tirto.id - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengeluarkan hasil survei dan laporan pemantauan daya rusak tambang selama masa pandemi COVID-19. Laporan itu berjudul ‘Sudah Pandemi Tertimpa Tambang: Bagaimana Tambang Menunggangi Pandemi COVID-19, Memperburuk Krisis, dan Merentankan Imunitas Sosial-Ekologis Warga.’
Survei dan laporan itu dirilis pada Selasa (5/8/2020) pagi lewat diskusi daring yang diselenggarakan JATAM.
Dalam laporan surveinya, JATAM melakukan wawancara dengan 39 responden mewakili komunitas yang tinggal dan berada di kawasan lingkar pertambangan, baik pertambangan yang sedang beroperasi maupun yang belum dan sudah ditutup atau berhenti sementara.
Dalam laporan tersebut, dijelaskan komoditas pertambangan yang ada di 39 komunitas itu pun beragam, termasuk batu bara, batu gamping, batu andesit, minyak & gas bumi, emas, nikel serta pasir besi. Survei ini mengumpulkan responden dari berbagai pulau besar dan pulau kecil yang terbentang dari Aceh (Pulau Sumatera) hingga di Mimika, Papua.
Pengambilan data dilakukan dengan google form sejak 18 Mei hingga 12 Juni 2020.
Salah satu hasil survei menunjukkan bahwa komunitas yang berada pada wilayah di mana tambang tidak beroperasi –baik itu karena belum beroperasi, berhenti, ataupun berhasil digagalkan warga–mampu bertahan lebih lama dalam memenuhi kebutuhan pangannya.
"Sebanyak 23 persen atau sembilan dari 39 responden memprediksi bahwa komunitas mereka bisa bertahan dengan penyediaan pangan mandiri selama lebih dari satu tahun. Dari seluruh responden yang menjawab demikian, sebagian besar yakni tujuh komunitas berada di wilayah yang mana pertambangan tidak beroperasi," tulis JATAM dalam temuannya.
Namun hasil survei itu juga menunjukkan tujuh wilayah komunitas atau 18 persen responden memprediksi ketahanan pangan mereka hanya bertahan kurang dari satu bulan. Lima di antaranya adalah komunitas yang berada pada wilayah di mana tambang masih beroperasi.
"Sedangkan secara umum untuk 21 wilayah di mana tambang masih beroperasi, sebagian besar memprediksi mereka mampu bertahan kurang dari satu bulan dan 3-6 bulan saja, hanya dua responden yang memprediksi ketahanan pangan mereka mampu bertahan lebih dari satu tahun," kata JATAM.
Dengan seperti itu, JATAM memberikan kesimpulan bahwa imunitas pangan warga yang lebih tinggi di masa pandemi ini nampak jelas pada wilayah di mana tambang tidak beroperasi.
"Tentu ini tidak lepas dari masih terjaminnya infrastruktur ekologis penopang ruang hidup warga yang belum mengalami kerusakan atau gangguan berarti akibat operasi tambang," tulis JATAM.
JATAM menjelaskan, 39 komunitas yang menjadi responden survei terdapat 29.821 warga yang turut melakukan perlawanan-pemulihan, yang terdiri dari 12.830 perempuan dan 16.991 laki-laki. Dari kesemuanya, 21 komunitas berada di wilayah tambang masih beroperasi, 7 komunitas di wilayah tambang gagal beroperasi, 8 komunitas di wilayah tambang belum beroperasi, dan 3 komunitas di wilayah tambang yang berhenti sementara.
Tak hanya itu, sebanyak 82 persen atau 32 komunitas dari seluruh responden mengaku bahwa distribusi hasil produksi tersendat sepanjang pandemi.
Alasan dari tidak lancarnya distribusi hasil produksi warga juga beragam, namun yang menjadi alasan utama adalah adanya pembatasan gerak transportasi (21 komunitas). Kedua, adalah karena jatuhnya harga hasil produksi (20 komunitas). Selanjutnya, sebanyak 10 komunitas menyatakan bahwa selain permasalahan hambatan distribusi, masalah berikutnya adalah tidak ada atau jarangnya pembeli.
Di laporan yang sama, Kepala Kampanye JATAM Melky Nahar mengatakan pandemi Covid-19 turut juga ditunggangi kepentingan industri tambang. Kata dia, alih-alih menurunkan ataupun menghentikan aktifitas tambangnya, saat publik dibatasi ruang geraknya, perusahaan tambang justru semakin leluasa.
"Mulai dari merampas lahan, mendatangkan tenaga kerja dari luar, memasukkan alat berat, hingga pengerahan aparat untuk mengintimidasi warga," kata dia.
Ia melanjutkan, hal lain yang turut mengancam keselamatan warga di lingkar pertambangan adalah pengesahan UU Minerba 3/2020 yang baru hasil revisi UU Minerba 4/2009.
"Pembahasan dan pengesahan revisi UU Minerba yang dilakukan di masa pandemi ini tidak berpihak pada warga dan alam serta berpotensi memperdalam krisis yang telah ada di lingkar tambang," kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz