Menuju konten utama
Dampak Pandemi COVID-19

Sulitnya Industri Penerbangan Pulih meski Penumpang Sudah Banyak

Memang ada kenaikan jumlah penumpang selama pandemi COVID-19 akibat pelonggaran PSBB, namun tetap saja sulit untuk memperbaiki industri penerbangan.

Sulitnya Industri Penerbangan Pulih meski Penumpang Sudah Banyak
Pesawat Boeing 737 milik maskapai Lion Air mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, Kamis (20/8/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/nz

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya 800 ribu penumpang yang melakukan perjalanan menggunakan pesawat, baik itu penerbangan domestik maupun internasional selama Juni 2020. Jumlah ini naik tajam bila dibandingkan Mei 2020 yang hanya 100 ribu penumpang.

Untuk penerbangan domestik, jumlah penumpang mencapai 780 ribu penumpang naik 791,38 persen dari Mei 2020 yang hanya berkisar 90 ribu penumpang. Meski memang secara year on year (yoy) jumlahnya masih turun 88,97 persen dari Juni 2019 yang mencapai 7,03 juta penumpang.

Tak hanya domestik, Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Senin (3/8/2020) mengatakan penerbangan internasional juga mulai menunjukan kenaikan mencapai 20 ribu pada Juni 2020. Angka ini relatif membaik atau naik 54,70 persen dari Mei 2020 di kisaran 10 ribu penumpang. Kenaikan ini tercatat cukup signifikan menyusul pelonggaran PSBB yang diberlakukan pemerintah di berbagai wilayah.

“Dampak relaksasi PSBB, jumlah wisman mulai berdatangan tapi posisi jauh dari normal,” ucap Suhariyanto.

Klaim penumpang pesawat sudah ramai juga diungkapkan Presiden Direktur PT Angkasa Pura II (Persero) Muhammad Awaluddin yang menyebut utilisasi slot penerbangan meningkat 99 persen.

Di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada April – Juni rata-rata utilisasi slot time penerbangan cukup rendah hanya 16 persen. Sementara itu sepanjang Juli dan 1-21 Agustus, rata-rata utilisasi slot time penerbangan meningkat 99 persen atau mencapai 32 persen. Diketahui Bandara Internasional Soekarno-Hatta di tengah pandemi ini memiliki 83 rute penerbangan yang dijadwalkan.

“Sepanjang April – Juni 2020 rata-rata rute penerbangan yang dibuka hanya sekitar 50,5 persen per bulan, lalu kemudian meningkat sepanjang Juli dan 1-21 Agustus menjadi 62,3 persen per bulan. Naik 24 persen,” kata Awaludin.

Bahkan dalam data terbaru volume penerbangan Bandara Soekarno-Hatta memecahkan rekor selama pandemi Corona melanda Indonesia. Per Jumat (14/8/2020) pergerakan pesawat di Soekarno-Hatta mencapai 524 (43,6 persen) dari kapasitas harian yang ditentukan 1.200 dengan 45.745 penumpang yang juga tertinggi selama pandemi.

Masih Terpuruk

Melihat angka-angka tersebut, memang terdapat adanya kenaikan jumlah penumpang selama pandemi COVID-19 akibat adanya pelonggaran PSBB. Namun rupanya angka-angka yang meningkat itu sama sekali tak berpengaruh terhadap kondisi operasional maskapai penerbangan. Operasional maskapai penerbangan masih dianggap terpuruk sebagai akibat kondisi pandemi COVID-19 ini.

Garuda Indonesia mencatat sudah mengoperasikan 166 penerbangan dari jadwal normal yaitu 400 penerbangan. Itu pun, dengan ketentuan keterisian penumpang hanya 50-70 persen selama masa pandemi. Dalam laporan keuangannya, maskapai pelat merah ini melaporkan kondisinya yang masih berdarah-darah.

Pada semester I, Garuda menderita rugi hingga 712 juta dolar AS atau setara Rp10,34 triliun. Kinerja keuangan Garuda pada semester I 2020 ini lebih buruk dari periode yang sama pada 2019 dengan catatan laba 24,11 juta dolar AS atau setara Rp349 miliar.

Pendapatan Garuda anjlok tajam menjadi hanya 917,28 juta dolar AS setara Rp13,3 triliun. Padahal pada periode yang sama pada 2019, Garuda masih mampu memperoleh pendapatan 2,19 miliar dolar AS atau setara Rp31 triliun.

Begitu pula dengan Lion Air Group yang mencatat pertumbuhan penumpang rata-rata mencapai 2-5 persen hingga Juli 2020, terutama hanya untuk rute di kota-kota besar.

Corporate Communication Strategic Lion Air Group Danang M. Prihantoro mengatakan rata-rata penerbangan juga berkurang signifikan dari semula 1.400 penerbangan per hari hingga 1.600 penerbangan per hari. Saat ini, rata-rata hanya mencapai 30 persen hingga 40 persen dibandingkan dengan posisi normal.

Meski begitu, perusahaan maskapai milik Rusdi Kirana ini masih optimistis terjadinya peningkatan jumlah penumpang hingga akhir tahun ini yang tentu saja bisa berdampak pada meningkatnya pendapatan.

Kasus yang dialami Garuda dan Lion Air Group mungkin jadi gambaran beberapa maskapai lain yang juga bernasib serupa. Berdasarkan data pergerakan penumpang pesawat di 2018 terdapat 115 juta pergerakan penumpang, kemudian di tahun 2019 terjadi penurunan penumpang sekitar 15 persen menjadi sekitar 98 juta.

Kalau saja dirata-rata, pergerakan orang yang menggunakan pesawat di Indonesia adalah 100 juta/tahun dengan asumsi 8,3 juta penumpang/bulan. Adanya peningkatan jumlah penumpang mencapai 800 ribu di bulan Juni 2020 ini tentu saja hanya 3 persen dari situasi normal.

“Artinya, maskapai penerbangan belum [baik-baik saja],” kata Ketua Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja kepada Tirto, Rabu (26/8/2020).

Denon bilang, meski kondisinya masih jauh dari normal, ia bersyukur masyarakat sudah mulai bergerak dan menggunakan pesawat terbang. Hanya saja ia berharap adanya perbaikan dalam proses pemeriksaan protokol kesehatan di bandara yang masih dilakukan manual dan berlapis-lapis tahapannya.

“Jadi saya sangat anjurkan terutama dari Kementerian Kesehatan dalam memeriksa satu calon penumpang ini supaya proses migrasi digital lah segera. Karena kalau manual itu tadi masyarakatnya sudah percaya regulatornya sudah mendukung. Masalahnya itu di pemeriksaan manualnya itu,” terangnya.

Keluhan serupa juga diungkapkan pengamat penerbangan, Alvin Lie. Menurut Alvin industri penerbangan saat ini masih terpuruk dan belum normal.

Ia mencontohkan untuk rute Semarang, Yogyakarta, Solo dari Jakarta, maskapai seperti Citilink sebelum pandemi bisa melayani perjalanan tiga kali sehari namun saat ini hanya sekali sehari. Kemudian Garuda Indonesia bisa melayani 8-10 kali penerbangan dalam sehari, tapi sekarang 1 hari sekali. Kemudian Batik Air yang dulu bisa 4-5 kali saat ini hanya bisa dua kali terbang bahkan bisa tidak jadi terbang.

“Jadi saya justu khawatir ketika ini membuat terbuai angin surga dan ini terlalu dilebih-lebihkan, perjalanan orang masih jauh dari normal. Makanya saya khawatir ini pejabat-pejabat memberikan angin surga dan menyesatkan presiden supaya kelihatan senang,” jelas Alvin.

Ia menjelaskan, kondisi maskapai saat ini sudah sangat parah. Bahkan banyak diantara kondisi maskapai sudah tidak bisa membayar utang-utangnya. Kondisi seperti ini diperparah dengan perusahaan penyewa pesawat di luar negeri yang juga terlilit utang. Imbasnya, maskapai bisa saja bertahan tetapi pesawat-pesawat yang mereka pakai tak bisa digunakan.

“Solusinya ya segera kasih stimulus apapun itu,” pungkas Alvin.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Bayu Septianto