tirto.id - Pemerintah diminta serius menyikapi fenomena diskrepansi data yang sering terjadi di setiap kementerian/lembaga. Sebab, data yang tidak akurat dan berbeda-beda akan berdampak pada kebijakan yang tidak tepat sasaran.
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menjelaskan, urgensi sinkronisasi data sangat tinggi mengingat ini adalah basis perumusan suatu kebijakan sehingga perlu dipastikan validitas dan akurasinya. Menurut Ahmad, data yang valid dan berkualitas akan menjadi navigator arah kebijakan dan program pemerintah.
“Kualitas data yang tidak baik akan menimbulkan anomie (kebingungan) yang tentu akan berdampak pada kebijakan yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Sinkronisasi data cukup penting sebagai upaya mewujudkan visi Satu Data Indonesia sebagaimana amanat Perpres No. 39 Tahun 2019,” ujar Ahmad di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Menurut Ahmad, diskrepansi data masih sering terjadi utamanya karena ego sektoral yang masih cukup tinggi antar kementerian/lembaga. Hal ini menunjukkan bahwa Visi Satu Data Indonesia belum terimplementasi dengan baik.
Padahal, Presiden, melalui Perpres 39/2019, telah mengamanatkan agar data yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi acuan dalam program pembangunan.
Ahmad juga menjelaskan sebagai perwujudan dari Visi Satu Data Indonesia, saat ini Indonesia memiliki tiga pembina data yaitu Kementerian Keuangan sebagai leader untuk urusan data keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS) untuk kepentingan statistik, dan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk data spasial.
Setiap pembina data, lanjut Ahmad, harus menjadi acuan untuk setiap kebutuhan data yang sesuai bidangnya. Selain itu, pembina data juga harus menetapkan struktur dan standar baku bagi data yang berkaitan dengan lintas sektor.
“Di sinilah kerja kerja sinkronisasi dapat diterapkan. Misalnya data di bidang statistik leading sector-nya ada di BPS, data di bidang keuangan adalah Kemenkeu dan data geospasial leading sektornya adalah BIG,” papar Ahmad.
Salah satu data yang memicu perhatian publik terbaru adalah soal beras. Data BPS menunjukan jumlah produksi beras nasional tahun ini mengalami surplus sebesar 1,7 juta ton. Surplus tersebut didasari perhitungan produksi beras nasional Januari-Desember 2022 sebesar 31,90 juta ton. Sementara kebutuhan beras nasional tahun ini hanya sekitar 30,2 juta ton.
Namun, faktanya Perum Bulog kesulitan untuk menyerap beras ada di penggilingan dan petani. Hingga Selasa, 6 Desember 2022, CBP berada di Gudang Bulog jumlahnya semakin menipis. Tersisa hanya sebanyak 295.337 ton. Padahal, idealnya cadangan beras wajib dimiliki Bulog di kisaran 1 juta ton - 1,2 juta ton.
Data lainnya soal prevalensi perokok anak, mengingat terjadi perbedaan antara data BPS dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan. Berdasarkan data BPS, angka perokok anak terus turun dalam tiga tahun terakhir.
Pada tahun 2021, prevalensi rokok anak tercatat 3,69 persen, lebih rendah dibandingkan 2020 dan 2019 masing-masing sebesar 3,81 persen dan 3,87persen.
Sementara itu, data Riskesdas menyebutkan prevalensi perokok anak terus meningkat dari 7,20 persen pada 2013 menjadi 9,10 persen pada 2018.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Eva Susanti mengatakan, perbedaan data ini terjadi lantaran adanya perbedaan metodologi pengambilan data mulai dari sampel yang diteliti hingga cara menghitung hasil.
“Beda cara pengambilan datanya, sampel yang diteliti serta cara hitungnya maka ini semua mempengaruhi hasil,” ujar Eva.
Menurutnya tidak ada detail terkait metode apa yang membuat angka hasil survei menjadi sangat jauh berbeda. Perbedaan metodologi ini,yang membuat hasil antara Susenas dan Riskesdas berbeda.
Namun, ia bersikeras bahwa hasil Riskesdas lebih valid dan akurat menurut Kementerian Kesehatan. “Riskesdas 5 tahun sekali, tahun depan ada lagi, tunggu saja,” kata Eva.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang