tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan penangkapan Yaya Purnomo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan kasus suap merupakan "Alarm Keras". Dia mengaku akan berupaya membatasi interaksi pegawai kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan pihak luar saat mengurusi keuangan negara untuk mencegah kasus serupa terulang.
Yaya Purnomo menjabat Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan. KPK menetapkan Yaya sebagai tersangka penerima suap yang diduga terkait usulan dana Perimbangan Keuangan Daerah di RAPBN-P tahun 2018.
Menurut Sri Mulyani, tindakan Yaya sarat dengan unsur percaloan. Selain itu, dia menegaskan sampai sekarang belum ada rencana penyusunan rancangan APBN-P 2018.
“Saya tegaskan bahwa proses RAPBN-P (Rancangan APBN-P) 2018 itu belum atau tidak ada. Kami memang belum berencana untuk [susun rancangan] APBN-P 2018,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta pada Senin (7/5/2018).
Sri Mulyani menambahkan praktik percaloan usulan anggaran seperti itu berpeluang terjadi karena ada indikasi Yaya memiliki kedekatan dengan pemilik kewenangan yang berpengaruh.
Untuk itu, Sri Mulyani mengaku telah meminta KPK untuk mengusut tuntas kasus ini agar terungkap apakah Yaya bekerja sendiri atau merupakan sel yang berada dalam suatu jaringan.
Dia menduga praktik makelar usulan anggaran menyasar kepala daerah yang baru terpilih dan belum punya cukup pengalaman. Untuk pencegahan, dia meminta Ditjen Perimbangan Keuangan aktif mengedukasi para kepala daerah.
“Apalagi nanti akan ada Pilkada, saya minta pimpinan-pimpinan daerah yang baru tidak perlu ketemu calo anggaran. Khususnya dari daerah timur, mereka paling rawan jadi obyek calo anggaran,” ujar dia.
Yaya ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Jumat malam, 4 Mei 2018. KPK juga menangkap Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Demokrat Amin Santono, Eka Kamaludin selaku swasta dan kontraktor benama Ahmad Ghaist.
Saat operasi di Bandara Halim Perdana Kusuma, KPK menyita uang Rp400 juta yang diduga sebagai suap untuk Amin dan bagian dari komitmen fee senilai Rp1,7 miliar. Suap itu diduga terkait janji pemberian 2 proyek di Pemkab Sumedang senilai Rp25 miliar. KPK juga menyita 1,9 Kg emas, uang Rp1,34 miliar, 63 ribu dolar Singapura dan 12.500 dolar AS saat menggeledah rumah Yaya di Bekasi.
KPK lalu menetapkan Yaya, Amin dan Eka jadi tersangka penerima suap. Adapun Ghaist ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. KPK menahan mereka untuk 20 hari ke depan sejak 5 Mei 2018.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kemenkeu Boediarso menyatakan Yaya Purnomo telah diberhentikan sementara dari satusnya sebagai PNS usai menjadi tersangka penerima suap.
Menurut Boediarso, tugas Yaya sebenarnya hanya menyiapkan perumusan kebijakan, koordinasi, standardisasi, pemantauan, dan evaluasi untuk kawasan perumahan dan pemukiman. Jadi, Yaya tidak memiliki kewenangan mengalokasikan anggaran APBN untuk daerah. Karena itu, dia mengklaim praktik makelar usulan anggaran yang melibatkan Yaya adalah penipuan.
“Mungkin karena nama nomenklaturnya [jabatan] dia Kepala Seksi Pengembangan, barangkali membuat yang bersangkutan bisa berhubungan dan kemudian melakukan percaloan,” ujar Boediarso.
Dia menambahkan Ditjen Perimbangan Keuangan akan mengevaluasi proses penganggaran transfer dana pusat ke daerah. Tujuannya untuk menutup celah praktik korupsi.
“Kami di internal akan melakukan langkah-langkah pembersihan, terutama yang terkait dengan praktik-praktik gratifikasi, percaloan, suap, maupun KKN,” kata Boediarso.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom