Menuju konten utama

Siasat Pemerintah Mencukupi Pasokan Beras Saat Kekeringan Melanda

Sejumlah daerah mengalami kekeringan dan diprediksi akan berlanjut hingga September 2019. Bagaimana pemerintah memenuhi pasokan beras saat persediaan air makin menipis?

Siasat Pemerintah Mencukupi Pasokan Beras Saat Kekeringan Melanda
Buruh tani mengusung hasil panen padi di lahan pertanian Bendosari, Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (5/7/2018). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

tirto.id - Sekitar 100 kabupaten dan kota di pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tengah menghadapi kekeringan karena tak mendapat hujan selama 30 hari terakhir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun memprediksi derita ini masih akan berlanjut sampai September mendatang.

Kementerian Pertanian mencatat sekitar 102.654 hektare (Ha) lahan padi di 100 kabupaten/kota sudah mengalami dampak kekeringan. Lalu sekitar 9.940 Ha sudah rusak dan tidak bisa berproduksi atau puso akibat kekeringan panjang.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, H. Sumardjo Gatot Irianto memastikan kekeringan ini tak banyak memengaruhi ketersediaan beras. Sebab, jumlah lahan puso jauh lebih kecil dari rata-rata lahan padi nasional berkisar 450 ribu Ha. Bahkan, kata dia, pemerintah sedang mengkaji pemanfaatan potensi lahan 670 ribu Ha yang tersebar di luar Jawa.

“Ya sekarang kekeringannya saja kecil. Masa ribut stok beras. Sekarang harga beras murah kamu diam saja. Masih aman banget. Ini kecil sekali,” ucap Gatot usai konferensi pers di Kementan, Senin (8/7/2019).

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Sarwo Edhy menjelaskan pemerintah yakin bahwa hujan buatan belum diperlukan. Pemerintah, kata Sarwo, tengah berupaya mengerahkan pompa air dan membangun pipa-pipa untuk memanfaatkan berbagai sumber air yang dimiliki di daerah yang mengalami kekeringan.

Di samping itu, ia optimistis bahwa 11.654 embung dan 4.042 saluran irigasi yang dibangun pada 2015-2019 cukup menghadapi musim kemarau ini. Terkait antisipasi mafia air dan peristiwa penjebolan pintu air, kata dia, diantisipasi dengan melibatkan TNI di daerah untuk mendampingi.

“Belum sampai ke sana (hujan buatan) karena harapan kami dengan bantuan pompa yang ada pemanfaatan sumber air yang ada masih bisa kami atasi,” ucap Sarwo kepada wartawan saat ditemui di sela rapat 'Koordinasi Mitigasi Kekeringan' di Kementan, Senin kemarin.

Sekretaris Jenderal Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alumoeso mengatakan sejumlah upaya pemerintah memang sudah cukup menjawab mitigasi kekeringan ini.

Namun, Sutarto mengingatkan bahwa setiap solusi-solusi itu ada batas kemampuannya dan pada kondisi ekstrem ini kapasitasnya pun tidak sama seperti saat panen normal.

Sutarto menyebutkan pada situasi kemarau seperti ini, daerah-daerah yang berada di titik terjauh dari saluran irigasi bisa jadi tak terjangkau seiring dengan berkurangnya ketersediaan air. Kalaupun masih ada, bisa jadi jumlahnya tak banyak dan belum tentu dapat dialirkan bagi wilayah lain.

Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah tak memaksakan penanaman padi di daerah tersebut. Kalaupun masih ingin menanam, panen harus sudah dilakukan sebelum memasuki bulan Agustus 2019 atau di wilayah lain seperti Sumatera.

“Kalau ketersediaan air tidak mampu menjamin masa tanam 4 bulan, kami beralih saja ke komoditas lain. Jangan terus minta petani untuk gambling,” ucap Sutarto saat dihubungi reporter Tirto.

Sutarto menyebutkan saat ini jumlah puso juga relatif kecil karena petani masih bisa memanfaatkan sisa-sisa air di tanah dan sekitarnya. Ia mengatakan, jika kemarau berlanjut, maka angka itu pasti meningkat drastis. Untuk meminimalisir kerugian petani, ia menegaskan bahwa ada kemungkinan di daerah yang sulit airnya dapat beralih ke komoditas lain.

“Kalau sekarang ada 9.000-an puso kecil ya. Tapi nanti bulan Juli selanjutnya meningkat. Terutama kalau daerah yang di ujung pengairan akan terdampak. Itu akan cepat meningkat saat bulan depan,” ucap Sutarto.

Peneliti pangan dari Institute for Development of Economics (Indef), Rusli Abdullah mengatakan kekeringan yang akan dialami ini bisa jadi sulit dikendalikan meskipun pemerintah sudah menyediakan bantuan saluran air dan embung. Apalagi sepengetahuan Rusli sejumlah waduk juga sudah mengering.

Kekeringan diprediksi akan semakin memburuk sampai Agustus 2019. Menurut Rusli memang akan ada sejumlah daerah yang tidak bisa berproduksi.

“Kalau kekeringan itu susah ya. Iklim sudah seperti ini. Bisa menyalurkan bantuan pompa air dalam jangka pendek. Tapi kalau ini tetap harus jangka panjang, benahi hulu sumber airnya,” ucap Rusli saat dihubungi reporter Tirto.

Rusli menyatakan kekeringan ini nantinya juga akan segera berdampak pada pasokan beras. Perhatian pemerintah, kata Rusli, sudah harus dialihkan untuk menjaga ketersediaan beras terutama di daerah-daerah yang tidak bisa berproduksi.

Ia menyarankan agar momentum ini dimanfaatkan untuk menggelontorkan beras Bulog yang saat ini berlebih cukup banyak di gudang. Kalau seandainya dibutuhkan impor, kata Rusli, maka pemerintah sebaiknya tidak terlambat memutuskannya.

Sebab, kata dia, situasi ini sudah barang tentu dapat berpengaruh pada kenaikan harga beras di bulan-bulan berikutnya.

“Beras-beras Bulog bisa dimanfaatkan dari gudang yang berlebihan. Disiapkan di daerah yang terpapar kekeringan. Kalau perlu impor juga sebaiknya impor untuk memitigasi kekurangan beras,” ucap Rusli.

Baca juga artikel terkait BENCANA KEKERINGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz