Menuju konten utama

Sikap Audisme Mensos Risma: Kala Pejabat Gagal Paham Budaya Tuli

Setiap teman tuli memiliki kemampuan wicara yang berbeda. Itu tak bisa disamaratakan, apalagi dengan standar teman dengar.

Sikap Audisme Mensos Risma: Kala Pejabat Gagal Paham Budaya Tuli
Menteri Sosial Tri Rismaharini (tengah) menyaksikan proses penyaluran bantuan sosial saat melakukan kunjungan kerja di Pondok Pesantren Al Mizan, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Jumat, (5/11/2021). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/YU

tirto.id - Pada peringatan Hari Disabilitas Internasional, Menteri Sosial Tri Rismaharini memaksa seorang teman tuli bernama Stefan untuk berbicara dengan standar teman dengar.

Stefan, ibu tidak mengurangi bahasa isyarat. Tapi kamu tahu Tuhan itu memberikan mulut, memberikan telinga, memberikan mata kepada kita. Yang ingin ibu ajarkan kepada kalian, terutama anak-anak yang dia menggunakan alat bantu dengar, sebetulnya tidak mesti, dia bisa, sebetulnya tidak mesti bisu,” kata Risma menimpali protes dari Stefan.

Stefan mencoba memberi pemahaman dengan bantuan juru bahasa isyarat, tapi Risma tetap teguh—jika tak mau dibilang ngeyel—terhadap pandangannya.

Jadi, karena itu kenapa ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Jadi, ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat. Tapi, kalau kamu bisa bicara maka itu akan lebih baik lagi,” lanjut Risma.

Keteguhan Risma memaksa Stefan berbicara kabarnya berkiblat pada kemampuan wicara Angkie Yudistia, seorang tuli yang menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo. Risma menyebut Angkie giat berlatih berbicara hingga mencapai hasil yang memuaskan.

"Saya ketemu dengan mbak Angkie, saya pikir mbak kok bagus ngomongnya, ternyata dia melatih diri terus sampai berhasil [berbicara]," kata Risma seperti dikutip CNN Indonesia.

Saya yakin, seperti halnya Mensos Risma, masih banyak orang yang belum paham bahwa setiap teman tuli memiliki kemampuan wicara yang berbeda. Itu tak bisa disamaratakan, apalagi dengan standar teman dengar. Layaknya kemampuan intelektual, kemampuan antara Risma danalmarhum B.J. Habibie, misalnya, tentu saja berbeda.

Seturut logika berpikir Risma, seorang tuli yang sudah menggunakan alat bantu dengar bisa mendengar suara, nada, atau kata-kata sehingga langsung bisa berbicara layaknya mayoritas. Jadi, seorang tuli yang sudah memakai alat bantu dengar namun tak bisa berbahasa verbal adalah individu yang tidak memaksimalkan pemberian Tuhan.

Padahal, mereka bukan tak mau memaksimalkan pemberian Tuhan. Yang juga tidak diketahui Risma adalah para teman tuli bukan tidak mau berusaha bicara. Mereka berusaha, tapi fisiologis mereka memang tak mendukung untuk aktivitas tersebut.

Sekali lagi: tuli memang bukan berarti bisu, namun kemampuan berbicara teman tuli tidak bisa dipatok dengan standar mayoritas.

Keadaan tuli dapat terjadi sejak lahir. Individu dengan tuli bawaan tidak pernah terpapar suara sejak awal kehidupan (prelingual). Keadaan itu membuat otak mereka tak memiliki kesempatan untuk merekam suara yang masuk melalui telinga sehingga tak memiliki model bahasa. Hal itulah yang membuat mereka umumnya sulit berkomunikasi.

Sementara itu, individu yang menjadi tuli setelah belajar berbicara (postlingual) memiliki peluang berbicara lebih fasih. Meski begitu, mereka tetap mengalami kesulitan pada pengucapan diksi, terutama pada huruf-huruf konsonan. Pelafalan mereka tak bisa dibandingkan dengan orang dengar.

Merekomendasikan untuk memakai alat bantu dengar tidak semata-mata mengubah orang tuli jadi orang dengar. Alat itu hanya membantu menangkap suara,” ungkap Bagja Prawira, seorang teman tuli dalam menanggapi kontroversi audisme—keyakinan bahwa kemampuan mendengar membuat seseorang lebih unggul dibanding orang tuli—yang dilakukan Risma.

Sulitnya Menggunakan Bahasa Verbal bagi Tuli

Bagja yang nyaman berbahasa isyarat paham betul rasanya dipaksa berkomunikasi secara verbal. Meski bisa menguasai bahasa tutur, dia tetap saja kesulitan dan tak nyaman jika harus berbahasa seperti mayoritas orang dengar.

Suatu ketika, Bagja sebagai pendiri Silang—start uppenyedia layanan pembelajaran bahasa isyarat—mendapat undangan menjadi pembicara. Namun, panitia acara tersebut tak menyediakan juru bahasa isyarat dan meminta Bagja berkomunikasi secara verbal.

Saya tidak nyaman. Memang saya bisa bicara secara verbal, tapi ini tetap menyulitkan saya karena mereka paham apa yang saya bicarakan, sementara saya tidak,” tuturnya menjawab pertanyaan Tirto soal bahasa verbal pada teman tuli.

Tanpa bahasa isyarat, untuk bisa memahami orang dengar yang jadi lawan bicaranya, temantuli harus membaca gerak bibir dan mencerna kata per kata yang terucap. Itu proses yang sangat sulit. Apalagi jika lawan bicara menggunakan kata-kata homofon atau kata-kata yang rimanya sama, seperti “sangsi” dan “sanksi” atau “satu” dan “sepatu”.

Bagi orang dengar, hal itu mirip seperti nonton film berbahasa asing tanpa suara dan teks alih bahasa. Sulit bukan?

Kemampuan teman tuli dalam berbahasa tutur juga variatif. Mereka yang lihai menggunakan bahasa verbal bahkan sering kali hanya membaca ucapan, bukan memahami makna kalimat. National Resource Center on Domestic Violence menyebut pemahaman teman tuli dalam membaca gerak bibir maksimal hanya mencapai 50-75 persen. Lalu, hanya sekitar 5 persen orang tuli yang dapat membaca gerak bibir pada tingkat pemahaman tersebut.

Bagja termasuk dalam kelompok ini. Dalam berbahasa verbal, dia punya kemampuan memahami rangkaian kalimat dari lawan bicara hingga 50 persen.

Itu pun masih tebak-tebak karena bahasa isyarat dan bahasa indonesia konsepnya beda,” katanya.

Bagi teman tuli, bahasa isyarat adalah solusi dari bahasa verbal yang punya homofon dan sama rimanya karena isyarat gerakan yang digunakan pasti akan berbeda.

Infografik Audisme

Infografik Audisme. tirto.id/Fuad

Audisme Juga Mengakar di Komunitas Tuli

Seperti Risma, sebagian masyarakat mungkin pernah menjadi audis atau pelaku dari tindak audisme. Salah satu bentuk perlakuan audisme yang lazim diterima teman tuli dan kemudian dinormalisasi adalah terapi wicara.

Ada keluarga yang memang melarang anaknya menggunakan bahasa isyarat. Mereka memaksa sedemikian rupa, memberi terapi wicara agar anaknya berkomunikasi secara verbal,” jelas Bagja.

Jika orang dengar bisa berlindung di balik ungkapan “memaksimalkan pemberian Tuhan” dalam memaksa teman tuli berbicara, mereka seharusnya juga bisa menggunakan mata dan tangannya untuk berbahasa isyarat. Apalagi kondisi tuli juga pemberian Tuhan. Jadi, penerapan bahasa isyarat pada tuli adalah cara mereka memaksimalkan pemberian Tuhan.

Bahasa isyarat adalah bahasa ibu bagi orang tuli. Artinya, tindak pelarangan berbahasa isyarat bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang melanggengkan stigma terhadap teman-teman tuli. Mirisnya, menurut Bagja, sesama orang tuli pun bisa saja melakukan tindak audisme ini.

Pengaruh besarnya memang ada di lingkungan. Ketika keluarga memaksa tuli berkomunikasi secara verbal, maka akan terbentuk persepsi superior terhadap bahasa verbal kepada dia (tuli).”

Tuli yang tumbuh di keluarga audis kemungkinan besar juga akan menjadi pelaku audisme. Mereka merasa perlu menukar bahasa isyarat dengan bahasa verbal agar terlihat lebih unggul. Bagi Bagja, seluruh stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap tuli memang harus dibenahi dari akarnya.

Tuli mengalami keterbatasan dalam menjalankan aktivitas bukan karena ketidakmampuan mereka, tapi karena mayoritas tidak mau paham budaya dan bahasa para tuli. Karena itu pula, untuk aktivitas dasar seperti komunikasi saja, mereka harus tertatih-tatih menjalaninya.

Andai saja institusi pendidikan mengajarkan bahasa isyaratkepada siswanya seperti halnya mempelajari bahasa Inggris, mungkin dunia akan jadi lebih inklusif. Sembari menunggu angan-angan itu mewujud, kita bisa memulainya dengan menerapkan pola komunikasi yang tepat kepada teman tuli.

Bagja memberi beberapa saran berkomunikasi bagi teman dengar supaya tak salah langkah dan malah memberi kesan audisme, menghina, atau menyakiti hati teman tuli. Salah satunya, ketika tidak tersedia juru bahasa isyarat, bertanyalah terlebih dulu soal kenyamanan teman tuli dalam berbahasa.

Tanya saja, mau komunikasi lewat tulisan, isyarat jika ada juru bahasa, atau verbal. Gunakan pola komunikasi dengan bahasa yang sederhana, ringkas, dan mudah dipahami,” tutur Bagja.

Baca juga artikel terkait TEMAN TULI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Rio Apinino & Fadrik Aziz Firdausi