Menuju konten utama

Studi Tentang WFH: Kerja Lebih Panjang dan Rapat Lebih Banyak

Sisi negatif WFH adalah lebih banyak menghabiskan waktu serta menumpuknya email dan tugas yang harus dikerjakan.

Studi Tentang WFH: Kerja Lebih Panjang dan Rapat Lebih Banyak
Ilustrasi WFH. foto/istokphoto

tirto.id - Sejak Pandemi COVID-19, hampir semua perusahaan menerapkan sistem bekerja di rumah alias work from home (WFH).

Bekerja di rumah memberikan beberapa keuntungan seperti fleksibilitas dan kenyamanan kerja tanpa harus pergi ke kantor.

Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Bureau of Economic Research dengan judul “Collaborating During Coronavirus: The Impact of COBID-19 on The Nature Of Work”, bekerja di rumah ternyata memiliki sisi negatif juga.

Berdasarkan penelitian yang dikerjakan oleh lima pakar dari Harvard Business School dan Universitas New York itu menyebutkan sisi negatif WFH adalah lebih banyak menghabiskan waktu serta menumpuknya email dan tugas yang harus dikerjakan.

Selain itu, rentang waktu atau durasi pertemuan antara tim kerja justru berkurang.

Studi tersebut diidentifikasi dari lebih dari 3juta orang yang melakukan WFH berasal dari 21.4 ribu perusahaan pada 16 kota metropolitan yang telah dikenakan karantina wilayah atau lockdown termasuk dalam regional Amerika Utara, Eropa dan Timur Tengah.

Di dalam paper itu disebutkan bahwa jam kerja pegiat WFH rata-rata lebih panjang yaitu 48,5 menit dari biasanya.

Selain itu juga terdapat kenaikan jumlah personel yang hadir dalam pertemuan +13.5 persen serta jumlah pertemuan +12.9 persen per orang.

Namun rata rata durasi pertemuan berkurang -20.1 persen atau 12.1 menit per pertemuan.

Terlebih selama pasca-lockdown pegawai yang melakukan WFH juga cenderung lebih sedikit menghabiskan waktu pertemuan yaitu -11.5 persen atau 18.6 menit per orang dan per hari.

Jumlah rata-rata email yang dikirm dan diterima ke internal perusahaan atau organisasi yang sama naik +5.2 persen atau 1.4 email per orang dan per hari. Serta meningkatnya rata-rata pengiriman jumlah email setelah jam kerja sebesar +8.3 persen atau.

Salah satu penulis publikasi tersebut Jeffrey T. Polzer dalam artikel dari The Washington Post mengatakan bahwa setiap orang yang bekerja dari rumah akan dapat beresiko mengalami krisis kesehatan khususnya bagi mereka yang juga harus mengurusi pendidikan anak di rumah.

Namun penelitian itu tidak melibatkan data bedasarkan gender untuk membandingkan peningkatan rentang jam kerja pria dan wanita.

Polzer juga menyebutkan bahwa tren ini tidak akan berlangsung lama. Ia mengatakan “beberapa organisasi mencoba memahami kapasitas seperti apa yang dapat menangani tipe pekerjaan seperti ini (…) orang-orang (pekerja) akan sangat kelelahan jika kita tidak memikirkan kembali bagaimana mereka menghabiskan waktunya”

Studi mengenai bekerja di rumah juga sempat dilakukan pada 2016 oleh Mary Nonnan seorang Profesor Sosiologi dari Universitas Iowa.

Bedasarkan penelitiannya dari 1989 hingga 2008, ia menyebutkan bahwa telecommuting atau bekerja di rumah justru lebih banyak menghabiskan jam kerja serta mengganggu waktu keluarga di rumah.

Dilansir dari Iowa Now, Nonnan juga mengatakan bahwa “telecommuting (bekerja di rumah) terlihat lebih mudah dengan mengurangi waktu berpergian dan menambah fleksibilitas kerja. Namun itu dapat memperpanjang hari, dan tidak memberikanmu gaji yang sepadan”

Baca juga artikel terkait WFH atau tulisan lainnya dari Mochammad Ade Pamungkas

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Mochammad Ade Pamungkas
Penulis: Mochammad Ade Pamungkas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari