tirto.id - Penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jadi sorotan pemerintah. Musababnya, jumlah kasus penyalahgunaan SKTM pada PPDB 2018 relatif banyak terjadi.
Salah satunya seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Di provinsi itu, sebanyak 78.065 SKTM palsu digunakan untuk mendaftar sekolah di tingkat SMA dan SMK.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun ambil sikap. Mereka memutuskan menghapus jalur SKTM pada PPDB 2019 untuk menghindari penyalahgunaan SKTM.
“PPDB 2019 menjadi penyempurna dari [PPDB] 2018. Salah satunya dengan dihapusnya SKTM yang setelah dievaluasi lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat ditemui di Kemendikbud, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Sebagai pengganti SKTM, Muhadjir menyebut pemerintah bakal mengoptimalkan penggunaan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Dua program pemerintah yang dirancang buat meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin itu bakal jadi acuan mampu tidaknya calon peserta didik.
Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2018, satu wilayah diperintahkan menerima 20 persen peserta didik yang tidak mampu. Jalur yang membutuhkan SKTM sebagai bukti administratif pun lantas dibuka sebagai alternatif pendaftaran masuk.
PPDB Gunakan KJP
Rencana pemberlakuan KIP dan PKH sebetulnya bukan hal baru. Dinas Pendidikan DKI Jakarta sudah lebih dulu menerapkan PPDB dengan acuan Kartu Jakarta Pintar (KJP) sejak 2018. Calon peserta didik dari keluarga tidak mampu secara administrasi dibuktikan dengan KJP.
“Kalau di DKI Jakarta, kan, memang kemarin ini tidak dominan di SKTM. Selama ini sudah jalan seperti itu,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Bowo Irianto saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (17/1/2019).
Menurut Bowo, penggunaan KJP itu terbukti mampu meminimalisir penyalahgunaan SKTM. Surat keterangan tersebut hanya digunakan buat anak dari keluarga tak mampu yang akan memasuki SD dan mengurus KJP. Porsi PPDB lewat jalur SKTM pun, kata Bowo, hanya 5 persen.
Dengan sistem yang demikian, Bowo mengklaim Pemprov DKI dapat menyaring penyalahgunaan SKTM. “Kasus-kasus heboh kemarin itu, kan, ada di beberapa daerah. Di Jakarta relatif sudah aman,” ujarnya.
Praktisi pendidikan sekaligus pengajar Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema menilai sistem yang diterapkan di DKI Jakarta itu sudah benar. Namun untuk daerah lain, kata dia, masih perlu perbaikan lantaran tidak semua pemerintah daerah memiliki program seperti KJP.
Doni mengatakan, KIP dan PKH masih belum terdistribusi dengan baik sehingga kontribusinya dalam mendukung verifikasi kemampuan finansial belum maksimal.
“Sehingga kalau ada kebocoran di DKI Jakarta, maka mekanisme KJP yang harus dibereskan. Begitu juga di tingkat nasional, mekanisme KIP dan PKH juga dirasa harus dievaluasi. Apabila mekanisme itu dimanipulasi, maka sudah menjadi tugas pemerintah untuk menyelidikinya,” jelas Doni kepada reporter Tirto.
Lebih lanjut, Doni mengimbau pemerintah, yang dalam hal ini kemendikbud, harus mengantisipasi masalah yang bisa timbul dalam penghapusan jalur SKTM, salah satunya dengan perbaikan sistem. Ia menilai perbaikan tersebut bisa dilakukan dengan mendisiplinkan pemerintah daerah dalam menerapkan sistem zonasi.
Sebab saat ini, kata Doni, banyak pemda tak taat menerapkan sistem zonasi kepada penduduk miskin. Dengan pendisiplinan itu, calon peserta didik yang tidak mampu secara finansial bisa tetap memiliki akses untuk bersekolah.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Gilang Ramadhan & Mufti Sholih