tirto.id - Hujan lebat yang mengguyur sebagian besar wilayah di Indonesia di pengujung tahun 2018 menyebabkan sejumlah sungai meluap dan merendam area sekitarnya.
Dihimpun dari Antara, Sungai Kampar di Pekanbaru Riau yang meluap akibat hujan deras telah merendam sebuah pondok pesantren dengan ketinggian 70-90 sentimeter yang membuat ratusan santri harus dievakuasi. Air luapan sungai turut merendam sejumlah perumahan. Beberapa warga dilaporkan hilang terseret arus banjir dan masih dilakukan pencarian, pada Selasa (11/12).
Di Subulussalam, Banda Aceh, pada Rabu (5/12) sungai yang melintasi sembilan desa di sana airnya meluap dan merendam pemukiman penduduk yang dihuni ratusan keluarga. Beruntung tak ada korban jiwa dan penduduk tak perlu mengungsi.
Pada Kamis (6/12), Sungai Leles di Sukabumi, Jawa Barat dilaporkan meluap akibat hujan lebat. Belasan rumah di Kelurahan Kebonjati, Kecamatan Cikole terendam air luapan sungai setinggi 20-30 sentimeter.
Tingginya curah hujan di sejumlah daerah di Indonesia sejalan dengan rilis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebutkan bahwa saat ini 62 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim hujan dan beberapa daerah menghadapi curah hujan tinggi.
"Beberapa wilayah mendapatkan curah hujan tinggi namun ada juga yang curah hujan rendah," kata Deputi Bidang Klimatologi Herizal dalam keterangan tertulisnya, Jumat (14/12).
Wilayah yang mengadapi curah hujan tinggi (lebih dari 150 mm/dasarian) meliputi Sumatera Barat, Riau bagian Tengah, Jambi bagian barat, Muko-muko, Pekanbaru, Kampar, Kerinci, Belitung, Cilacap, Semarang, Kapuas Hulu, Samarinda, Flores, Sorong, Nabire dan Mimika.
Bencana Sungai Kuning
Di belahan bumi lain, hujan lebat hingga menyebabkan air sungai meluap lalu merendam area sekitarnya tak jarang menjadi bencana yang sangat mematikan. Ribuan hektare area sekitar terendam banjir dan ratusan ribu hingga jutaan orang tewas.
Sungai besar bernama Huang He atau umum dikenal dengan sebutan Sungai Kuning yang terletak di Republik Rakyat Cina punya peran penting bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Mulai dari pemanfaatan pembangkit listrik hingga pasokan air irigasi.
Di sepanjang tepian sungai, selain melintasi pegunungan, hutan hingga gurun, banyak pula ditemukan jejak-jejak kota kuno dan peninggalan peradaban lainnya. Peninggalan ini menjadi saksi hidup dan matinya peradaban berbagai dinasti di lembah Sungai Kuning sejak ribuan tahun lalu.
Berhulu dari Pegunungan Bayan Har di Provinsi Qinghai, Sungai Kuning mengular sepanjang 5.464 km melintasi tujuh provinsi dan dua daerah otonom dan bermuara di Laut Bohai. Hal ini menjadikannya sungai terpanjang kedua di Asia setelah sungai Yangtze yang juga terletak di Cina.
Nama Sungai Kuning (Huang He) berasal dari lumpur yang dialirkannya.
Namun di balik itu, Sungai Kuning juga menyimpan jejak bencana dahsyat. Sungai Kuning kadang disebut "Sungai Kesedihan". Setidaknya ada tiga kali banjir besar di Sungai Kuning yang diketahui dalam sejarah modern; tahun 1887, 1931 dan 1938.
Dari tiga peristiwa itu, luapan banjir Sungai Kuning yang paling merusak muncul pada Agustus 1931. Encyclopaedia Britannicamencatat lebih dari 21.000 kilometer persegi area di sekitar aliran sungai terendam air.
Akibatnya, lebih dari 80 juta penduduk kehilangan tempat tinggal. Korban tewas baik yang diterjang banjir maupun terdampak penyakit dan kelaparan berkisar antara 850 ribu sampai empat juta jiwa. Banyaknya korban tewas menjadikan bencana tersebut salah satu yang paling mematikan dalam sejarah Cina.
Banjir Sungai Kuning 1887 juga tidak bisa diremehkan. Encyclopedia of Disaster Relief (2011) yang disunting oleh K. Bradley Penuel dan Matt Statler mencatatnya secara detail. Pada akhir September 1887, setelah hujan deras mengguyur dekat Zhengzhou di Provinsi Henan, air di Sungai Kuning meluap dan menerjang 11 kota besar dan ratusan desa.
Saking banyaknya sedimen tanah yang dibawa, daerah sapuan luapan Sungai Kuning terlihat seperti hamparan gurun dadakan. Total korban jiwa baik karena terjangan banjir maupun dampak setelahnya diperkirakan sekitar satu sampai dua juta jiwa.
Tidak semua bencana banjir luapan Sungai Kuning diakibatkan oleh curah hujan tinggi atau siklus alam lainnya. Saat Perang Cina–Jepang (1937–1938), pasukan nasionalis Cina pimpinan Chiang Kai-shek mengambil keputusan untuk menghancurkan tanggul Sungai Kuning di dekat Kota Kaifeng, Provinsi Henan. Hal itu dilakukan demi menghalau laju pasukan Jepang. Namun, keputusan tersebut harus dibayar mahal dengan tewasnya 500.000 hingga 900.000 penduduk.
Upaya Penanggulangan
Banjir Sungai Kuning sudah lama terjadi dan terus berulang. Diperkirakan telah terjadi sekitar 1.500 kali banjir dari luapan Sungai Kuning sejak abad ke-2 SM.
Sepanjang sejarahnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) turut mengalami perubahan ketika penumpukan sedimen tanah yang memaksa air membuka jalan baru di sekitarnya. Posisi DAS terdahulu dapat diidentifikasi melalui catatan sejarah dan dari bukti geomorfologi dan sedimentologi.
Di era Republik Rakyat Cina, sejak 1947 pemerintah mencanangkan program penanggulangan banjir Sungai Kuning serta mencegah aliran sungai berubah arah. Pengendalian banjir diwujudkan dengan pembangunan bendungan penahan banjir dan cekungan retensi di luar DAS serta pendirian tanggul buatan yang melapisinya.
Masalahnya, sedimentasi tanah di aliran Sungai Kuning tetap terjadi dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sedimentasi tanah menaikkan dasar sungai sekitar 10 meter dan berdampak pada luapan air mencari aliran baru di sekitarnya.
Li Shu dan Brian Finlayson dalam laporan risetnya yang bertajuk "Flood management on the lower Yellow River: hydrological and geomorphological perspectives" (1993) menyatakan strategi pengendalian Sungai Kuning yang dibikin pemerintah Cina mungkin tidak dapat berjalan sesuai harapan untuk jangka panjang. Mereka merekomendasikan agar pemerintah mengambil pendekatan baru untuk menghadapi bencana besar berdasarkan pemahaman atas karakteristik Sungai Kuning yang agresif itu. Beberapa pilihan yang bisa diambil adalah mengubah tanggul di beberapa titik dan mengevakuasi penduduk di daerah yang punya risiko tinggi terdampak.
Di sisi lain, pembangunan tanggul oleh pemerintahan Cina era republik ini sebenarnya sudah dilakukan oleh para leluhur mereka. Pada 2014, Washington University in St. Louis mempublikasikan temuan arkeolog T.R. Kidder mengenai jejak pembangunan tanggul dan sistem mitigasi banjir lainnya di sekitar DAS Sungai Kuning sejak sekitar 3.000 tahun yang lalu.
Peningkatan sedimentasi tanah adalah tanda bahwa peningkatan populasi penduduk di sekitar DAS dan pembangunan tanggul justru menyebabkan erosi, menyokong terbentuknya sedimentasi di aliran Sungai Kuning dan ujungnya-ujungnya meningkatkan risiko banjir luapan air sungai. "Sungai Kuning telah menjadi sungai yang direkayasa—sepenuhnya tidak alami—untuk waktu yang cukup lama," kata Kidder.
Meski luapan Sungai Kuning kini tak lagi mengorbankan ratusan ribu hingga jutaan penduduk sekitar, namun tetap saja otoritas terkait ketar-ketir tiap kali hujan lebat mengguyur area sungai.
Diwartakan Xinhua, pada Juli 2018, hujan lebat mengakibatkan tinggi air Sungai Kuning meningkat pesat di Lanzhou, ibu kota Provinsi Gansu di Cina barat laut. Markas Besar Pengendalian Banjir dan Bantuan Kekeringan Sungai Kuning langsung memerintahkan otoritas lainnya untuk mengevakuasi warga sekitar dan meningkatkan pemantauan di sepanjang sungai dan tanggul. Tim SAR turut dimintai untuk terus memperbarui informasi situasi mengenai banjir.
Editor: Windu Jusuf