tirto.id - Persyaratan CPNS 2019 yang diskriminatif terhadap gender, orientasi seksual, dan penyandang disabilitas menuai polemik. Salah satu instansi yang mencantumkan syarat itu Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Semisal jabatan Jaksa Ahli Pertama. Pada poin Formasi Pelamar Cumlaude, ia menyertakan persyaratan pelamar "tak memiliki kelainan orientasi seks dan tidak kelainan perilaku (transgender)”.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia Mukri berkata syarat bagi CPNS itu demi mendapatkan "pelamar yang normal."
"Artinya, kami ingin yang normal-normal, wajar-wajar saja. Kami tidak mau yang aneh-aneh supaya mengarahkan, supaya tidak ada yang… ya, gitulah," ucapnya di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Mukri enggan menanggapi kritik bahwa persyaratan itu diskriminatif.
"Saya no comment," kata Mukri.
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai ada "kesalahan berpikir yang mendalam" menyangkut persyaratan rekrutmen CPNS tersebut.
Selain itu, "ada kebencian dan ketakutan luar biasa terhadap homoseksualitas" atau homofobia.
Kedua hal itu, ujar Ricky, terlihat dari penyebutan "kelainan orientasi seksual".
“Dalam perspektif kesehatan dan psikologi, tidak ada persoalan dengan ‘kelainan’ orientasi seksual. Sebab orientasi seksual yang berbeda, termasuk yang berbeda dari yang mayoritas, dilihat sebagai keberagaman seksualitas," kata Ricky. "Dan hal itu sesuatu yang biasa saja dan ada dalam kehidupan manusia.”
Ricky menilai penyebutan “kelainan orientasi seksual dan kelainan perilaku” kepada minoritas gender membuktikan negara menolak perkembangan ilmu pengetahuan.
Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat telah menemukan sejumlah bukti ilmiah bahwa ada komponen biologis yang memengaruhi orientasi seksual, seperti interaksi genetik dan hormon.
Organisasi Kesehatan Dunia telah mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa dalam International Classification of Diseases (ICD) edisi 10.
Selain itu, dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ III), yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 1993, telah menghapus status homoseksualitas sebagai gangguan jiwa.
Diskriminasi terhadap Difabel
Tidak hanya diskriminasi gender, diskriminasi terhadap difabel membuat khawatir pelamar CPNS.
Muhammad Alhafikh, 21 tahun, salah satu mahasiswa asal Aceh, seorang tuna daksa dan low vision, bercita-cita menjadi PNS di Kementerian Perhubungan. Ia membaca syarat rekrutmen CPNS membatasi pelamar difabel. Ia menyayangkan ada pembatasan bentuk-bentuk disabilitas tersebut.
Instansi lain yang mengatur syarat disabilitas adalah Kejaksaan Agung. Para pelamar tidak buta warna, baik parsial maupun total, tidak cacat fisik, dan tidak cacat mental.
Sejumlah pengecualian itu, menurut Alhafikh, menggambarkan diskriminasi negara terhadap orang dengan disabilitas tertentu, yang ingin bekerja sebagai pegawai negeri sipil.
"Otomatis bermasalah karena di Indonesia, sudah ada UU Disabilitas yang menyantumkan hak-hak disabilitas, termasuk hak untuk terjun langsung ke dunia kerja," ujarnya.
Dikritik via Petisi Daring
Persyaratan bagi pelamar CPNS yang dinilai diskriminatif ini menjadi subjek petisi daring di Change.org.
Mukhanif Yasin Yusuf, pendiri UKM Peduli Difabel UGM, menulis dalam petisi itu: "Mari serukan kepada pemangku kepentingan agar rekrutmen CPNS bisa terbuka untuk semua ragam disabilitas. Tanpa ada diskriminasi. Semua ditentukan oleh kompetensi dan kapabilitas masing-masing."
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang melihat seseorang dari sisi kualitasnya, bukan dari segi fisik dan sejenisnya."
Petisi itu telah mendapatkan lebih dari seribu tandatangan.
Dalam update terbaru, petisi itu resmi ditutup menyusul ada surat edaran dari Kemenpan-RB, yang meminta kementerian/lembaga/instansi meninjau kembali (menghapus) syarat-syarat yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
Surat itu juga meminta instansi yang belum mengumumkan CPNS tidak mencantumkan syarat yang diskriminatif. Selain itu, penyandang disabilitas bebas memilih semua formasi dalam rekrutmen CPNS.
"Terima kasih untuk pemerintah Indonesia yang sudah berkenan mendengarkan dan mengabulkan suara kami. Terima kasih juga untuk yang mendandatangani dan membagikan petisi ini. Tugas kita mengawal surat edaran tersebut di instansi pusat maupun daerah," tulis Mukhanif.
"Semoga ke depan Indonesia menjadi lebih inklusif dan kasus ini tidak terulang pada masa mendatang."
Penulis: Adi Briantika
Editor: Irwan Syambudi