tirto.id - United Airlines kembali dikecam netizen dari berbagai penjuru dunia. Kali ini bukan soal larangan menggunakan legging dalam penerbangan, melainkan aksi “brutal” menyeret keluar seorang penumpang dari dalam pesawat oleh petugas pengamanan Bandara Internasional O’Hare di Chicago, Amerika Serikat.
Sebuah video yang viral di media sosial menunjukkan dengan jelas seorang pria berwajah Asia dan berkacamata diseret dari tempat duduknya. Ia diminta turun dari pesawat. Saat ditarik dari kursi, nampak kepalanya membentur sandaran tangan di kursi.
Pria tersebut kemudian diseret melalui lorong kabin pesawat, dan dibawa keluar. Pria tersebut nampak tak berdaya dengan kondisi mulut berdarah. Penumpang pesawat lainnya pun menjadi histeris melihat “kebrutalan” yang dilakukan petugas kepada penumpang tersebut. Belakangan diketahui, penumpang malang tersebut adalah Dr. David Dao yang menolak turun karena harus terbang menemui pasiennya. Saham United Airlines bahkan sempat merosot hingga 4,4% akibat ramainya kecaman.
Aksi mengeluarkan paksa penumpang dari pesawat tersebut terjadi karena maskapai penerbangan United Airlines dengan rute penerbangan Chicago-Louisville menjual tiket lebih banyak ketimbang jumlah kursi yang tersedia alias overbooking.
Kejadian overbooking atau menjual tiket melebihi kapasitas kursi pesawat memang sering terjadi di berbagai maskapai. Namun, kasus ini menjadi ramai dan United Airlines mendapat kecaman karena adanya aksi menyeret keluar penumpang hingga membuat penumpang terluka dan menjadi viral di media sosial.
Berdasarkan data dari Departemen Transportasi AS, pada tahun 2015, ada sekitar 552 orang yang harus ditolak oleh maskapai karena kasus overbooking. Jumlah penumpang terbanyak yang mengalami masalah overbooking ini terjadi tahun 1998 dengan jumlah mencapai 1.136 orang.
Tak hanya di Amerika Serikat, berdasarkan laporan ABC, penjualan tiket melebihi kapasitas angkut juga sering terjadi di Australia.
“Menjual tiket melebihi kapasitas kursi pesawat adalah legal di Australia dan sayangnya itu dianggap normal saja,” kata seorang pengacara asal Australia, Thomas janson seperti dikutip ABC.
Selain itu, penelitian yang dilakukan CHOICE menemukan bahwa 21 persen dari penduduk Australia pernah mengalami penundaan atau malah pembatalan penerbangan di tahun 2015. Empat persen dari mereka dialihkan ke penerbangan berikut karena overbooking.
Menurut Undang-Undang Konsumen Australia, maskapai penerbangan harus memberi pelayanan yang baik kepada para pengguna jasa penerbangan mereka jika ternyata kesalahan ada pada maskapai penerbangan. Pihak maskapai juga harus menjadualkan penumpang pada penerbangan berikutnya.
Di Indonesia, isu penjualan tiket melebihi kapasitas kursi pernah menerpa Lion Air tahun 2015. Dugaan tersebut mencuat saat pihak Lion tiba-tiba harus mengganti pesawat dengan rute Jakarta- Makassar dari Boeing 737 menjadi Airbus A330 yang memiliki kapasitas lebih besar.
Pergantian pesawat ini membuat penundaan penerbangan selama 6 jam. Penundaan ini membuat para penumpang naik pitam. Emosi penumpang yang tak terbendung membuat mereka melampiaskannya dengan turun ke landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta dan menghalangi pesawat Lion Air lain yang akan terbang.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, mengapa para maskapai kerap menjual tiket melebihi kapasitas kursi pesawat?
Menurut laporan Washington Post, penjualan tiket melebihi jumlah kursi yang tersedia adalah legal dalam penerbangan di Amerika Serikat. Meski memiliki tiket, maskapai akan tetap meminta sukarelawan untuk turun dan akan diganti dengan penerbangan lainnya. Para penumpang dalam masalah ini akan diberi sejumlah kompensasi.
Namun bagaimana maskapai dapat memutuskan siapa yang harus menjadi relawan untuk menunda penerbangannya karena overbooking? Menurut Departemen Transportasi AS, semuanya diserahkan kepada masing-masing maskapai. Mereka yang menentukan soal prioritas penumpang. Siapa yang harus berada dalam penerbangan tersebut.
Sedangkan menurut The Travel Insider, sebagian besar maskapai memang melakukan penjualan tiket melebihi kapasitas kursi, bahkan kadang mencapai 50 persen. Ini artinya jika mereka memiliki 150 kursi, kemungkinan penjualannya bisa mencapai 225 tiket penerbangan.
Maskapai melakukan overbooking karena dalam perhitungan mereka, tidak semua orang yang telah memesan tiket untuk perjalanan akan benar-benar melakukan perjalanan pada penerbangan itu. Misalnya karena sakit, terlambat check-in atau membatalkan penerbangan atau mungkin ada juga yang akan mengubah tanggal penerbangannya.
Jika itu terjadi maka maskapai akan terbang dengan kursi kosong. Bagi mereka, terbang dengan kursi kosong adalah hal buruk dalam industri penerbangan. Pesawat yang terbang dengan membawa penumpang yang kurang dari kapasitas sama dengan buang-buang uang, menurut TechCrunch.
Untuk menghindari penerbangan kosong karena sebagian orang gagal bepergian, para maskapai pun menjual tiket dengan jumlah yang melebihi kapasitas. Lagi pula, menurut The Travel Insider, jika sebuah maskapai penerbangan bisa menjual misalnya 225 tiket pada penerbangan yang menggunakan pesawat dengan hanya 150 kursi, jelas itu akan mendatangkan pendapatan lebih daripada membatasi diri untuk hanya menjual 150 tiket.
Namun, para maskapai tak sembarang dalam menentukan penjualan tiket yang melebihi kapasitas kursi. Overbooking biasanya diberlakukan untuk hari-hari biasa dan tidak memberlakukannya pada hari raya besar atau adanya perayaan penting di kota tujuan.
Menurut mereka, persentase penumpang yang membatalkan penerbangan karena berbagai alasan tentu sangat kecil misalnya saat tahun baru atau natal. Sudah tentu mereka yang ingin berlibur tidak ingin ketinggalan penerbangan atau membatalkan penerbangan.
Jika mereka menerapkan overbooking pada libur besar atau perayaan seperti tahun baru, maka kasus seperti yang terjadi pada United Airlines tentu akan sangat banyak ditemukan.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti