tirto.id - Suciwati tak bisa menyembunyikan kegemasannya ketika bercerita hal-hal aneh yang diucapkan orang-orang yang menurutnya tak kalah aneh. Seorang ulama pernah secara khusus menemuinya hanya untuk menasihatkan pentingnya keikhlasan. “Sudahlah, Mbak Suci, ikhlaskan saja kepergian Cak Munir,” katanya menirukan. “Lho, yang enggak ikhlas itu siapa?”
Banyak orang yang masih sulit memahami perjuangannya selama 12 tahun setelah kepergian Munir Said Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia yang dibunuh dengan racun arsenik dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam di atas pesawat Garuda GA-974 pada 7 September 2004. Bagi yang tidak mengikutinya dari dekat, boleh jadi akan lompat pada kesimpulan keliru seperti si ulama.
“Urusan ikhlas-mengikhlaskan itu kan urusan saya sama Tuhan. Yang saya perjuangkan ini keadilan, urusan sesama manusia, bahwa yang bersalah harus dihukum, dalang pembunuhan Munir harus diungkap, ditangkap,” ujarnya sengit.
Suciwati janji bertemu Tirto.id pada jam makan siang di lobi sebuah hotel di bilangan Cikini. Ketika kami tiba, ia meminta kami menunggu sebentar karena ia baru saja check-in dan merapikan barang. Sepuluh menit kemudian, ia menyapa dengan hangat, mengusulkan ngobrol di restoran tak jauh dari hotel saja yang lebih nyaman dan tidak terlalu berisik. Kami mengikuti langkahnya yang cukup cepat, cenderung terburu-buru.
Ia memang kelihatan repot. Banyak orang menghubunginya dan meminta jadwal bertemu. Selama wawancara, beberapa kali Suci memotong obrolan karena harus mengangkat telepon atau membalas pesan penting. Kebanyakan seputar peringatan 12 tahun kematian Munir.
Kami menyadari sepenuhnya, wawancara dengan Suciwati sulit untuk tidak jatuh menjadi klise. Wartawan datang dan pergi, pertanyaan kepada Suciwati selalu seputar itu-itu saja. Apakah ia bosan? Menurutnya, itu konsekuensi dari apa yang selama ini ia lakukan dan, meski banyak pertanyaan mengesalkan, ada banyak hal yang memang penting dibicarakan.
“Ada tuh wartawan yang tanya; punya putra nggak, Mbak? Aduh, ini wartawan pernah baca nggak sih.” Pada peringatan 11 tahun kematian Munir, tahun lalu, bahkan ada wartawan yang bertanya berapa kira-kira berapa orang yang ikut demonstrasi di depan istana. “Gubrak!” kata Suci, menggeleng-geleng jengkel.
Berikut petikan lengkap wawancaranya.
Keseharian seorang Suciwati Munir itu gimana sih?
Aku biasanya mengurus anak, sesekali job monitoring dan evaluasi, kadang jadi pembicara di macam-macam forum, terus nulis buku semacam biografi gitulah.
Perkembangan anak-anak, boleh diceritakan?
Sehat, alhamdulillah. Satunya baru jadi mahasiswa, ambil Sastra Inggris. Sebenarnya dia pengen bikin film, nanti S2 ingin sekolah nanti di luar negeri. Tadinya dia mau ambil desain komunikasi visual, tapi di Universita Brawijaya nggak ada. Jadi ya sudah, ngambil itu saja dulu, nanti S2 baru komunikasi visual—kalau ada duit [tertawa]. Yang satu lagi masih SMP.
Omah Munir tampaknya semakin ramai, ya?
Alhamdulillah. Dukungan masyarakat sipil ini luar biasa. Banyak sekali yang bantu. Menurut saya itu luar biasa.
Yang datang ke sana mulai dari anak SD, sampai ibu-ibu atau bapak-bapak yang sudah tua, bawa keluarga, kayak rekreasi sejarah. Kita juga menerima kunjungan sekolah-sekolah mulai SD, SMP, SMA, kampus, baik nasional maupun internasional, dari dalam dan luar luar kota. Ini di tanggal 7 sampai 9 mereka datang, dan para siswa menulis itu sebagai sebuah pembelajaran. Buat saya, progresif juga guru-guru ini.
Kunjungan bulanannya kira-kira berapa?
Kalau yang non-rombongan itu 160-an, antara itu. Belum lagi sekitar puluhan yang rombongan, per rombongan ya bisa 50, 70, 150.
Bisa ada Jalan Munir di Belanda itu bagaimana ceritanya?
Tahun 2012, saya ada acara semacam festival film khusus soal Human Rights di Den Haag. April seingat saya, karena bertepatan dengan ulang tahun saya. Walikotanya janji mau membuat Jalan Munir di Den Haag, tapi waktunya enggak bisa cepat. Buat saya itu luar biasa.
Alasan si walikota?
Karena Munir orang yang sangat pemberani. Dia tahu karena mengikuti sejarah. Jadi penghormatan itu memang lebih pada Munir yang pemberani dan patut dihargai masyarakat sipil. Buat saya, lebih luar biasa lagi ketika pada 2014 walikota membuktikan janjinya. Mereka membuat jalan itu, namanya Munirpad. Luar biasanya, di proyek itu, dibuat juga jalan Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Bunda Teresa, waktu itu bareng.
Menurut saya itu penghargaan luar biasa. Den Haag ini kan kota keadilan, tempat Mahkamah Internasional berdiri. Itu penghargaan luar biasa. Meskipun di negaranya sendiri...ah, nggak ada kata-kata yang bisa diungkapkan.
Untuk momentum peringatan 12 tahun Munir ini, ada kegiatan nonton bareng di berbagai kota di Indonesia. Apa saja peran Anda di sana?
Acara-acara ini sih sebetulnya meluncur begitu saja ya. Awalnya kami memang tidak punya uang untuk acara besar dan sebagainya, jadi kita diskusi saja [bersama rekan-rekan KontraS, YLBHI, dan beberapa elemen masyarakat sipil lainnya]. Akhirnya nemu yang murah, ya sudah, bikin ini aja nonton bareng, menyimak Munir, menolak lupa. Awalnya diniatkan cuma di 12 kota, karena mengingat ini 12 tahun. Hebatnya lagi, kemudian banyak yang minta terlibat, lebih dari 23 kota. Ya sudah, kami kasih saja filmnya, kami kirim file-nya saja.
Menurut kami ini penting, sudah 12 tahun dan kita perlu mengingatkan publik bahwa kasusnya tidak tersentuh.
Ada berapa film?
Ada enam film. Bunga Dibakar, Garuda's Deadly Upgrade, His Story, Kiri Hijau Kanan Merah, Cerita tentang Cak Munir, dan Tuti Koto Perempuan Pemberani.
Bagaimana Anda melihat antusiasme anak-anak muda dan orang yang mau terlibat itu?
Itu membuktikan bahwa apa yang kita lakukan tidak sia-sia dan apa yang dilakukan oleh almarhum memberi inspirasi bagi banyak orang. Istilahnya, dari apa yang beliau lakukan, banyak sekali anak muda yang ingin seperti almarhum. Menurut saya itu luar biasa dan sekarang yang terlibat kan malah banyak anak-anak muda, itu keren. Jadi, pesan kita sampai.
Kita membuat Museum HAM Omah Munir, itu salah satu upaya. Kita bumikan, kita sebarkan soal hak asasi dan sebagainya, sehingga anak-anak muda tahu soal kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini, kemudian apa saja yang sudah dilakukan Cak Munir. Jadi itu yang kita lakukan sekarang dan cukup bangga dengan anak muda turut lakukan.
Karena buat saya, untuk kasus pembunuhan Cak Munir ini, harapan kita untuk ruang kebenaran ya di anak muda, bukan di pejabat. Bahwa nantinya kasus ini diselesaikan, ya anak-anak muda ini yang akan menyelesaikan. Karena merekalah yang akan membawa estafet kepemimpinan masa depan.
Mbak Suci lebih menaruh harapan pada anak-anak muda daripada mereka yang berkuasa?
Oh, pasti. Kalau berharap pada pejabat, kita lihat dulu pejabat kita kayak apa, pemerintah kayak apa. Ada harapan yang begitu mulia masak ditaruh ke orang-orang yang justru saya lihat sebagai para pecundang? Bagaimana mereka justru melindungi para penjahat, bagaimana mereka melakukan korupsi tanpa malu-malu. Jadi mengapa kita menaruh harapan yang begitu mulia pada orang seperti itu?
Ini bagian yang enggak enak. Karena Anda sudah ngomong soal pemerintah. Anda tidak melihat niat baik dari rezim ini?
Bagaimana saya bisa melihat niat baik, begitu Jokowi-JK ini naik, terus JK bilang kasus Munir sudah selesai, toh para penjahatnya sudah dihukum. Padahal dia waktu itu juga pernah jadi wakilnya SBY dan saya yakin dia tahu ada Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk dengan Keppres, kemudian laporannya diserahkan, itu kan isinya para pelaku yang harusnya ditindaklanjuti, ditangkap, dibawa ke persidangan. Tapi dengan enteng dia bilang sudah selesai. Jadi, saya pikir niat baik apa kalau ngomong penyelesaian kasus ini?
Jadi kita sih terusin saja. Terus. Semoga mereka akhirnya pula malu, ya. Kita lihat pemerintah sudah nggak punya malu, di republik ini sangat langka pejabat yang punya malu. Mereka enggak punya malu memberi perintah ke anak buahnya di lapangan, kalau melakukan kejahatan kan seharusnya secara komando atau struktural dia bertanggung jawab, tapi ini dengan enaknya dilempar ke anak buahnya, "Oh saya tidak tahu apa-apa."
Mereka nggak ada cita-cita mulia untuk menyelesaikan kasus ini, dibawa ke hukum, kemudian dijelaskan sejarahnya, siapa yang bersalah. Nggak ada itu. Mengerikan.
Makanya kita bilang bahwa Indonesia ini surga impunitas. Surga kekebalan hukum untuk para pejabat, para penguasa. Mengerikan.
Kalau upaya dari teman-teman sendiri bagaimana untuk mendesakkan keadilan sejauh ini?
Yang pasti secara hukum dalam kasus Munir dan beberapa kasus-kasus para keluarga korban pelanggaran HAM, kami melakukan banyak hal. Karena kalau di ruang pidana kita nggak bisa maju. Kan kalau pidana selalu diwakili jaksa yang kita tahu kualitasnya kayak apa, bobrok dan sebagainya. Tapi kalau di ruang yang lain ya [bisa] kita bikin [gugatan] perdata, PTUN, terus di KIP, di mana saja yang bisa kita masuki.
Tapi kebanyakan digagalkan, dikalahkan, selalu begitu. Tapi kami sih berharap di kasus Munir, kami minta omisi Informasi Publik untuk meminta dan mengumumkan hasil TPF Munir, ya, semoga dikabulkan.
Kan sudah ada jawaban soal itu, Mbak, Setneg menyebut tidak punya data yang dimaksud, lalu bagaimana ?
Iya, tidak menguasai kalau mereka bilang. Makanya kami meminta Komisi Informasi Publik memanggil SBY. Kan ngapain susah-susah. Sebagai orang yang waktu itu presiden, TPF kan diserahkan ke dia dan dia bisa menjelaskan, diberikan ke siapa itu hasil TPF, masak dibawa ke rumahnya? Kan nggak mungkin. Itu kan dokumen negara karena berdasrkan Keppres.
Kalau Anda melihat, ada ketakutan apa sih orang-orang ini kok menutup-nutupi itu?
Saling menyandera. Kan kita lihat bagaimana orang-orang ini, bagaimana partainya. Ini oligarki-oligarki yang sengaja dibangun oleh mereka. Partai saja kayak dinasti, kita lihat. Jual beli kekuasaan, jual beli jabatan, itu mengerikan.
Kayak saling pegang kartu gitu?
Betul. Saling melindungi. Hal yang paling sederhana, dan masyarakat harus tahu: bagaimana ketika Hendropriyono mau diperiksa TPF, dinggail, bukannya datang.... Dia malah datang ke DPR, malah baca puisi. Kalau dia gentleman, sebagai seorang jenderal, ksatria, harusnya memberikan contoh kepada publik bahwa, "Ini lho saya dipanggil, saya mematuhi hukum, saya datang." Itu contoh pemimpin yang baik. Saya lihat dia nggak menunjukkan itu. Malah dia baca puisi dan memosisikan diri seolah-olah dia korban.
TPF kemudian, karena di bawah presiden, menulis laporan bahwa Hendropriyono nggak mau datang. Kemudian SBY diwawancara media. Dia bilang, "Saya kecewa karena Pak Hendropriyono tidak datang." Kemudian disampaikanlah perkataan SBY itu ke Hendropriyono. Hendropriyono bilang apa? "Saya nnggak percaya [SBY billang begitu], saya kenal baik SBY. SBY dulu itu anak buah saya."
Dia presiden, lho, waktu itu, dan tidak ada respons kemudian.
Waktu pilpres, calon-calon itu pernah ndeketin?
Semuanya ndeketin, termasuk Jokowi telepon aku. Bahkan semua capresnya itu mau dateng ke Omah Munir. Pengennya harus ada aku. Lho, kan Omah Munir terbuka untuk umum. Jangan harap harus ada saya. Kemudian mereka mundur, enggak jadi datang.
Kalau Jokowi sih nelepon saya, kan memang beberapa kali saya sms-an sama dia. Akhirnya ditelepon, terus ngobrollah. Saya tanya, "Pak, kenapa kok sama Hendropriyono?"
"Lho emang kenapa?"
"Masak Bapak nggak tahu?"
"Kalau saya diundang orang terus tiba-tiba ada Pak Hendropriyono di situ, bagaimana saya bisa menolak?" kata dia.
"Tapi secara politik jadinya kan tetap Bapak bersama orang yang bermasalah."
"Lho emang bermasalah soal apa?"
Saya nggak tahu itu pertanyaan ngetes atau apa. Tapi saya kasih tahu bahwa Hendropriyono pada 1989 jadi komandan Garuda Hitam di Lampung, banyak pembantaian, penembakan atas nama aliran sesat. Dalam kasus pembunuhan Munir juga termasuk dia yang disebut-sebut, dia kan waktu itu Kepala BIN.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Maulida Sri Handayani