tirto.id - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menegaskan penguatan nilai tukar rupiah menjadi perhatian utama jangka pendek BI dalam menghadapi tantangan ekonomi global, khususnya pengaruh penguatan ekonomi Amerika Serikat (AS) serta beberapa kebijakan ekonomi AS yang cenderung agresif.
"Dalam jangka pendek BI memprioritaskan kebijakan moneter untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Fokus kami jangka pendek kebijakan moneter stabilitas nilai tukar," ujar Perry di Kementerian Keuangan Jakarta pada Senin (28/5/2018).
Menurut Perry, salah satu indikator yang disiapkan untuk merespons kondisi ekonomi global tersebut adalah suku bunga. "Kebijakan suku bunga secara preventif, front loading, untuk memperkuat dan menstabilkan nilai tukar rupiah," ungkapnya.
Untuk itu, kata dia, akan ada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan tambahan pada 30 Mei mendatang yang salah satu agendanya berbicara mengenai suku bunga.
"Kami sudah menjadwalkan RDG bulanan tambahan pada hari Rabu untuk merumuskan kebijakan ini [suku bunga]. Di samping juga sekaligus langkah preventif untuk FOMC [Federal Open Market Committee] tanggal 14 juni yang akan datang. Ini bukan RDG emergency, ini RDG tambahan," ungkap Perry.
RDG Bank Indonesia pada 16-17 Mei 2018 memutuskan untuk menaikan suku bunga acuan (BI 7-day Reverse Repo Rate/BI7DRRR) sebesar 25 basis poins (bps) menjadi 4,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen. Kenaikan itu berlaku efektif sejak 18 Mei 2018.
Tak Serta Merta Berdampak pada Pertumbuhan Ekonomi
Perry mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI tidak seketika berdampak pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. "Jangan kemudian mikirnya suku bunga naik, terus growth-nya triwulan ini juga turun," ungkap dia.
Menurutnya, dampak kenaikan suku bunga acuan BI terhadap pertumbuhan ekonomi baru terasa sekitar 1,5 tahun mendatang atau 4-8 kuartal selanjutnya.
"Itu analisis yang sepahaman saya melihat bahwa dampak kenaikan suku bunga kebijakan BI itu baru berdampak ke growth 1,5 tahun akan datang. Sekitar 4-8 kuartal dan tidak harus linear tergantung kondisi domestik demand-nya. Jadi, suku bunga naik terus ekonominya turun bulan-bulan ini juga, tidak begitu," tandasnya.
Sependapat dengan Perry, Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, tingkat suku bunga acuan tidak segera berdampak terhadap ekonomi Indonesia.
Apalagi, pemerintah juga akan melakukan sejumlah kebijakan agar kenaikan tingkat suku bunga tidak berdampak terlalu jauh terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
"Masih ada OJK di mikroprudensialnya, dia bisa mendorong efisiensi perbankan sehingga kalau efisiensi membaik, itu berarti kenaikan tingkat bunga tidak seluruhnya ditransmisikan ke sektor riil. Namanya koordinasi ya harus dilihat secara keseluruhan. Semuanya berkoordinasi," ungkap Darmin.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto