tirto.id - Pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang kerap diidentifikasi dengan sebutan “cebong” dan “kampret”, seringkali berseteru di media sosial. Adakah perseteruan itu di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang?
Jumlah pemilih di rutan Cipinang mencapai 1110 orang dari total 4387 penghuni, kata Oga G Darmawan selaku Kepala Rutan Cipinang. Untuk mengakomodir para peserta, rutan Cipinang menyiapkan tujuh Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang masing-masing dapat menampung 300 pemilih.
"Paling banyak DPT (Daftar Pemilih Tambahan)," kata Oga, Rabu (17/4/2019).
Sejak pukul sembilan pagi, para warga binaan yang memakai seragam berwarna biru sudah berbaris mengantre. Berbekal surat C6 dan daftar pemilih tetap tambahan (DPTb), wajah-wajah mereka tampak cukup antusias mengikuti hajatan politik lima tahun sekali ini.
Mereka yang telah mencoblos terlihat lebih semringah sambil memamerkan jari berwarna biru kepada rekannya atau berpose di hadapan beberapa fotografer yang ikut meliput kegiatan tersebut.
Di TPS 168 atau TPS pertama di rutan Cipinang, para warga binaan yang terdaftar dipersilakan duduk di deretan bangku yang telah disediakan sebelum nama mereka dipanggil satu per satu untuk memilih.
Warga binaan kasus pencurian berinisial R, 34 tahun, telah setahun lebih menjalani hukuman di Rutan Cipinang. Ia mengatakan sudah menentukan pilihannya, maka dari itu ia ingin mencoblos.
“Pengen berpartisipasi aja, Mas. Yah, walau belum tentu ngaruh,” ujarnya dengan ekspresi malu-malu.
“Sama teman-teman yang beda pilihan di sini gimana, Mas? Ada kubu-kubuan cebong-kampret gitu juga enggak?”
“Nggak ada apa-apa, cuma ledek-ledekan. Lucu-lucuan. Lumayan, Mas, ada hiburan. Tapi enggak pernah ada yang serius sampai berkelahi gitu. Lagian juga buat apa?” ujar R.
Begitu juga A, warga binaan dengan kasus yang sama yakni pencurian. Sejak awal diwawancara, A tidak menunjukkan sikap gugup. Misalnya ketika digoda siapa capres yang bakal dipilihnya, pria berusia 35 tahun tersebut justru melemparkan guyonan.
“Wah, nggak tau, nih. Saya terawang dulu deh, ah!” Wajahnya mendongak sebentar, lalu kembali menjawab sambil cekikikan: “Yah, masih enggak tau, nih!”
Hal senada dikatakan D, 24 tahun. Ia berterus terang tidak tertarik ikut pencoblosan, terutama untuk pemilu legislatif (pileg). Ia beralasan tidak ada satu calon wakil rakyat pun yang diketahuinya. Meski demikian, ia tetap memilih caleg dengan satu patokan belaka: penampilan yang sedap dipandang.
"Nggak tahu mau milih siapa. Nggak ada yang kenal. Cari yang mukanya ganteng aja," ujar D sambil senyum-senyum.
RZ, 25 tahun, warga binaan lain yang turut mengantre untuk mencoblos, juga mengaku belum tahu harus memilih siapa, wabilkhusus di pileg. “Kami baru bisa lihat siapa-siapa saja pas di mading, tuh. Barusan saja lihatnya.”
Jika memang tidak memiliki pilihan, lantas mengapa RZ tetap ingin mencoblos?
“Ya, supaya bisa lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Supaya bisa lebih bersih lagi,” jawab RZ.
Pernyataan RZ bisa dibaca apa saja. Namun, terlepas dari bagaimana tafsirannya, pagi itu, 17 April 2019, di rutan Cipinang telah terjadi hajatan demokrasi yang, meski kecil, meski jauh dari ingar-bingar, diam-diam ada harapan yang coba dipanjatkan.
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Gilang Ramadhan