Menuju konten utama

Silang Pendapat Siapa Aktor di Balik Pembuat Hoaks

Kemunculan berita hoaks diyakini berkaitan dengan intensitas aktivitas politik apalagi menjelang Pemilu. Benarkah?

Silang Pendapat Siapa Aktor di Balik Pembuat Hoaks
Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna bersama Kapolresta Depok Kombes Pol Didik Sugiarto dan jajaran Forkopimda mendeklarasikan Masyarakat Anti Hoaks atau berita bohong di Polresta Depok, Selasa (13/3/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Istilah hoaks begitu akrab dalam beberapa tahun terakhir. Sampai-sampai, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemdikbud) memasukkan istilah ini ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hoaks didefinisikan sebagai "berita bohong".

Peneliti media dan pengajar senior pada School of Culture, History and Language, Australian National University (ANU) dan Direktur ANU Malaysia Institute, Ross Tapsell menyebut ada kekhawatiran besar soal maraknya "berita hoaks" setelah Pilkada DKI Jakarta 2017.

Produksi hoaks hampir dipastikan bermotif politik praktis. Jumlah berita hoaks menjadi-jadi jelang hajatan politik seperti Pemilu dan Pilkada.

Menurut peneliti senior dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi mengatakan motif politik yang dominan dalam hoaks, maka yang mesti diwaspadai adalah para politisi atau orang-orang hendak maju dalam pemilihan. Orang-orang seperti ini lah yang paling mungkin menjadi "aktor intelektual" di balik beredarnya hoaks.

"Orang kalau sudah ingin berkuasa bisa bunuh-bunuhan," kata J. Kristiadi dalam diskusi bertema "Menguak Aktor-Aktor Politik Hoaks di Tahun Politik" di Jakarta, Rabu (14/3/2018).

Makna "bunuh-bunuhan" yang dimaksud J. Kristiadi tentu bukan dalam arti sebenarnya. Namun, berbagai cara dipakai seseorang untuk mengalahkan lawan politik—termasuk menyebarkan hoaks.

Namun, pengamat komunikasi dari UGM, Kuskridho Ambardi tak sependapat dengan J. Kristiadi. Kuskridho mengatakan masalah hoaks tak hanya motif politik. Ia berpendapat rodusen hoaks juga mendapatkan keuntungan komersil. Motif politik dan ekonomi sama-sama terorganisir, sedangkan penyebar hoaks individu tidak terikat kelompok tertentu.

Bila melihat dalam konteks politik praktis, maka ketiga motif ini berpengaruh terhadap kualitas hasil Pemilu. Alasannya, banyak pemilih yang menetapkan pilihan untuk memilik kandidat tertentu dan bukan kandidat lain berdasarkan berita di media massa atau media sosial.

"Kita berbicara arti pentingnya informasi yang benar dan akurat. Hoaks itu informasi tak benar. Dari sana nilai demokrasi dipertaruhkan karena keputusan politik yang berdasarkan informasi tak benar akan berdampak pada pilihan yang salah," kata Kuskridho.

Kuskridho yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) menambahkan penyebaran hoaks didukung kebiasaan media massa di Indonesia yang malas melakukan verifikasi atau konfirmasi sebelum menayangkan informasi. Akibatnya, banyak berita yang kebenarannya meragukan. Keberadaan berita-berita seperti itu juga berpengaruh terhadap proses politik yang sedang berjalan.

"Yang sering terjadi, berita yang bohong dipercaya sebagai berita benar dan dijadikan basis memilih. Padahal yang viral belum tentu berita yang bagus, bisa saja sensasional dan bohong, dan itu makin banyak serta di-push para cyber army," katanya.

Untuk kadar tertentu, sebuah media massa juga bisa berperan sebagai penyebar hoaks. Direktur NU Online Muhammad Syafi' Alielha atau Savic Ali punya pendapat soal asal usul hoaks.

Menurutnya, hoaks tercipta karena adanya krisis legitimasi terhadap media arus utama. Penguasaan media oleh segelintir konglomerat menjadi salah satu sebab menurunnya kepercayaan. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap media membuat mereka memproduksi berita independen.

Rendahnya Literasi Informasi

Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, mengatakan bahwa hoaks bisa menyebar dan berdampak besar, misalnya dapat memicu konflik dan kekerasan Ia menilai masyarakat semakin permisif terhadap hoaks.

"Ruang publik kita sudah kotor kalau jelang Pemilu dan Pilkada bukan debat program atau refleksi [yang muncul] tapi hanya mereproduksi kebencian soal identitas etnis, agama, ras," ujar Arie.

Arie mengatakan bahwa produsen hoaks adalah golongan masyarakat menengah—dalam kategori ekonomi—sebab mereka yang menguasai akses informasi dan dekat dengan aktor intelektual. Dari mereka lah berita bohong dikonsumsi publik.

Mengapa masyarakat kemudian mudah percaya pada berita-berita seperti ini, karena minimnya budaya literasi informasi. Merujuk KBBI, literasi bermakna "pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu".

Dengan begitu literasi informasi dapat didefinisikan secara cair sebagai pengetahuan atau keterampilan untuk mengolah informasi yang diperoleh.

Survei daring dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada awal 2017 silam mempertegas hipotesis itu. Dari 1.116 responden, 43,10 persen merasa sulit memeriksa kebenaran atas suatu berita yang heboh, terutama informasi soal sosial-politik.

Kebiasaan untuk memilah dan memverifikasi mana berita benar dan bohong belum tumbuh di masyarakat. Di satu sisi, cepatnya peredaran hoaks juga didukung oleh infrastruktur yang memadai seperti jaringan internet dan ponsel pintar. Namun faktor ini tentu tidak bisa disalahkan.

"Kampanye anti hoaks harus dilakukan, termasuk melalui strategi pendidikan," kata Arie. "Supaya tidak menciptakan efek berantai [dari share hoaks]," katanya.

Baca juga artikel terkait HOAKS atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino