tirto.id - Pelbagai peristiwa yang terjadi di Papua akhir-akhir ini membuat Kapolri Tito Karnavian berang. Dalam keterangannya kepada wartawan pada Kamis (5/9/2019), ia mengungkapkan akar masalah kerusuhan di Papua dan cara mengatasinya.
“Jadi, apa yang terjadi di Papua saat ini dan di luar, itu semua didesain kelompok yang ada di sini. Dan itu akan saya kejar. Kami sudah tahu nama-namanya. Kami akan tegakkan hukum kepada mereka,“ ucap Tito.
Dalam keterangannya tersebut, ia menyebut Benny Wenda, tokoh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang bermukim di Inggris terlibat dalam sejumlah kerusuhan di Papua.
"Benny Wenda main, ya. Mereka mau ngejar dalam rangka apa? Mengejar dalam rangka tanggal 9, itu ada rapat di Komisi HAM di Jenewa. Jadi mereka sengaja bikin rusuh segala macam biar di sana ada suaranya Papua rusuh, tanggal 9 itu," imbuhnya.
Malari dan Waduk Kedung Ombo
Penggunakan kata "kejar" dan melekatkan dalang kerusuhan kepada orang dan organisasi tertentu, membuat Kapolri seperti Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di era Orde Baru.
Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1986), jabatan ini lahir atas kompromi yang dicapai antara Soeharto dan Sukarno sesudah percobaan kudeta pada Oktober 1965. Ia menambahkan, hadirnya kopkamtib membuat Soeharto menduduki jabatan dengan kekuasaan yang luas dan pada akhirnya melebihi kewenangannya semula.
“Kopkamtib lalu menjadi alat utama pemerintah untuk melakukan kontrol politik, dan untuk menangani berbagai macam pemberontakan sipil seperti mahasiswa maupun kaum muslim,” ungkapnya.
Ketika terjadi peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), Pangkopkamtib dijabat oleh Jenderal Soemitro. Belakangan, ia menuding biang kerok kerusuhan tersebut adalah Ali Moertopo, Kepala Operasi Khusus (Opsus) dan salah satu direktur BAKIN yang dekat dengan presiden daripada Soeharto.
Jenderal Soemitro juga menuduh PKI (Partai Komunis Indonesia) terlibat dalam Malari. Menurutnya dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74 (1998), ketika ia meninjau lapangan ada seseorang yang melempar batu ke bus yang ditumpanginya. Ia pun segera keluar dari kendaraan dan berusaha mengejar si pelempar yang berlari ke arah kerumunan, sehingga orang tersebut tak dapat ditangkap.
“Wah, PKI itu. Pasti dia PKI begitu pikir saya,” ungkap Soemitro.
Setelah Malari, Soemitro kehilangan jabatannya. Posisinya digantikan oleh Soeharto yang tentu saja merangkap sebagai presiden. Pada kesempatan keduanya sebagai Pangkopkamtib, Soeharto menjabat sejak 1974 hingga 1978.
Saat sejumlah petani menolak menyerahkan tanahnya untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo pada 1980-an, sebagaimana dicatat oleh Ikrar Nusa Bhakti dalam Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli (2001), mantan Pangkopkamtib itu menuduh mereka sebagai antek PKI. Para petani tersebut diberi kode ET di KTP-nya, padahal mereka adalah petani yang sejak lama bersih dari identitas seperti itu.
"Orang atau warga yang tidak mau menerima pembangunan Waduk Kedung Ombo [telah] disusupi oleh komunis," ucap Soeharto dalam pidato pembukaan waduk tersebut.
Jika sekarang Tito memakai kata “kejar”, maka dulu Soeharto menggunakan kata “gebuk”.
“Apakah ia seorang pemimpin politik atau sampai Jenderal sekali pun, akan saya gebuk. Siapa saja akan saya gebuk karena saya harus menertibkan pelaksanaan konstitusi itu!” ucap Soeharto dalam sebuah pidatonya seperti dilansir Kompas edisi 29 September 1989.
Pembajakan Woyla dan Tanjung Priok 1984
Ketika terjadi pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla pada 1981, Pangkopkamtib dijabat oleh Laksamana Soedomo sampai 1983. Hendro Subroto mencatat dalam Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), bahwa pihak yang bertanggungjawab atas pembajakan tersebut adalah Komando Jihad.
Setelah Soedomo, Pangkopkamtib dijabat oleh Benny Moerdani yang kerap dituduh sebagai musuh Islam politik di Indonesia. Ia menjabat mulai 1983 sampai 1988. Pada 1984, terjadi dua peristiwa besar yakni tragedi pembantaian Tanjung Priok dan peledakan kantor BCA Pacenongan.
“Benny sama sekali tidak menuduh suatu pihak atau kelompok mendalangi peristiwa ini,” tulis Tempo edisi 22 September 1984.
Hal ini berbeda dengan sikap Tito pada peristiwa di Papua, Soemitro pada Malari, dan Soeharto dalam kasus Waduk Kedung Ombo.
Jabatan Pangkopkamtib berakhir sampai era Benny Moerdani. Lembaga penggantinya adalah Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang diketuai Panglima ABRI Try Sutrisno.
Editor: Irfan Teguh