Menuju konten utama

Situasi Politik Ugal-ugalan, Alissa Wahid Ajak Ormas Bersuara

Semakin banyak suara ormas tentang situasi politik hari ini akan memperlihatkan batas-batas yang tak boleh dilanggar oleh penyelenggara negara.

Situasi Politik Ugal-ugalan, Alissa Wahid Ajak Ormas Bersuara
Alissa Wahid (tengah) ketika membacakan sikap Jaringan Nasional Gusdurian atas situasi politik Indonesia di Griya Gusdurian, Yogyakarta pada Jumat (9/2/2024). foto/Rizal Amril

tirto.id - Koordinator Nasional Gusdurian, Alissa Wahid, mengajak organisasi masyarakat untuk ikut bersuara menyikapi situasi politik Indonesia hari ini. Menurutnya, suara dari masyarakat sipil hari ini sangat dibutuhkan.

“Kita membutuhkan kelompok masyarakat lain, terutama yang punya asosiasi, untuk juga bersuara,” ujar Alissa setelah membacakan pernyataan sikap Jaringan Gusdurian tentang situasi politik jelang Pemilu 2024 di Griya Gusdurian, Yogyakarta pada Jumat (9/2/2024).

Menurutnya, semakin banyak suara organisasi masyarakat tentang situasi politik hari ini akan memperlihatkan batas-batas yang tak boleh dilanggar oleh penyelenggara negara.

“Sehingga penyelenggara negara tidak menganggap masyarakat tidak tahu apa-apa, tidak menganggap masyarakat itu kemudian naif,” ujarnya.

Terlebih, menurutnya, situasi politik Indonesia jelang Pemilu 2024 dinilai semakin ugal-ugalan.

“Saya menilai begini, sejak tahun lalu, [situasi politik] ini mulai ugal-ugalan,” katanya.

Hal tersebut ditunjukkan dengan dugaan mobilisasi dukungan kepala desa terhadap salah satu pasangan calon dan personalisasi program bansos yang disinyalir digunakan untuk mendukung salah satu pasangan capres-cawapres.

“Puncaknya yang paling tinggi adalah soal [pelanggaran etik hakim] MK ya, lalu kemudian terakhir trigger-nya pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden boleh berkampanye,” ujar Alissa. “Betul itu [presiden kampanye] secara legal diperbolehkan tapi konteksnya apa? Penjelasan ayatnya apa? Itu kan tidak dibahas.”

Baginya, situasi ini dapat diredam oleh suara dari publik, karenanya suara organisasi masyarakat diperlukan.

“Jadi suara dari banyak kelompok masyarakat itu penting untuk menunjukkan sikap masyarakat aslinya bagaimana, kalau enggak ya akan semakin ugal-ugalan,” ujarnya.

Sebelumnya, sivitas akademika di sejumlah universitas di Indonesia, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan, UPN “Veteran” Yogyakarta, Universitas Negeri Malang, Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia menyatakan sikap mereka mengkritik kinerja penyelenggara negara menjelang Pemilu 2024.

Daftar universitas lain yang bersikap sama yakni Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Universitas Padjajaran, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia.

Selain para sivitas akademika di sejumlah universitas tersebut, mantan pejabat beberapa lembaga negara juga melakukan hal serupa.

Pada Senin (5/2/2024) lalu, pimpinan KPK periode 2003-2019 menyatakan sikap kritis terhadap penyaluran program bansos.

Terbaru, pada Jumat (9/2/2024), 13 mantan pimpinan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut menyerukan situasi HAM di Indonesia yang menurun dan momentum Pemilu 2024 untuk menyelamatkannya.

Alissa Wahid juga menyatakan bahwa seharusnya suara banyak pihak tersebut dapat membuat Presiden Joko Widodo mengendalikan netralitas penyelenggara.

“Kalau [suara masyarakat] ini tidak bisa membuat presiden sebagai panglima tertinggi mengendalikan penyelenggara negara untuk menjaga netralitas, ya gimana, apapun bisa terjadi setelah itu,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Rizal Amril Yahya

tirto.id - Politik
Reporter: Rizal Amril Yahya
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Maya Saputri