi Corona, Cuomo justru memaparkan fakta dan berbagai upaya agar masyarakat bisa terhindar dari penularan Corona.
Pada 1 Maret, kasus pertama Corona di New York teridentifikasi. Dua hari kemudian, Cuomo menandatangani persetujuan dana 40 juta dolar AS untuk menambah pasokan peralatan kesehatan dan tenaga medis. Cuomo juga menandatangani aturan jaminan penghasilan bagi mereka yang harus bekerja di rumah atau tidak bisa bekerja karena karantina mandiri.
Seminggu sejak kasus pertama, korban mencapai 105 orang. Cuomo kemudian mengimbau agar warga bisa bekerja dari rumah. Cuomo juga melontarkan kritik pada pemerintah pusat terkait lambatnya penanganan Corona. Trump masih sibuk meyakinkan masyarakat bahwa Amerika telah menangkal Corona dengan serius--salah satunya dengan menutup akses masuk ke AS dari China dan Eropa.
Pada 19 Maret, Cuomo akhirnya memerintahkan perusahaan mengurangi karyawan yang bekerja di kantor sampai dengan 75 persen dari jumlah pegawai. Cuomo juga menutup aktivitas sekolah dan keagamaan di beberapa wilayah, termasuk membatasi kegiatan di tempat umum. Sehari setelahnya, Cuomo menandatangani Peraturan Gubernur “New York State on Pause.”
Inti dari aturan ini adalah perusahaan yang tidak bergerak di bidang esensial, seperti farmasi atau bahan pangan, harus menutup tokonya sementara waktu. Orang-orang juga tidak boleh keluar jika tidak benar-benar punya keperluan penting. Cuomo juga mengimbau agar penggunaan transportasi publik dibatasi.
Tidak tahan dengan lambannya penanganan pemerintah pusat, Cuomo kemudian melemparkan kritik pedas. Menurutnya, pemerintah pusat harusnya memerintahkan pabrik untuk membuat alat-alat kesehatan seperti masker dan alat pernapasan. Pemerintah provinsi kesulitan karena masyarakat juga bersaing dan berlomba-lomba mencari alat perlindungan diri (APD). Akibatnya, pemerintah provinsi justru sulit menjamin setiap warganya mendapatkan APD.
“Kita akan melewati ini dan Amerika akan menjadi yang paling hebat. Harapan saya, New York akan menjadi pembuka jalan (melewati pandemi), dan bersama-sama, kita akan melakukannya,” kata Cuomo.
Tindakan dan pernyataan Cuomo kemudian justru mendapat apresiasi dari masyarakat, bahkan mungkin melebihi apresiasi pada Trump itu sendiri. Aktor sekaligus aktivis lingkungan, Mark Ruffalo, memandang Cuomo sebagai orang yang tepat dalam menangani masalah Corona.
“Kita sebagai warga New York beruntung punya pemimpin seperti Gubernur Cuomo dalam krisis ini,” cuitnya di twitter @MarkRuffalo.
Tanggung Jawab Jika Tak Sigap
Pemerintah daerah memang menjadi garda terdepan sebelum suatu masalah ditetapkan sebagai masalah nasional. Jika berhasil menjaga daerahnya, mereka akan menuai pujian seperti Cuomo. Bila gagal, cacian akan mengikuti.
Wali Kota New York adalah contoh nyatanya. Bila Cuomo yang menaungi 10 kota, termasuk New York mendapat pujian, Wali Kota Bill de Blasio justru sebaliknya. Dia dikritik karena dianggap gagal membatasi penyebaran virus Corona di Kota New York.
Alexander Nazaryan dari Atlantic menyebut de Blasio sebagai antitesis Cuomo. Mudahnya, jika Cuomo melakukan segalanya untuk mengatasi Corona, maka Blasio tidak melakukan apa-apa. Ketika satu warga New York teridentifikasi terjangkit Corona, de Blasio malah menyuruh warga beraktivitas seperti biasa, menonton film.
Awalnya, de Blasio juga enggan menutup sekolah dan restoran kendati WHO telah menetapkan Corona sebagai pandemi per 11 Maret 2020. Ketika de Blasio sudah setuju menutup, Cuomo lebih dulu melakukannya. Setelah menyuruh orang-orang tinggal di rumah, apa yang dilakukan de Blasio? Dia justru turun ke jalanan, menuju tempat gym. Hal ini bukan contoh baik bagi kepala daerah terhadap kebijakannya sendiri.
De Blasio bukan tak punya alasan. Dalam salah satu pernyataannya, dia menyalahkan Trump yang lambat dalam upaya menanggulangi Corona. Dia mendesak pemerintah pusat agar menyediakan masker dan alat bantu pernapasan sesegera mungkin pada bulan April. Tidak hanya itu, dia juga meminta Trump turun dari jabatannya sebagai kepala negara.
“Dia tidak tahu bagaimana berlaku sebagai commander-in-chief karena dia tidak tahu bagaimana caranya. Seharusnya dia turun saja,” kata de Blasio seperti dilansir New York Post20 April lalu.
Tapi itu tak cukup menjadi alasan. Blasio seharusnya bisa melakukan sesuatu, meski sekecil membagikan masker untuk melindungi warga dari paparan Corona. Menyalahkan Trump tak akan mengubah apa-apa. Dengan mengkonfrontasi Trump, Blasio terlihat hanya ingin mencari kambing hitam atas kegagalannya menangani pandemi di daerah berpenduduk hampir 9 juta jiwa tersebut. Dalam waktu satu bulan lebih, dari tanggal 2 Maret 2020 sampai hari Jumat (10/4/2020) penderita Corona membengkak menjadi 172.348 kasus di kota New York, mendapuknya sebagai kota dengan penderita Corona terbanyak.
Di China, pemerintah pusat juga membebani pemerintah daerahnya. Presiden Xi Jinping memberanikan diri untuk pergi ke Provinsi Hubei pada 11 April 2020, ground zero penyebaran Corona. Pada kesempatan yang sama, Jinping mendeklarasikan bahwa China telah berhasil menangani Corona.
Namun The Straits Times mencatat pada 23 Maret muncul pasien baru Corona. Korbannya adalah tenaga kesehatan yang merawat pasien. Pemerintah juga belum memperbolehkan tenaga kesehatan keluar dari Wuhan. Situasi ini menunjukkan kemungkinan Wuhan dan Hubei belum sepenuhnya bebas dari Corona.
Singkatnya, pemerintah daerah masih mati-matian berkutat dengan pencegahan Corona, tapi pemerintah pusat China ingin menegaskan pada dunia bahwa China sudah aman dari pandemi. Hal ini dibutuhkan agar perusahaan-perusahaan dan kegiatan ekonomi di China kembali berjalan. Tugas yang besar ini lagi-lagi dibebankan dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
“Pemerintah pusat memberikan pemerintah daerah dua tugas yang kontradiktif. Mencegah adanya kasus baru Corona dan memulai kembali kegiatan perekonomian,” kata dokter Shan Wei, peneliti dari Institut Asia Tenggara yang merupakan bagian Universitas Nasional Singapura.
Editor: Windu Jusuf