Menuju konten utama

Syamsul Fuad, Falcon, Benyamin dan Perkara Gugat Menggugat

Maxima Pictures dan Falcon Pictures menganggap gugatan Syamsul Fuad mempengaruhi masyarakat dan membuat target penonton Benyamin Biang Kerok gagal tercapai.

Syamsul Fuad, Falcon, Benyamin dan Perkara Gugat Menggugat
Film Benyamin biang kerok. FOTO/Istimewa

tirto.id - Bagi Syamsul Fuad, film Benyamin Biang Kerok yang disutradarai Hanung Bramantyo adalah film komedi gagal. “Film itu tidak lucu”, kata sineas warsa 1970-an itu. Tapi hal yang paling tidak lucu, menurut dia, adalah gugatan yang dilayangkan Maxima Pictures dan Falcon Pictures kepada dirinya beberapa waktu lalu.

“Filmnya enggak laku, kok jadi saya yang disalahin?” kata Syamsul Fuad saat ditemui Tirto, Jumat (20/4/2018).

Pria kelahiran Palembang, 15 November 1936, mengangkat punggungnya dari sandaran kursi setiap kali bercerita soal gugat-menggugat antara dirinya dengan dua rumah produksi tersebut. Raut wajahnya terlihat jengkel. Suaranya meninggi dan bergetar.

Ia memang sudah tua. Wajahnya penuh kerut-merut usia dan bahunya tak lagi tegap. Setiap kali bicara, barisan gigi atasnya yang tanggal bisa terlihat. Namun, sikapnya menghadapi gugatan Falcon dan Maxima Picture niscaya membuat orang segera melupakan usianya.

Saya menemui Syamsul di kantor Harian Pos Kota, kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat, untuk wawancara pada Jumat (20/4/2018). Di ruangan seluas 4x5 meter yang disesaki tumpukan buku, ia menumpahkan kekesalannya lantaran naskah Benyamin Biang Kerok garapannya diangkat ke layar lebar tanpa izin dan kompensasi.

Menurut dia, Ody Mulya Hidayat dari Max Picture baru mendatanginya di Pos Kota pada Oktober 2017, setelah berita pembuatan film itu ia sebut melanggar hak cipta di media. Waktu itu, kata Syamsul, Ody menjelaskan bahwa hak cipta atas karya sinematografi memiliki batas waktu 25 tahun.

Lantaran tak terlalu paham akan ketentuan waktu atas Hak Cipta tersebut, Syamsul meminta agar rumah produksi itu membayar hak pakai atas karyanya sebesar Rp25 juta. Namun, Max Pictures menolak dan menawar harga hingga Rp10 juta.

“Mereka bilang sudah beli Rp15 juta dari keluarga Benyamin Sueb. Saya bilang apa urusannya, itu karya saham, Benyamin kan cuma pemain. Dan saya juga baru tahu kalau ternyata tidak ada batas waktu untuk hak cipta itu," terangnya.

Setelah itu, ujar Syamsul, Max Pictures tak lagi menghubunginya dan hingga ia mengirim dua kali surat peringatan pada Desember 2017. “Akhirnya saya panggil pengacara saya. Dia kirim somasi, tapi enggak dijawab juga."

Pada 1 Maret 2018, film Benyamin Biang Kerok pun rilis di bioskop meski tanpa pemberian kompensasi kepada Syamsul. Akhirnya, pada 16 Maret, dirinya dan pengacara Backhtiar Yusuf memutuskan untuk menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya, Syamsul menuntut ganti rugi senilai total Rp11 miliar dan royalti Rp1.000 per tiket bioskop yang terjual.

Tak Mau Libatkan Keluarga

Akan tetapi, Falcone Pictures dan Max Pictures menggugat balik Syamsul Fuad karena merasa dirugikan dengan tuntutan yang dilayangkan kepada mereka. Mereka meminta ganti rugi sebesar Rp50 miliar yang terdiri dari kerugian materiil Rp35 miliar dan imateriil Rp15 miliar pada pertengahan April lalu.

Kedua Production Houses menganggap gugatan Syamsul mempengaruhi masyarakat dan membuat target penonton Benyamin Biang Kerok gagal tercapai. Angka Rp50 miliar itu dianggap mewakili kerugian yang dialami Max Pictures karena jumlah film Benyamin Biang Kerok hingga saat ini baru menembus angka 740 ribu penonton.

Kendati demikian, Syamsul tak mau melibatkan orang-orang terdekat serta keluarganya untuk menghadapi masalah tersebut. Ia mengaku bakal menghadapinya sendirian, meski jumlah harta yang dimilikinya tak akan cukup membayar gugatan tersebut.

“Saya kasih pakaian dalam saya. Celana dalam saya untuk Ody (Max Pictures) dan kaos kutang saya untuk pengacaranya," kata dia.

Syamsul mengaku bukan tipe orang yang bergantung pada anak-anaknya. Lantaran itulah, kata dia, hingga sekarang dirinya masih aktif di Pos Kota meski namanya tak lagi ada di jajaran redaksi. Kadang, ia memberikan masukan terhadap produk-produk yang tayang baik di koran Pos Kota maupun situsweb poskotanews.com.

Setiap hari, sekitar pukul 12 siang, ia akan berangkat dari kediamannya di Jalan Kembang, Kwitang Jakarta Pusat, ke kantor Pos Kota. "Anak saya kerja di sini juga, tapi kerja saja. Saya enggak ada urusan," imbuhnya.

Ketika ditanya soal tawaran damai oleh Falcon dan Max Pictures, ia mengaku masih akan menolak. "Sudah terlanjur," ujarnya. “Kita lihat nanti, siapa yang berhak dan siapa yang benar. Saya merasa itu ciptaan saya. Ibaratnya mereka masuk [ke rumah saya] sembarangan, ambil punya saya. Saya teriakin malinglah. Itu hak saya.”

Pihak Falcon Pictures akhirnya buka suara tentang kisruh hak cipta film tersebut. Lydia Wongso, konsultan hukum Falcon Pictures mengaku sudah membeli hak cipta Benyamin Biang Kerok.

“Untuk hak ciptanya kami sudah beli dari orang-orang. Kami pembeli terakhir, ada juga catatannya di [Ditjen] HaKI. Ini bukan masalah uang,” kata Lydia kepada Tirto, Minggu (22/4/2018).

Menurut Lydia, jika Syamsul Fuad masih mengklaim dirinya sebagai penulis cerita, seharusnya ia mencari siapa orang yang dulu membayar karyanya. “Kami dari keluarga Benyamin juga ada izin, kok. Ada surat menyurat lengkap,” kata dia.

Selain itu, Lydia juga menjelaskan jika Falcon Pictures belum secara resmi menggugat balik Syamsul. “Kami masih pertimbangkan. Enggak, enggak. Kasian orang sudah tua,” kata Lydia saat dikonfirmasi soal gugatan ganti rugi sebesar Rp50 miliar di PN Jakarta Pusat.

Infografik Current Issue Benyamin Biang Kerok 1972

Dari Wartawan hingga Sineas

Syamsul Fuad mengawali kariernya di dunia film dengan menjadi figuran dalam film Menjusuri Djedjak Berdarah pada 1967. Waktu itu, ia masih aktif sebagai wartawan di harian Warta Berita dan banyak mengulas soal film Indonesia.

Kemunculannya pertama kali dalam film yang disutradarai Misbach Jusa Biran itu mendapat sambutan positif hingga ia dinobatkan sebagai “Pendatang Baru Terbaik” pada Pekan Apresiasi Film Indonesia 1967 di Jakarta. Setelah itu, kata dia, “Saya mulai sibuk di film dan mulai tidak aktif sebagai wartawan.

Usai menjadi figuran, Syamsul mulai terlibat dalam penggarapan beberapa film, seperti Bali dan Kutukan Dewata, sebagai Kepala Unit. Setelah itu, ia naik ke posisi asisten sutradara untuk film Ananda (1970) yang merupakan karya terakhir sutradara Usmar Ismail.

"Dari sana, saya mulai baca banyak skenario dan belajar buat naskah. Otodidak. Guru saya Pak Usmar itu. Makanya saya kalau buat naskah seperti dia, lama prosesnya," ucapnya.

Selain Usmar Ismail, Syamsul mengaku banyak belajar dari Nawi Ismail saat dirinya menjadi asisten sutradara untuk produksi beberapa film hingga 1974. Menurutnya, Nawa Ismail adalah orang yang disiplin dan keras terhadap para aktor dan tim produksi yang dipimpinnya. Karena itu, ungkap Syamsul, "setiap film produksi dia berhasil. Dan itu saya ikuti. Saya selalu saya turun tangan untuk pilih tim sendiri. Saya harus lihat tim saya dan pilih sendiri orang-orangnya."

Ada 11 film yang ia garap bersama Usmar dalam kurun waktu tersebut, termasuk Biang Kerok (1973) yang saat ini tengah jadi perbincangan hangat di publik dan masuk ke ranah hukum. Fuad menyampaikan, naskah tersebut adalah naskah pertamanya yang ia buat khusus atas permintaan Nawi Ismail.

“Saya sudah bayangkan jalan ceritanya waktu itu. Tapi naskah saya gagal terus. Beberapa kali ditolak. Akhirnya pas Pak Nawa Ismil ke Tokyo, saya bikin naskah lagi, Biang Kerok itu. Benyamin trouble maker, sengaja saya buat Benyamin yang jadi tokoh utama," kisahnya.

Ia mengaku kenal Benyamin dari film Honey, Money and Jakarta Fair (1970) yang disutradarai Misbach. Waktu itu, diirinya dan Benyamin masih sama-sama pendatang baru di dunia perfilman dan sama-sama menjadi pemeran pembantu.

Namun, tak mudah mengajak Benyamin menjadi pemeran utama dalam film Biang Kerok. Ia perlu membujuk beberapa kali sebelum akhirnya aktor Betawi itu mau bermain di dalam film.

“Jadi tidak gampang, dan dia sempat menolak. Sekarang naskah saya dipakai tapi saya enggak diajak bicara dulu, etikanya di mana?” keluh Syamsul.

Setelah film tersebut, Fuad kerap bekerja bersama Benyamin membuat beberapa naskah film. Beberapa yang ia ingat, adalah Benyamin Brengsek (1973), Buaya Gile (1974), Benyamin Raja Lenong (1975), Hippies Lokal (1976), Benyamin Jatuh Cinta (1976), Raja Copet (1977), Dukun Kota (1978), dan Komedi Lawak 88 (1986).

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Film
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz