tirto.id - Pemerintah terus berupaya mengembalikan aktivitas perekonomian di sejumlah daerah di Sulawesi Tengah (Sulteng) seperti Palu, Donggala, dan Sigi usai gempa dan tsunami yang terjadi, pada Jumat (28/9/2018). Selain memberikan bantuan logistik dan memperbaiki akses masuk, pemerintah juga memberikan kelonggaran pembayaran pajak serta kebijakan soal kredit atau utang di bank.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, misalnya, telah mengeluarkan beleid untuk meringankan beban pajak para korban gempa dan tsunami si Sulteng. Bentuknya antara lain penghilangan sanksi pajak atas keterlambatan penyampaian SPT dan pembayaran pajak seperti PPN dan PPh.
Keringanan itu diberikan dengan tenggat waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal 24 September atau pekan terakhir di bulan September 2018. “Jadi kebijakan ini agar mereka tidak memikirkan [pajak] itu. Kami beri kelonggaran dua hingga tiga bulan. Sehingga dirasa dua tiga bulan itu mereka kondisinya sudah lebih baik,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Hestu Yoga Saksama kepada Tirto, pada 2 Oktober lalu.
Sementara di bidang perbankan, pemerintah mendorong agar penagihan kredit di Palu, Donggala, dan daerah terdampak lainnya juga mendapat kelonggaran. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari penangguhan penagihan, restrukturisasi hingga penghapusan kredit.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa dibutuhkan waktu tiga bulan untuk melakukan aksi tanggap darurat. Dalam jangka waktu itu, diperkirakan kondisi perekonomian daerah Palu, Donggala dan sekitarnya belum bergerak.
Sehingga, kata Sri Mulyani, kelonggaran penagihan hingga penghapusan kredit untuk para pengusaha yang jadi korban perlu dilakukan. “Itu bisa dihapuskan, sehingga itu tidak menimbulkan beban,” kata Sri Mulyani, di Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Selain itu, kata Sri Mulyani, pemerintah juga akan memberikan fasilitas secara langsung kepada masyarakat terdampak bencana. “Apakah melalui ultra mikro, melalui KUR yang bisa di-direct-kan ke situ. Kalau kita rekonstruksi, kami juga akan lihat siapa kontraktornya, sehingga dia juga bisa menimbulkan kegiatan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
Total Kredit di Sulteng Capai Rp16,2 Triliun
Pemberian kelonggaran penagihan kredit hingga penghapusan ini sebelumnya juga pernah dilakukan untuk korban bencana gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Untuk penagihan, debitur diberi batas waktu hingga 2-3 tahun--tergantung bank pemberi kredit.
Dasar hukumnya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 45 tahun 2017 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit atau Pembiayaan Bank Bagi Daerah Tertentu di Indonesia yang Terkena Bencana Alam.
“Bagi bank yang treatment akunnya hapus buku atau hapus tagih, ya silakan saja,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, di kantornya, Kamis (4/10/2018).
Wimboh mengatakan, instansinya mencatat jumlah kredit di Sulteng diperkirakan mencapai Rp16,2 triliun. Namun demikian, kata Wimboh, dari jumlah tersebut, belum diketahui berapa persen kredit yang debiturnya menjadi korban.
“Dari Rp16,2 triliun kami lagi hitung berapa yang kena dampak. Jadi yang direstrukturisasi yang benar-benar kena dampak. Sehingga nanti bank-nya masing-masing memilih mana yang bisa direstrukturisasi,” kata Wimboh.
Wimboh menambahkan, pihaknya juga pernah memberikan perlakukan khusus pada korban bencana alam di daerah lain, seperti di Lombok. “OJK bisa meminta atau memberikan kebijakan untuk tidak menagih dulu kepada debitur yang kena dampak bencana. Tidak ditagih dulu sampai usaha pulih kembali,” kata dia.
“Berkaitan dengan Palu, mudah-mudahan bisa dan kebijakannya akan diputuskan dalam rapat dewan komisioner tentang kelonggaran bagi debitur di daerah tersebut,” kata Wimboh menambahkan.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah Redjalam menilai bahwa kebijakan memberi kelonggaran penagihan kredit itu bukan semata-mata hanya membantu pemulihan ekonomi di daerah terdampak, melainkan juga atas dasar kemanusiaan.
Sebab, kata dia, sangat mungkin para debitur tak lagi memiliki usaha dan mengalami kesulitan untuk bertahan hidup. “Jangankan untuk mengangsur kredit, untuk makan saja mereka menunggu bantuan,” kata Pieter kepada Tirto.
Menurut Pieter, untuk beberapa korban yang terdampak paling parah, bahkan ia menyebut bahwa penghapusan kredit bisa dilakukan. Alasannya, sebab sejak awal setiap kreditur telah memperhitungkan potensi kredit macet.
“Mekanismenya seperti itu. Karena bank sudah sangat hati-hati. Bank, kan, memegang amanah, jadi dia akan sangat hati-hati melihat mana yang bisa diteruskan [kreditnya], mana yang diringankan, dihapus bukukan, macam-macam, kepada kredit yang berpotensi bermasalah di wilayah bencana,” kata dia.
Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bahwa pemberian kelonggaran kredit bagi korban bencana memang perlu dilakukan, terutama bagi perbankan yang tergabung dalam himpunan bank milik negara (Himbara). Akan tetapi, ia mengingatkan agar hal tersebut harus dilakukan secara hati-hati.
“Harus ada evaluator independen untuk memastikan debitur memang jadi korban bencana alam. Kalau pengawasannya lemah justru menimbulkan fraud malah bisa jadi kredit macet," tuturnya kepada Tirto.
Namun demikian, Bhima berbeda pendapat terkait penghapusan kredit bagi debitur yang terdampak bencana di Palu, Donggala dan sekitarnya. Menurut dia, penghapusan kredit sangat sulit dilakukan mengingat tingginya risiko kredit bermasalah (NPL) setelah Bank Indonesia menaikkan bunga acuan.
“Opsinya restrukturisasi tenor kredit diperpanjang sehingga cicilan lebih ringan,” kata dia.
Dalam kasus bencana di daerah lain, kata dia, memang penghapusan kredit pernah dilakukan. Akan tetapi, Bhima mengatakan “Kasus-kasus sebelumnya masih based on debitur yang karakternya berbeda-beda. Jadi penangannya juga beda-beda.”
Menanggapi hal ini, VP Corporate Communication BNI, Ryan Kiryanto menyampaikan pihaknya tengah mengkaji berapa jumlah debitur terdampak bencana di Palu, Donggala dan sekitarnya. Akan tetapi, opsi yang diberikan adalah penangguhan kredit atau restrukturisasi, bukan penghapusan kredit.
Penghitungan jumlah debitur, kata Ryan, mengacu pada Peraturan OJK Nomor 45/2017 serta ketentuan perundangan-undangan lainnya. “Seperti Peraruran OJK, kredit bermasalah yang layak direstrukturisasi adalah yang masih punya prospek untuk berlanjut kembali,” kata dia.
Ia menambahkan, “Saat ini kami sedang menghitung dengan cermat berapa debitur yang terdampak bencana dan seberapa besar pengaruhnya terhadap usahanya untuk kami dapat menentukan jenis restrukturisasinya mengacu kepada POJK tadi.”
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz