tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui salah membuat kebijakan pengendalian emisi menggunakan skema Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Ia bilang skema ini lebih tepat dilakukan melalui cukai.
Alih-alih mengenakan tarif berdasarkan cc atau ukuran bahan bakar kendaraan, ia bilang skema tersebut bisa berdasarkan emisi karbon dioksida (CO2).
“Kemenkeu sudah buat kebijakan dalam bentuk instrumen yang tidak tepat yakni PPnBM. Seharusnya instrumen itu lebih tepat dalam cukai,” ucap Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI di DPR RI, Rabu (19/2/2020).
Sri Mulyani pun mengusulkan kepada Komisi XI DPR RI agar kendaraan dikenakan cukai secara advalorum (berdasarkan nilai barang) dan atau spesifik multi tarif berdasarkan emisi CO2. Tarif ini akan dipungut langsung setiap bulannya dari produsen dan importir di pelabuhan.
“Jadi bukan pada pengguna,” ucap Sri Mulyani.
Ia mengatakan penerapan cukai ini tetap akan dikecualikan antara lain bagi kendaraan yang diekspor dan kendaraan listrik. “Kendaraan yang tidak gunakan BBM, jadi mobil listrik tidak kena.”
Di samping itu pengecualian juga akan berlaku bagi kendaraan umum pemerintah untuk keperluan khusus. Antara lain ambulan sampai pemadam kebakaran (damkar). Untuk bus angkutan juga ia sebutkan masuk dalam pengecualian.
“Meski bertahap harus ada program insentif agar mereka bisa lebih green juga,” ucap Sri Mulyani.
Potensi penerimaan dari pengenaan cukai bagi emisi kendaraan bermotor ini adalah Rp15,7 triliun. Asumsi ini diperoleh dari perkiraan potensi penerimaan yang sekurang-kurangnya sama dengan nilai penerimaan PPnBM.
Dari negara-negara di ASEAN hanya Indonesia dan Timor saja yang belum menerapkan cukai ini. Sebaliknya negara produsen mobil seperti Thailand, Vietnam sudah menerapkan.
Di samping itu, Filipina, Kamboja, Brunei, Laos, Malaysia, Singapura dan Myanmar sudah menerapkan cukai ini.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz