tirto.id - Irwan Bajang adalah lelaki yang tak bisa lepas dari dapur. Meski pekerjaannya sebagai direktur penerbitan Indie Book Corner begitu menyita waktu, dia selalu menyempatkan memasak. Dia menyebut dirinya sebagai juru masak ultra ortodoks. Baginya, rasa masakan hanya ada dua: pedas atau pedas sekali.
Pria asal Lombok ini juga diwarisi resep oleh neneknya. Sebuah komposisi masakan pusaka berupa sambal yang, menurut Bajang, hanya beredar di keluarganya saja. Namanya cukup bikin dahi mengernyit: banteng ngangaq. Bahasa Sasak yang artinya banteng mengamuk.
Orang Nusantara selalu punya kiasan menarik untuk menggambarkan kepedasan. Di Banyuwangi, orang kenal nasi tempong. Tempong, dari bahasa Using, artinya tampar. Sebab orang yang makan nasi tempong --yang memang disajikan dengan sambal super pedas-- akan berasa seperti ditampar. Panas! Sedangkan banteng ngangaq adalah idiom untuk menggambarkan: saking pedasnya sambal ini bahkan bisa bikin banteng pun mengamuk. Hanya saja agar lebih familiar, Bajang mengganti ngangaq dengan nganga. Selain ada dalam bahasa Indonesia, nganga juga bisa berarti saking pedasnya membuat banteng pun terngaga.
Suatu hari, Bajang memasak sambal pusaka ini. "Resepnya simpel. Kuncinya hanya daging sapi dan cabai rawit harus satu banding satu. Satu kilogram daging dan satu kilogram cabai," kata Bajang.
Sambel banteng ngaga ini memang memakai daging sapi. Daging sapi akan dipotong seukuran dadu, lalu ditumis bersama cabai dan beberapa bumbu lain. Ada bawang putih, terasi, dan daun jeruk yang tampak begitu dominan.
Hasil masakan Bajang itu difoto kemudian diunggah ke Instagram. Tak dinyana, banyak yang ingin mencoba, bahkan rela membeli. Dasar otak pengusaha, Bajang menangkap kesempatan ini. Maka berawal dari keisengan, Bajang mulai serius menggarap sambal bikinannya ini.
Dia mulai membeli botol kemasan. Membuat label serta logo. Hingga belajar cara sterilisasi. Merepotkan, tapi menyenangkan. Bajang belajar banyak hal baru. Misal tentang cara agar sambal bisa awet di suhu ruangan. Sekali Bajang memasak, bisa untuk 20 botol. Langsung habis hari itu juga.
"Yang bikin kaget itu waktu menjelang lebaran. Sebulan terjual hampir 200 botol. Padahal cuma update di Instagram atau Facebook," kata Bajang.
Penggemar sambal ini ada di mana-mana. Selain bisa dijual di kafe milik Bajang bersama kawan-kawannya di Yogyakarta, sambal ini terbang ke Palu, Papua, Lombok, juga Sumbawa.
Inisiatif Bajang tepat. Sebab sambal adalah kondimen paling populer di Indonesia. Jika lauk adalah Batman, kondimen adalah Robin. Makan kerap tak lengkap kalau tak ada sambal. Lauk sederhana pun bisa terasa amat nikmat kalau dimakan pakai sambal.
Sayangnya, belum ada usaha serius memetakan jenis-jenis sambal di Nusantara. Karena selain memakan biaya, tentu akan memakan waktu karena begitu banyak jenis sambal di Indonesia. Nyaris semua wilayah di Nusantara punya sambal andalan. Sambal terasi, sambal tomat, sambal teri lado, sambal andaliman, sambal kecap, sambal dabu-dabu, sambal bawang, sambal tempoyak, sambal rica-rica, sambal tuktuk, sambal matah, sambal taliwang. Banyak sekali.
Dalam dunia global, pasar kondimen amat besar. Menurut riset Transparency Market Research, nilai pasar kondimen (termasuk saus) akan mencapai 23 miliar dolar pada 2020. Masuk akal, sebab pada 2013 pasar kondimen global sudah bernilai 18 miliar dolar.
Menariknya, di Indonesia, selain kondimen berupa saus tomat atau saus sambal, banyak sekali sambal botolan yang bermunculan sekitar setidaknya 1 dekade terakhir. Nama yang paling beken mungkin adalah Sambal Bu Rudy dari Surabaya.
Sama seperti Bajang, pemilik usaha sambal Bu Rudy, Lanny Siswadi, memulai usahanya dengan keisengan. Perempuan asal Madiun ini merasa masakan Surabaya kurang cocok dengan lidahnya. Maka dia mulai coba berjualan makanan ala Madiun, termasuk pecel, di Pasar Turi. Usahanya laris. Keisengan lain muncul saat melihat umpan udang milik suaminya yang hobi memancing, banyak yang tidak terpakai. Maka dengan memberi tepung dan berbagai bumbu, Lanny menggoreng udang itu hingga garing. Kemudian disajikan dengan sambal bawang buatannya.
Sambal buatannya ternyata disukai para pembeli. Banyak yang meminta Lanny untuk membuatnya dalam kemasan agar mudah dibeli sebagai oleh-oleh. Lanny pun mencoba menuruti saran pelanggannya itu. Dengan menggunakan nama suaminya. Jadilah Bu Rudy. Sekarang sambal ini jadi semacam oleh-oleh khas Surabaya. Setiap hari, sekitar 2.000 botol sambal dibuat, dan nyaris selalu ludes. Untuk memenuhi kebutuhan itu, dibutuhkan 400 hingga 500 kilogram udang segar dan sekitar 200 kilogram cabai.
Dengan hitung-hitungan sederhana, maka dalam sebulan bisa 60.000 botol sambal Bu Rudy yang terjual. Jika satu botol dibanderol Rp20 ribu, maka penjualan sambal Bu Rudy bisa mencapai Rp1,2 miliar per bulan.
Selain Bu Rudy, ada banyak sambal botolan yang masuk ke pasar, supermarket, juga toko oleh-oleh. Mulai dari Sambal Bu Susan, Sambal Dede Satoe, Sambal Encim, Sambal Tjap Garoeda, Sambal Hellyeah, hingga Sambal De Binyos yang mengusung sambal roa ala Manado. Hampir semua usaha ini berawal dari industri skala rumahan. Namun, semua berjalan dengan baik. Karena selain rasa dan mutu yang baik, pangsa pasarnya juga besar.
Usaha sambal botolan ini tentu tidak akan surut dalam waktu cepat. Selain karena pangsa pasarnya yang besar, mode pengiriman juga makin banyak. Di kota-kota besar, pengiriman sambal botolan bisa melalui ojek online. Belum lagi teknik pengemasan yang semakin maju, bisa bikin sambal makin awet.
Tentu bagi yang baru memulai usaha seperti Bajang, jalan akan terasa lebih terjal. Selain harga bahan baku yang naik turun tak tentu, pengiriman adalah kendala lain. Sambal milik Bajang tak pakai pengawet, karenanya hanya tahan selama 4-6 hari saja. Sampai sekarang Bajang masih mencari cara agar sambal buatannya bisa tahan lebih lama tanpa pengawet.
Bajang kini sudah pensiun sebagai direktur Indie Book Corner. Sekarang dia sedang ingin bikin usaha penerbitan buku digital. Usaha sambalnya tetap akan diteruskan. Namun berbeda dengan banyak sambal botolan yang semakin besar skalanya, Bajang memilih untuk tetap indie, sama seperti nama perusahaannya.
"Sambalku akan aku perlakukan seperti buku saja. Spesial, terbatas, dan tentu enak," katanya sembari terkekeh.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti