Menuju konten utama

Mereka yang Mengalami Gangguan Jiwa pun Punya Hak Politik

Pada 17 April 2019 kemarin, Haris begitu antusias dan tak sabar ingin mengikuti pemilu.

Mereka yang Mengalami Gangguan Jiwa pun Punya Hak Politik
Suasana Pemilu di ruang Instalasi rehab NAPZA RS Marzoeki Mahdi. Para pasien ODGJ menggunakan hak pilihnya, Rabu (17/4/2019). tirto.id/Aditya Widya Putri

tirto.id - Seperti di pagi-pagi biasanya, Haris—bukan nama sebenarnya—bangun pada pukul 5.30 pagi. Pria berusia 35 tahun ini bergegas mandi, makan pagi, minum obat, dan olahraga bersama. Bedanya, pagi ini ia lebih semangat beraktivitas karena tak sabar ingin ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2019, seperti Warga Negara Indonesia (WNI) lainnya.

Haris adalah salah satu pasien Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor. Ia dirawat karena skizofrenia, penyakit mental kronis yang mempengaruhi kemampuan berpikir dan berperilaku. Di bangsal Arimbi, Haris adalah satu-satunya pasien yang mendapat kesempatan menggunakan hak pilihnya di pemilu 2019 kali ini.

“Sebanyak enam orang dari ruang instalasi rehab psikososial dan 15 lainnya dari instalasi NAPZA. Total pemilih dari RS Marzoeki Mahdi ada 21 orang,” tutur Haris Budiman, anggota bidang Olah Data Pemilih PPS Menteng, Bogor, pada 17 April 2019.

Pukul setengah sembilan pagi, saat Eka Kurniawan datang, Haris buru-buru minta diantar mencoblos. “Saya nyoblos, kan, Pak? Jadi, kan? Ayo nyoblos, Pak," Haris berkata kepada perawat bangsal itu.

Mekanisme pencoblosan para pasien RS Marzoeki Mahdi dilakukan di instalasi rehab psikososial, setelah para pemilih reguler di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 01 dan TPS 02 Menteng, Bogor usai menggunakan hak pilihnya. Siang itu, panitia di dua TPS tersebut menghampiri para pasien yang sudah siap menunggu di ruang pemulihan pada pukul 12 siang.

Namun, Haris sudah tak sabar. Eka akhirnya mengantar Haris berjalan kaki sejauh 1,5 km menuju TPS 01 Menteng, agar Haris bisa lebih dulu nyoblos dan lekas beristirahat. Namun, setengah jam menunggu antrean, namanya tak kunjung dipanggil. Eka sempat meminta agar Haris didahulukan, tapi panitia menolak. Akhirnya Haris kembali pulang dan menunggu Panitia Pemungutan Suara (PPS) datang ke rumah sakit.

Dua setengah jam berlalu, PPS terlihat memasuki ruang instalasi rehab psikososial dan menata perlengkapan. Ada bingkai serupa tampilan unggahan dalam Instagram sebagai hiasan pada bilik suara. Dekorasi ini membikin suasana pemilihan jadi lebih semarak dan terlihat menyenangkan bagi para pemilih ODGJ di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi.

“Jangan tegang ya, santai saja. Sebelum milih ada yang mau bertanya tidak?” dr. Lahargo Kembaren, SpKJ, psikiater di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi mencairkan suasana sebelum pemilihan berlangsung.

Ada enam orang pasien ODGJ yang duduk di ruang tersebut. Masing-masing dari mereka didampingi oleh satu perawat, mulai dari kedatangan hingga kembali ke bangsal perawatan.

Tawaran bertanya yang diajukan Lahargo ternyata disambut sigap oleh Haris dan kawan-kawannya. Panitia Pemungutan Suara sempat beberapa kali menerima pertanyaan soal tata cara pencoblosan dari para pasien ODGJ.

“Pak, boleh coblosnya di jidat?”

“Nanti surat suaranya ada gambarnya, kan?

“Kalau milih DPR RI, boleh coblos di logo partai?”

Haris mendapat giliran pertama. Sebelum menuju bilik, ia sempat berpose sambil memperlihatkan surat suara yang diterima. Tak sampai satu menit, ia sudah selesai mencoblos dan melipat kembali surat suara. Kali itu, Haris hanya mendapat kesempatan mencoblos surat suara calon presiden karena tak sempat mengurus formulir A5.

“Kan saya baru masuk lima hari lalu, karena [sebelumnya] sudah kedaftar di Pasar Minggu, Jaksel. Jadi ini cuma boleh milih presiden,” katanya pada saya.

Usai menyalurkan pilihan, mereka diantar pulang ke bangsalnya masing-masing oleh para perawat.

“Pasien ODGJ itu bisa fokus paling lama 15 menit. Kalau kelamaan, takutnya mereka jenuh, minta pulang, gelisah segala macam,” ungkap Eka.

"Semoga Indonesia Lebih Maju"

“Aduh tegang, takut salah nyoblosnya.”

Saya berjalan di belakang Haris menuju bangsal Arimbi usai ia memilih. Beberapa hari sebelum pencoblosan, Haris sempat bertanya-tanya pada Eka soal calon presiden mana yang harus ia pilih. Namun, Eka paham, ia tak boleh mempengaruhi orang lain untuk memilih calon tertentu.

“Ya yang sesuai hati nuranilah,” kata Haris, mengulangi jawaban yang ia dapat dari Eka.

Hak ODGJ berpartisipasi dalam pemilihan umum dijamin oleh UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang ini menglasifikasikan ODGJ sebagai kelompok masyarakat penyandang disabilitas mental. Dalam Pasal 77, disebutkan bahwa hak berpolitik penyandang disabilitas wajib difasilitasi oleh pemerintah dan pemda.

Artinya, tak ada mekanisme khusus yang harus dijalani para ODGJ jika ingin menjalankan hak politiknya. Juga tak perlu surat keterangan dari psikiater atau dokter yang mencantumkan kelayakan atau kompetensi ODGJ ikut serta dalam pemilu. Aturan tersebut diperkuat oleh Pasal 148 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

“Kompetensi memilih cukup dibuktikan dengan kesiapan dan kemampuan untuk mendatangi TPS. ODGJ tidak sama dengan inkompeten” ujar dr. Lahargo Kembaren.

Pro-kontra ihwal hak suara pasien ODGJ selalu digaungkan setiap pemilu. Banyak orang sangsi dan khawatir pasien ODGJ akan dipolitisasi, digiring untuk memilih calon-calon tertentu. Yang terparah adalah stigma bahwa mereka berpeluang mengganggu proses pemungutan suara.

Menurut Lahargo, jika ODGJ diharuskan memiliki surat keterangan untuk ikut pemilu, maka seluruh WNI harus diperiksa psikiater, karena bisa jadi ada pemilih yang tidak terdeteksi ODGJ.

"Saya rasa justru lebih mudah mempolitisasi orang biasa ketimbang ODGJ. Kemarin saya sempat tanya, bagaimana kalau diberi uang dan dirayu memilih calon tertentu. Mereka menolak," kata Lahargo.

Dengan mengikuti pemilu, katanya, tingkat kepercayaan ODGJ akan meningkat karena merasa dianggap penting dan dihargai. Ajang ini dapat dijadikan sebuah terapi rehabilitasi untuk pelan-pelan mengangkat harkat ODGJ yang seringkali terstigma dan didiskriminasi.

Apa yang dikatakan Lahargo tercermin dari sikap ditunjukkan Haris dan kawan-kawannya. Usai mencoblos, mereka tak henti memamerkan jari-jarinya yang tercelup tinta ungu.

Sambil berlalu dari ruang pencoblosan, Haris sempat mengucap harapan bagi calon pemimpin Indonesia yang terpilih nantinya.

“Semoga Indonesia lebih maju lagi, enggak ada korupsi, dan anak-anak gelandangan semua dipelihara negara.”

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani