tirto.id - Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah surah intruksi dari Presiden Soekarno kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam mengatasi situasi keamanan, kestabilan pemerintahan, dan jalannya proses revolusi.
Meskipun dalam perjalananya kemudian, Supersemar justru disebut sebagai surat sakti yang berujung kepada pergantian kekuasaan dari Orde Lama menuju Orde Baru. Lantas, sebenarnya bagaimana sejarah Supersemar? Apa isi dan tujuan dari diberikannya surat tersebut?
Sejarah Supersemar
Sejarah Supersemar dimulai dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang menculik dan membunuh jenderal-jenderal Angkatan Darat. Peristiwa ini dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Letnan Kolonel Untung sebagai pelaku utamanya.
Letkol Untung pada waktu tersebut menjabat sebagai seorang komandan Cakrabirawa, yakni pasukan khusus yang bertugas mengawal presiden. Atas terjadinya peristiwa G30S PKI, Letkol Untung kemudian dituduh ingin menggulingkan Presiden Sukarno demi kepentingan PKI.
Tiga hari pasca peristiwa tersebut, Sukarno kemudian menunjuk sendiri Soeharto, Panglima Komandan Cadangan Strategi AD (Pangkostrad) untuk menjadi pemimpin badan yang memiliki tugas melaksanakan pemulihan keamanan. Soeharto pun akhirnya menindaklanjuti perintah presiden dengan membentuk Komando Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada tanggal 10 Oktober 1965.
Kopkamtip kemudian menangkap anggota dan simpatisan PKI. Komando ini juga menyingkirkan beberapa anggota PKI yang menduduki biokrasi kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya. orang-orang yang ditangkap tersebut, beberapa dibunuh atau dihukum mati seperti Letkol Untung.
Dikutip dari buku Soeharto: A Political Biography oleh R.E. Elson (2001), Elson mencatat sebanyak 1.334 orang terkait PKI ditangkap di Jakarta per 16 Oktober 1965. Diperkirakan lebih dari 400.000 anggota dan simpatisan partai ini tewas dibunuh tentara atau anggota organisasi masyarakat yang berafiliasi dengan musuh-musuh politik PKI pada periode 1965-1966.
Penandatanganan dan Isi Supersemar
Pada 11 Maret 1966, Presiden Sukarno yang sedang melantik Kabinet Dwikora di Istana Merdeka, terpaksa harus meninggalkan sidang lebih cepat. Sukarno diungsikan ke Istana Bogor bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh.
Dikutip dari buku Misteri Supersemar oleh Eros Djarot (2006), ada laporan terkait pergerakan pasukan liar di sekitar istana. Pasukan ini belakangan diketahui merupakan Pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris yang hendak “membersihkan” orang-orang di kabinet yang diduga terlibat G30S.
Pada malam harinya di Istana Bogor, Sukarno ditemui oleh Bigjen M. Jusuf, Bigjen Amirmachmud, dan Birgjen Basuki Rahmat. Ketiga Brigjen ini merupakan utusan dari Soeharto yang memiliki tugas untuk membicarakan terkait situasi yang sedang terjadi.
Mereka menjelaskan pesan kepada Presiden Sukarno, bahwa Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan. Akan tetapi, Sukarno harus mengeluarkan surat tugas yang memberikan Soeharto untuk mengambil tindakan.
Sukarno terpaksa menyepakati Surat Perintah 11 Maret 1966 yang memberikan mandat kepada Suharto untuk menjamin jalannya pemerintahan dan revolusi.
Dikutip dari buku Mengapa G30S/PKI Gagal? oleh Samsudin (2004), surat ini memberikan wewenang kepada Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat guna mengambil tindakan yang diperlukan dalam pemulihan keamanan dan ketertiban.
Inti dari Supersemar adalah surah perintah dari Presiden Sukarno kepada Letjen Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu dalam pengamanan negara. Hal dilakukan karena keadaan negara pada waktu itu sedang rentang, salah satunya karena dampak peristiwa G30S PKI.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Dipna Videlia Putsanra