tirto.id - Janur Kuning merupakan film yang ditulis oleh Syafnizal Durab dan Arto Hady yang dirilis pada tahun 1980. Film yang disutradai oleh Alam Surawidjaja ini disinyalir sebagai alat propaganda orde baru.
Film ini dibuat dengan biaya sekitar Rp 350 juta pada tahun 1979, biaya yang fantastis di era tersebut. Film ini merupakan film bertema perang yang melibatkan banyak sekali figuran, panser, tank, dan pesawat terbang untuk menggambarkan suasana perang. Film ini dibintangi oleh Sutopo H.S, Deddy Sutomo, Kaharudin Syah, dan Dicky Zulkarnaen. Dalam rating IMDb, film berdurasi 3 jam ini mendapatkan rating 7.6/10.
Sinopsis Janur Kuning
Film ini menceritakan Letkol Soeharto yang saat itu menjadi Komandan Brigade X dan Komandan Wehkreise III. Soeharto yang berhasil meyakinkan Jenderal Soedirman untuk mau kembali dan merencanakan Serangan Umum 1 Maret 1949. Secara umum film ini menggambarkan bagaimana kondisi saat Serangan Umum 1 Maret 1949 serta peran besar Soeharto dalam gerakan tersebut. Selain itu, dalam adegan flashback juga ditampilkan bagaimana Agresi Militer Belanda II berlangsung.
Secara penggambaran kondisi dan situasi peperangan, film ini menggambarkan kedua kejadian sejarah itu dengan cukup akurat, mulai dari tampilan, kostum, gaya bicara, dan perlengkapan serta kendaraan militer yang digunakan.
Namun, film ini dianggap sebagai propaganda yang jelas terhadap citra Presiden Soeharto karena film ini dirilis ketika masa Orde Baru. Dalam film ini peran Soeharto dalam peperangan sangat ditonjolkan atau bahkan dilebih-lebihkan.
Aswi Warman Adam, seorang sejarawan, mengatakan bahwa film tersebut tidak objektif dan hanya menonjolkan peran Soeharto dan menggambarkan keteguhannya saja sementara peran tokoh lain dikecilkan. Ia menambahkan, peran Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur, Sultan Yogya, Menteri Pertahanan, dan diplomat pada masa itu hampir tidak terlihat.
Menurut analisis semiotika terhadap film ini yang dilakukan oleh Panji Dwi Ashrianto (2016), terdapat beberapa adegan yang secara semiotik menunjukkan dan menegaskan kehebatan dan kemuliaan sosok Soeharto sekaligus juga menggambarkan bagaimana ideologi politiknya.
Contoh penonjolan sikap-sikap baik Soeharto dalam film ini antara lain adalah bagaimana dalam setiap kondisi darurat, Soeharto selalu menjadi tokoh yang mengambil keputusan-keputusan penting. Selain itu ia digambarkan selalu mengedepankan kepentingan Bangsa dibanding kepentingan sendiri.
Film ini juga menggambarkan perjuangan Soeharto yang tak kenal lelah dan menjadi contoh bagi anak buahnya. Soeharto juga ditampilkan sebagai tokoh yang mengayomi rakyat kecil serta menjadi tokoh motivator dan berpengaruh besar terhadap orang-orang di sekitarnya.
Dari hal-hal tersebut Ashrianto menyimpulkan bahwa simbol-simbol tersebut digunakan sebagai alat pengultusan individu oleh Soeharto. Sama seperti pendapat Aswi Warman Adam, Ashrianto juga menggarisbawahi hilangnya peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mana tidak sesuai dengan fakta dan data sejarah yang digunakan oleh sejarawan dan peneliti. Oleh karena itu, film ini dianggap sebagai bagian dari upaya melegitimasi rezim Orde Baru secara historis.
Editor: Iswara N Raditya