tirto.id - Rencana Pemprov DKI Jakarta menaikkan tarif sewa rumah susun (rusun) yang diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 55 Tahun 2018 Tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan mendapat respons beragam. Sebagian warga menolak tegas, namun yang lain pasrah dengan kebijakan tersebut.
Salah seorang penghuni Rusun Jatirawasari Nurmiyati (48 tahun) mengaku keberatan bila Pemprov DKI menaikkan tarif rusun. Alasannya, kebijakan itu memberatkan dirinya dan warga lain yang penghasilannya pas-pasan.
“Dari dulu belum pernah naik. Tapi, kalangan menengah ke bawah mintanya tetap saja tarifnya. Walaupun kesannya [naiknya] sedikit, tetap saja berat,” kata Nurmiyati saat ditemui Tirto, di Kawasan Rusun Jatirawasari, Jakarta, Minggu (19/8/2018).
Nurmiyati yang tinggal bersama suami dan anaknya di Blok B menuturkan, dengan harga sewa Rp300 ribuan saja, masih banyak warga yang menunggak. Apalagi bila nanti Pemprov DKI benar-benar menaikkan harga sewa rusun.
Menurut Nurmiyati, di Rusun Jatirawasari ini terdapat dua blok rumah dengan harga sewa berbeda. Blok A yang bersubsidi dengan tipe 21, dipatok dengan harga sewa Rp339 ribu per bulan. Sementara rusun di blok B yang tidak bersubsidi dengan tipe 32 seharga Rp600 ribuan per bulannya.
Berbeda dengan tetangga Nurmiyati, yaitu Simanjuntak (60 tahun). Ia menuturkan hingga saat ini belum ada sosialisasi atau informasi resmi mengenai kanaikkan tarif per bulan Rusun Jatirawasari. Menurut dia, informasi terkait kanaikan tarif ini baru diketahui warga dari media.
Simanjuntak pasrah bila tarif rusun dinaikkan. Ia menilai kenaikan 20 persen sewa yang dicanangkan Pemprov DKI sebagai hal wajar.
“Dari dulu belum pernah naik, jadi wajar saja naik. Di sini juga sudah cukup fasilitasnya,” kata Simanjuntak yang mengaku telah tinggal di Rusun Jatirawasari sejak 1996.
Jangan Pukul Rata
Reporter Tirto juga mendatangi Rusun Cakung Griya Tipar, Jakarta Timur. Andi (37 tahun), salah satu warga rusun menyatakan, Pemprov DKI dapat saja menaikkan tarif rusun, akan tetapi perlu memperhatikan sejumlah hal dan tidak memukul rata.
"Perhatikan skala level ekonominya [penghuni rusun]. Enggak bisa dipukul rata. Saya pribadi siap-siap saja. Saya cuma bisa bilang siap dulu, tapi jujur saya masih nunggak,” kata Andi saat ditemui di Kawasan Cakung Griya Tipar, pada Minggu (19/8/2018).
Di Rusun Cakung Griya Tipar ini, kata Andi, 40 persen penghuninya merupakan warga dengan ekonomi menengah ke bawah dan 60 persen menengah atas. Di rusun ini, kata Andi, banyak unit tidak tepat sasaran atau dinikmati oleh mereka yang tidak seharusnya menjadi penghuni rusun subsidi. Karena itu, kata dia, pemerintah mesti melihat langsung fakta di lapangan.
Andi mencontohkan, di Rusun Cakung Griya Tipar ini terdapat dua tipe unit, yaitu: unit super subsidi dan subsidi. Menurut dia, unit kategori super subsidi dengan tarif Rp90 ribu per bulan. Sedangkan tipe subsidi dengan tarif Rp300-400 ribu per bulan. Andi mengaku tinggal di lantai 3 dengan sewa unit sebesar Rp315 ribu per bulan.
“Yang masuk rusun secara administrasi, oke orang miskin. […] Faktanya yang masuk [rusun] 60 persen orang kaya. Dirasa 60 persen itu yang layak dinaikkan, tapi harus memperhatikan 40 persen ini yang benar-benar enggak punya rumah dan susah punya motor,” kata Andi.
Menurut Andi, tidak sedikit warga rusun Cakung Griya Tipar yang memiliki kendaraan mewah, mobil, motor ber-CC besar. “Saya bisa mengatakan hal itu karena banyak yang bisa beli mobil cash, rumah cash. Ada punya rumah, mobil sampai 7. Lihat di parkiran motor itu, banyak motor ber-CC besar,” kata Andi sambil menunjuk parkiran.
Andi meminta Pemprov DKI bisa melakukan sidak terpadu, independen, dan diam-diam untuk mengetahui fakta di lapangan dan menetapkan kebijakan dengan adil, tepat sasaran. Menurut Andi, sidak memang sempat dilakukan, namun tidak adil dan transparan.
Pengamat Tata Kota dari Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan, Pemprov DKI boleh saja menaikkan tarif retribusi rusun namun dengan syarat. Tidak hanya mempertimbangkan pendapatan Pemprov, tapi juga dari sisi pendapatan masyarakat.
“Jadi saya setuju tarif rusun naik sampai persentase tertentu, tetapi harus cross check lagi dengan kondisi lapangan dan data pendapatan-pengeluaran masyarakat. Dan itu seharusnya yang melakukan pemerintah. Sudahkah pemerintah melakukan itu?” kata Elisa kepada Tirto, pada Minggu (19/8/2018).
Menurut Elisa, suatu kebijakan bisa dinilai buruk apabila tidak dikaji secara hati-hati. “Kalau pemerintah belum melakukan kajian terhadap biaya dan pendapatan masyarakat yang menjadi sasaran, ya itu kebijakan yang buruk,” kata Elisa.
Meskipun tarif sewa harus dinaikkan, Elisa menekankan, perlu adanya perbedaan pemberlakuan tarif antara warga umum dan warga terprogram. “Untuk warga korban penggusuran paksa dan relokasi, jika naik seharusnya tidak dengan komposisi sama dengan warga umum. Alias warga korban relokasi harus lebih rendah,” kata Elisa.
Apabila ada kenaikan untuk warga relokasi, harus pula ada perbaikan pelayanan secara maksimal, misalnya air bersih atau pun penambahan frekuensi TransJakarta bila dibutuhkan pada jam-jam tertentu.
Pemprov DKI Bimbang
Pemprov DKI berencana menaikkan tarif retribusi untuk 19 rusun melalui Pergub No.55/2018. Kenaikan tarif ini berkisar 20 persen dan mulai diterapkan per 1 Oktober 2018. Kenaikan tarif ini akan diterapkan bagi semua rusun, baik masyarakat umum, maupun warga terprogram (masyarakat gusuran, berpenghasilan rendah, atau sebagainya).
Wacana kenaikan tarif rusun itu santer bergulir pada Selasa (14/8/2018). Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Perumahan DKI Meli Budiastuti mengatakan, alasan Pemprov DKI menaikkan tarif karena sejak 2012 belum pernah menaikkan tarif rusun. Padahal, kata Meli, Perda No. 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah menjelaskan bahwa tarif retribusi rusun paling lama tiga tahun sekali harus ditinjau kembali.
Pasal 145 ayat (1) dalam Perda 3/2012 menyebut, peninjauan tarif retribusi dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan ekonomi. Meli mengatakan, ada kenaikan dalam biaya perawatan rusun, sehingga wajar ketika tarif rusun pun dinaikkan. Rencananya, sosialisasi akan dilakukan hingga September mendatang.
Namun demikian, pada Kamis (16/8/2018), Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan bahwa ada yang salah dalam Pergub No. 55/2018 yang ditandatanganinya. Anies mengaku, pihaknya akan segera melakukan pembahasan lebih lanjut dengan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI untuk mengkaji rencana ini.
Hal itu diakui Meli Budiastuti. Menurut dia, Pemprov DKI akan memutuskan kenaikan tarif rusun, setelah mendapatkan masukan dari perwakilan penghuni rusunawa, terutama masyarakat terprogram dan dari pihak legislatif.
“Maka, Pergub itu [Pergub No 55/2018] akan dikaji [kembali]. Sehingga, proses sosialisasi atas Pergub tersebut ditunda dulu sampai dengan diterbitkannya Pergub penggantinya,” kata Meli kepada Tirto, pada Minggu (19/8/2018).
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz