Menuju konten utama
GWS

Siapa yang Tahu ke Mana Perginya Waktu?

Makin tua, makin cepat waktu berlalu, seolah kita telah melewatkan banyak momen. Seperti larik puisi Subagio Sastrowardoyo, "Semuanya luput, juga waktu."

Siapa yang Tahu ke Mana Perginya Waktu?
ilustrasi waktu. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Waktu berlalu dengan cepat meninggalkan kita. Tak terasa, kita telah menginjak pertengahan dekade. Tahun-tahun pandemi telah kita lewati, jauh di belakang. Wajah presiden dan wakil presiden baru telah terpampang di dinding lobi kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah.

Hari-hari tak lagi berjalan lambat seperti saat belia, ketika kita menikmati waktu bersama kawan, keluarga, juga pasangan. Kini, semuanya tampak serbacepat dan terburu-buru.

Saban hari raya, sanak saudara di kampung halaman selalu menegur, betapa kita tumbuh dengan cepat sejak pertama kali mereka melihat kita di masa lalu. Kita mungkin muak dengan basa-basi semacam itu. Akan tetapi, memang itulah yang mereka rasakan.

Saat kecil, kita merasa waktu berjalan lambat, bahkan mungkin seperti merangkak. Liburan hari raya seolah berlangsung selamanya. Kini, masa-masa tamasya berlalu dalam sekejap mata. Akhir pekan lekas hilang. Esok kita kembali ke keseharian.

Kita mengulang lagi hari-hari lalu, yang kita habiskan untuk kuliah, bekerja, atau bahkan masih kesusahan mencari penghidupan.

Ke Mana Perginya Waktu?

Waktu tidak pergi ke mana-mana. Ia juga tidak berlalu dengan lebih cepat dibanding saat kita masih kecil. Jika ada yang bilang, "Semua hanya perasaanmu saja," itu benar belaka.

Perasaan bahwa hidup terasa serbacepat adalah aspek umum yang beriringan dengan penuaan. Bukan hanya aku, kamu, atau kita, melainkan hampir semua orang pernah merasakannya.

Seiring bertambahnya usia, persepsi kita terhadap waktu berubah. Hal itulah yang membuat periode yang kita lalui seolah pergi dengan cepat.

Pengalaman percepatan waktu, yang dialami oleh hampir semua orang, telah menjadi topik diskusi para filsuf dan psikolog sejak lebih dari satu abad silam. Namun, faktor penyebabnya baru dipahami oleh para peneliti abad ke-21.

ilustrasi waktu

ilustrasi waktu. FOTO/iStockphoto

Pada 1990-an, banyak peneliti yang berupaya mengidentifikasi pengaruh antara pertambahan usia dan percepatan waktu yang dirasakan. Namun, kebanyakan dari mereka belum menemukan bukti perubahan yang jelas dan general. Efeknya hanya dirasakan oleh orang yang berusia di atas 50 tahun, dan jangka waktu ingatan yang diuji pun relatif panjang, setidaknya 10 tahun terakhir.

Pada medio dekade 2010-an, dengan metode serupa, Sylvie Droit-Volet dan John H. Wearden mencoba mendalami seberapa umum efek dari persepsi terhadap waktu tersebut. Peserta studinya terdiri atas 29 orang dengan usia yang beragam, mulai dari anak muda hingga orang tua.

Droit-Volet dan Wearden memberikan serangkaian pertanyaan kepada semua subjek penelitian terkait impresinya terhadap waktu. Tidak hanya kesan waktu dalam kurun bulanan atau tahunan, tetapi juga hari demi hari. Semua subjek penelitian memberikan kesan atau persepsi terhadap waktu yang dilaluinya sehari-hari.

Studi yang terbit di Jurnal Acta Psychologica tersebut menyimpulkan, semua subjek penelitian setuju dengan gagasan bahwa waktu berlalu dengan cepat seiring bertambahnya usia, dan periode yang dijalaninya sekarang cenderung lebih cepat berlalu dibanding saat muda.

Yang Fana adalah Persepsi Kita terhadap Waktu

Seorang tua berusia 80 tahun yang sudah pensiun bisa jadi merasa bahwa waktu berjalan lesu, jauh lebih lambat dibanding kehidupan anak yang baru masuk SD dan sibuk bersekolah. Namun, ketika keduanya mengingat kembali kehidupannya setahun lalu, si lansia merasa bahwa waktu berjalan lebih cepat.

Dalam kasus di atas, orang tua cenderung mengingat lebih sedikit peristiwa selama setahun ke belakang. Terlebih, jika ada perasaan tidak puas dengan kesejahteraannya saat ini, ia akan lebih merasa bahwa waktu berlalu secepat kilat. Hal ini muncul karena ketidakpuasan pada hidup yang dijalaninya.

Hipotesis tersebut selaras dengan anggapan bahwa waktu berlalu dengan cepat saat kita bersenang-senang, sedangkan panci yang diawasi terus-menerus tidak akan pernah mendidih. Dengan kata lain, makin sedikit perhatian yang diberikan terhadap sesuatu hal, makin lambat waktu yang dirasakan olehnya (selanjutnya disebut jam internal). Singkatnya, waktu di kepala kita terasa sangat lama, padahal waktu berjalan seperti biasanya.

Dalam hal persepsi terhadap waktu, sebagaimana dicontohkan melalui kasus di atas, mungkin kita semua merasakannya. Namun, bagaimana dengan faktor pertambahan usia?

Melambatnya jam internal pada orang tua, terutama lansia di atas 75 tahun, bertalian erat dengan faktor neurokognitif. Seiring bertambahnya usia, persepsi waktu di kepalanya menjadi lebih lambat dan kurang akurat.

ilustrasi waktu

ilustrasi waktu. FOTO/iStockphoto

Hal ini juga dikaitkan dengan terjadinya degenerasi di struktur otak, seperti ganglia basal (berperan mengendalikan gerakan otot), lobus frontal (mengatur penilaian dan pemikiran), dan cerebellum (mengendalikan motorik). Ada pula faktor penurunan kapasitas memori kerja, yang berpengaruh terhadap kemampuan individu mempertahankan konsistensi interval waktu.

Teori tersebut dibuktikan oleh Martine Turgeon dan dua koleganya melalui penelitian yang terbit di Jurnal Psychol Aging (2016). Tujuan studinya adalah menguji persepsi seseorang terhadap waktu melalui metode percobaan ketukan yang konsisten. Subjek penelitian lintas usia, mulai dari 19 hingga 98 tahun.

Hasilnya, subjek penelitian yang berusia paling tua mengalami perlambatan respons dan tidak konsisten dalam ketukannya. Hal ini mencerminkan bahwa jam internal seseorang lebih lambat dan bervariasi. Penyebabnya, sebagaimana disinggung di atas, adalah penurunan kemampuan neurokognitif.

Kita Tidak Dapat Memperlambat Waktu

Di tengah kesibukan yang menumpuk, baik tugas kuliah maupun pekerjaan, kita mungkin pernah berpikir bagaimana cara memperlambat waktu. Sayangnya, tidak ada yang bisa memperlambat, atau bahkan menghentikan waktu.

Namun, kita bisa memanipulasi persepsi kita terhadap waktu dengan melakukan banyak hal yang lebih bermakna. Salah satunya adalah dengan mencoba hal-hal baru, di luar kebiasaan dan rutinitas sehari-hari.

Sebagaimana dijelaskan dalam studi di atas, persepsi waktu internal sangat dipengaruhi oleh perhatian yang kita berikan terhadap sesuatu. Kehidupan yang monoton, misalnya bekerja 9 to 5 atau kuliah dari pagi sampai sore, akan membuat kita terus-menerus merasa bahwa hidup berlalu dengan cepat. Tak terasa tahun berganti, hari raya menjelang, usia senja di depan mata.

Cindy Lustig, profesor psikologi di Universitas Michigan, menilai, terlibat sepenuhnya di masa sekarang akan membuat momen tersebut terasa begitu lama.

"Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa latihan kesadaran dapat memperluas persepsi kita tentang waktu," katanya.

Tak ada yang tahu berapa banyak waktu yang kita miliki. Bahkan prediksi dokter terkait usia harapan hidup pasien kanker bisa salah. Yang jelas, kita punya kendali penuh atas hal-hal yang kita lakukan, di masa ini, detik ini.

Sad, deserted shore

Your fickle friends are leaving

Ah, but then you know

It's time for them to go

But I will still be here

I hove no thought of leaving

I do not count the time

For Who knows where the time goes?

Who knows where the time goes?

===============

Catatan:

Tajuk artikel ini diambil dari judul lagu ciptaan Fairport Convention "Who Knows Where The Time Goes" yang terdapat di album Unhalfbricking (1969).

Baca juga artikel terkait WAKTU atau tulisan lainnya dari Fadli Nasrudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Fadli Nasrudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi