tirto.id - Istilah startup meramaikan kontestasi Pilpres 2019. Para capres maupun cawapres kerap kali menyebut startup dalam gelaran debat Capres/Cawapres Pemilu 2019. Joko Widodo (Jokowi), kandidat capres 01 misalnya, dalam debat 17 Februari 2019 berjanji "menyiapkan program, seribu startupbaru yang kita link-kan dengan inkubator-inkubator di global."
Pada debat 17 Maret 2019, pasangan pendamping Jokowi, Ma'ruf Amin turut menyampaikan pesan yang sama. Ma'ruf menyebut sudah 1.000 startup yang tumbuh. Dia juga menjanjikan, seandainya terpilih dalam pemilihan mendatang, jumlah startup itu akan ditargetkan menjadi 3.500 startup.
Bagaimana gambaran dan situasi startup di Indonesia?
Startup umumnya disebut juga dengan istilah “perusahaan rintisan”. Cakupannya merujuk pada semua usaha perusahaan yang belum lama beroperasi. Istilah startup di masyarakat acapkali dipahami sederhana. Gojek sudah sangat melekat mewakili citra sebagai startup.
Steve Blank, inovator dari geng ekosistem Silicon Valley di Amerika Serikat, mendefinisikan startup sebagai “perusahaan baru adalah organisasi sementara yang dirancang untuk mencari model bisnis yang berulang dan terukur.” Artinya, akan ada persoalan model bisnis, produk hingga metode pendanaan yang mungkin akan terjadi antara startup dan bisnis kecil biasa.
Data Startup yang Belum Jelas
Di Indonesia, belum ada basis data terpadu mengenai berapa tepatnya jumlah startup yang ada. Beberapa kementerian/ lembaga pemerintah punya klaim ini dan itu. Khususnya terkait dengan program yang mereka jalankan. Entah, apakah masing-masingnya berjalan bersama atau tidak. Termasuk, berapa jumlah sebenarnya startup di Indonesia.
Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) misalnya, punya klaim bahwa mereka telah mengembangkan 956 startup hingga tahun 2018. Program mereka adalah “Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT)” dan “Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT)”. Kedua program itu, intinya terkait dengan program pendanaan dan inkubator bisnis.
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) juga memberikan klaim yang tidak jauh berbeda. Mereka punya “Gerakan Nasional 1000 Startup Digital”. Sejak diluncurkan 2016, program yang bekerjasama dengan KIBAR --perusahaan swasta yang yang punya isu dalam membangun ekosistem teknologi di Indonesia, yang mencipta 248 startup (hingga Oktober 2018) yang lolos dalam tahapan inkubasi bisnis.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada tahun 2018 tercatat meluncurkan “Buku Mapping dan Database Startup Indonesia 2018”. Buku itu adalah laporan survei terhadap 992 startup di seluruh Indonesia yang dilakukan Bekraf bersama Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI).
Mereka mendefinisikan startup "sebagai perusahaan di bidang industri digital yang telah memiliki badan usaha atau memiliki produk digital yang sudah dirilis ke pasar. Bidang industri digital yang dimaksud meliputi e-Commerce, financial technology, pengembangan game, dan pengembangan aplikasi digital di berbagai sektor"
Pada laporan Bekraf dan MIKTI tersebut bukan menjadi hasil paling lengkap soal jumlah startup di Indonesia. Namun, setidaknya beberapa data dan isu muncul dalam laporan tersebut.
Startup Mendominasi Pulau Jawa
Laporan itu menunjukkan kenyataan bahwa startup yang muncul dominan berdomisili usaha di Pulau Jawa, totalnya mencapai 76,92 persen dari 992 startup. Di antaranya sebanyak 52,62 persen startup berada di wilayah Jabodetabek. Selain di Jabodetabek, wilayah Jawa Timur tercatat punya jumlah startup yang cukup besar (11,39 persen).
Di luar Pulau Jawa (kecuali Sumatera) masih memiliki jumlah startup yang relatif rendah (menyumbang sekitar 2-3 persen saja). Artinya, jika nantinya startup-startup itu berkembang, bisa jadi tak hanya wilayah Pulau Jawa saja yang akan mendapatkan aspek manfaat dari tren ini. Gambaran ketimpangan ini, menyiratkan bahwa problem struktural yang tidak sama antara Pulau Jawa dan luar Jawa seringkali menjadi beban tersendiri.
Hal lain yang muncul dalam laporan itu adalah persoalan status badan usaha secara hukum. Pemetaan yang dilakukan mendapati hasil bahwa sebagian besar startup memang sudah berstatus hukum (umumnya berbentuk PT/Perseroan Terbatas, sekitar 54,43 persen, dan sebagian lainnya, CV, sekitar 6,96 persen). Namun, masih banyak startup yang belum memiliki status administratif itu. Sebanyak 11,39 persen bahkan tercatat belum berbadan usaha sama sekali. (Halaman 15 laporan).
Masalah Startup
Kegiatan bisnis kecil secara tradisional dianggap berbeda dengan startup, problem yang dijumpai tidak jauh berbeda. Sebanyak 38,82 persen startup menyatakan bahwa modal adalah persoalan utama mereka. Begitu pula dengan persoalan sumber daya manusia (SDM), yang meliputi 29,41 persen startup. Artinya, kegiatan startup pun masih berlangsung dalam model ekonomi usaha pada umumnya. Modal dianggap menjadi pemicu utama dalam berhasil atau tidaknya sebuah usaha.
Persoalan modal plus dengan SDM itu seringkali membuat kenyataan bahwa usaha startup terkadang cepat mati. Sekalipun, ada pameo tersendiri dalam soal-menyoal startup. “Dari 100 persen startup, biasanya 80 persennya berguguran dalam perjalanan”. Situasi yang sama berlaku terhadap gejala startup di Indonesia. Faktornya, diklaim berasal dari kurangnya perhatian dan arahan selama perkembangan startup-startup itu waktu masih memulai.
Laporan Bekraf dan MIKTI memang memberikan informasi bahwa usia pendiri startup-startup itu mayoritasnya adalah generasi Y (kelahiran 1981-1994). Generasi itu menguasai hampir 69,20 persen. Apakah faktor inilah yang mungkin menjadi penyebab? Mereka yang umumnya nir-pengalaman. Belum ada studi yang pasti.
PR dan Tak Cuma Jargon Kampanye
Laporan itu juga menuliskan soal ekspektasi para startup kepada pemerintah. Dari 992 startup yang menjadi target pemetaan, sebagian besarnya merupakan usaha berskala mikro. Sebanyak 52,97 persen dari jumlah startup itu adalah usaha mikro. Hanya ada 3,12 persen yang berkategori usaha berskala besar.
Pada startup berskala mikro dan kecil, kebutuhan mereka terhadap pemerintah masih meliputi berbagai aspek. Baik menyangkut fasilitas, pasar, modal hingga regulasi dan SDM.
Sementara itu, pada startup yang berskala menengah kebutuhannya sudah mengerucut hanya sebatas persoalan regulasi dan SDM. Begitu pula dengan yang skala besar, mereka hanya mempersoalkan aspek regulasi.
Faktor modal, dalam kasus startup berskala menengah dan besar mungkin telah terbuka melalui mekanisme pendanaan swasta dan asing. Namun, hal itu tidak berlaku pada mereka yang berskala mikro dan kecil.
Pemerintah harus memahami karakteristik kebutuhan startup. Artinya, tidak lagi sekedar kampanye atau jargon soal startup-startup saja. Startup bisa dimulai dari mereka yang berskala mikro dan kecil. Alasannya, sederhana karena basis usaha terbesar di Indonesia berasal dari kelompok ini.
Struktur skala usaha yang penting di Indonesia memang Usaha Mikro Kecil, ada 26,26 juta usaha/perusahaan atau 98,33 persen berskala Usaha Mikro Kecil (UMK) dan 0,45 juta usaha/perusahaan atau 1,67 persen berskala Usaha Menengah Besar (UMB)” dalam lapangan ekonomi di Indonesia.
Upaya pemerintah untuk memajukan startup dengan memperhatikan jenis usaha berskala mikro dan kecil memang penting. Juga tak kalah penting mengatasi sebaran startup yang kini masih didominasi di Pulau Jawa.
Editor: Suhendra