Menuju konten utama

Tabloid Indonesia Barokah: Kebebasan Ekspresi yang Rusak Citra Pers

Dewan Pers masih mengkaji apakah tabloid Indonesia Barokah merupakan produk jurnalistik atau bukan.

Tabloid Indonesia Barokah: Kebebasan Ekspresi yang Rusak Citra Pers
Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Jateng Rofiuddin menunjukkan Tabloid Indonesia Barokah. antarafoto/Wisnu Adhi

tirto.id - Tabloid Indonesia Barokah yang terbit perdana pada Desember 2018 dan didistribusikan di sejumlah masjid di Jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi sorotan. Kehadirannya mengingatkan publik kepada Obor Rakyat yang terbit menjelang gelaran Pilpres 2014.

Tabloid Obor Rakyat saat itu memuat artikel yang dinilai mengandung hoaks dan menyudutkan salah satu kandidat yang bertarung di Pilpres 2014, yaitu Joko Widodo. Kasus ini kemudian dibawa ke meja hijau.

Setiyardi Budiono selaku pemimpin redaksi dan Darmawan Sepriyossa selaku redaktur Obor Rakyat divonis 8 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 23 November 2016.

Jelang pelaksanaan Pilpres 2019, tabloid serupa muncul. Namun, bedanya jika Obor Rakyat menyudutkan Jokowi, maka tabloid Indonesia Barokah yang mulai ramai diperbincangkan sejak Selasa, 22 Januari itu justru menyerang Prabowo, lawan Jokowi di Pilpres 2019.

Tabloid itu mengusung tajuk berjudul “Reuni 212: Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik?” dengan semua huruf kapital. Gambar di halaman depan menampilkan karikatur orang memakai sorban dan memainkan dua wayang.

Dari sekian banyak tulisan yang dimuat dalam tabloid Indonesia Barokah, yang paling disorot adalah Laporan Utama (hlm. 5) dan Liputan Khusus (hlm. 6). Laporan Utama menurunkan berita berjudul “Prabowo Marah, Media Dibelah.”

Sementara rubrik Liputan Khusus menurunkan artikel berjudul “Membohongi Publik untuk Kemenangan Politik?: Membongkar Strategi Semprotan Kebohongan”. Naskah ini bercerita soal kasus-kasus hoaks yang melibatkan tim sukses Prabowo, mulai Ratna Sarumpaet hingga Neno Warisma.

Terkait ini, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan menilai kehadiran tabloid, seperti Obor Rakyat atau Indonesia Barokah sebagai bentuk kebebasan ekspresi. Namun, dengan catatan tertentu yang musti diperhatikan.

“Asal media-media itu patuh pada standar kode etik jurnalistik, antara lain mempublikasikan fakta, menjaga keberimbangan, memakai cara profesional dalam mencari berita dan lain-lain,” kata Manan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (24/1/2019).

Sayangnya, dalam artikel tabloid Indonesia Barokah tersebut tidak memberikan ruang kepada sejumlah nama maupun Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga yang menjadi objek bahasan dalam tulisan itu.

Menurut Manan, kaidah-kaidah itu boleh saja diacukan, selagi produk itu tidak disebut sebagai karya jurnalistik. “Kecuali memang itu tak menamakan dirinya sebagai media, alias hanya sebagai poster atau pamflet saja,” kata dia.

Manan melanjutkan, “kalau dia [Obor Rakyat dan Indonesia Barokah] media, maka dia harus patuh pada kode etik. Jika ada sengketa, maka dia akan merujuk pada mekanisme di UU Pers.”

Namun, jika isi dari tabloid itu justru tidak sesuai dengan fakta dan tidak menaati kaidah-kaidah jurnalistik, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pers dan cara penyelesaian kasusnya tidak bisa menggunakan UU Pers.

“Kalau isinya tak faktual, alias info bohong, atau apalagi kalau berisi informasi atau ungkapan yang berisi penghinaan, itu bisa berpotensi dijerat dengan KUHP,” kata Manan.

Bagaimana dengan Sikap Dewan Pers?

Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun pun buka suara. Ia menilai kehadiran tabloid jenis Obor Rakyat maupun Indonesia Barokah hanya kepentingan sesaat yang terbit berbarengan dengan momentum politik.

“Memang sejak reformasi menjelang pemilu selalu ada media partisan yang lahir, tapi kemudian mati sendiri, karena maksud dibuat juga untuk kepentingan sesaat,” kata Hendry saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (24/1/2019).

Hendry berharap masyarakat mampu menyadari bahwa produk berupa tabloid yang dikemas selayaknya pers itu sebetulnya bukan karya jurnalistik. Sebab, tidak mematuhi kaidah-kaidah pers.

Ia mencontohkan Obor Rakyat. Menurut dia, isi tulisan dalam tabloid itu bukan produk jurnalistik dan pembuatannya pun tidak mematuhi aturan perusahaan pers. “Istilahnya media [tapi] bukan media,” kata dia.

Sementara terkait Indonesia Barokah, Hendry menuturkan Dewan Pers masih dalam tahap pengkajian, baik soal apakah karya itu termasuk kategori jurnalistik maupun kelengkapan administrasinya. Sehingga ia belum bisa memberikan pernyataan detail soal tabloid ini.

Hal senada diungkapkan anggota Dewan Pers lainnya, Nezar Patria. Ia mengatakan lembaganya masih mengkaji konten tabloid Indonesia Barokah ini.

Namun, kata Nezar, sepanjang tabloid itu memenuhi kaidah jurnalistik, maka tak jadi soal. Menurut dia, hal itu justru menambah keragaman dunia pers di Indonesia.

"Kalau Obor Rakyat dan Indonesia Barokah mau menjadi media yang mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan oleh UU Pers, misalnya berbadan hukum, taat kode etik jurnalistik, dikelola secara profesional, tentu akan memperkaya keragaman isi pers nasional,” kata Nezar.

Menurut Nezar, tabloid seperti Indonesia Barokah dan Obor Rakyat, sah menunjukkan pandangan politik dalam editorial. Asal tidak mencampur aduk antara fakta dan opini dalam satu berita yang dimuat.

“Meskipun dalam sikap mereka partisan, tapi mereka harus taat pada kode etik jika menyiarkan fakta dan peristiwa,” kata dia.

Namun beda soal, kata Nezar, apabila kedua tabloid tersebut hanya berdiri sebagai corong propaganda untuk kepentingan politik semata, kemudian abai pada kaidah dan kode etik jurnalistik. Sebab, itu bukan lagi produk jurnalistik.

"Dan bahkan [kalau ada media] menjadi alat menyebarkan hoaks dan berita bohong, tentu saja akan berurusan dengan hukum atau UU yang lain, dan itu bukan wilayah pers,” kata Nezar menegaskan.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz