tirto.id - Kampanye pemilihan presiden negara adidaya Amerika Serikat masih terus dilakukan hingga kini baik oleh calon presiden dari Republik, Donald Trump, dan dari Demokrat, Joe Biden. Pelaksanaan pemilihan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada 3 November 2020.
Di sisi lain, Amerika Serikat dikenal sebagai negara yang banyak berkonfrontasi dengan negara lain termasuk Cina dan Rusia. Hal ini pun membuat masyarakat dunia bertanya-tanya. Siapakah calon presiden AS yang akan diinginkan oleh Cina dan Rusia pada kancah pemilihan umum AS kali ini?
Dikutip dari Time, pada kesempatannya berkampanye di Dayton, Ohio, pada 21 September lalu, Donald Trump berpidato: “Jika Biden menang, Cina menang,” ungkapnya kepada para penonton. “Jika kita menang, Ohio menang dan yang terpenting, dalam semua keadilan, Amerika menang,” lanjut Trump.
Pada kesempatan keduanya maju kali ini, ia kembali mengusung semangat “Make America Great Again” seperti kampanyenya saat mencalonkan diri sebagai presiden AS periode lalu. Tema tersebut pun tersirat dengan jelas pada pidato-pidatonya selama kampanye.
“Jika saya tidak memenangkan pemilu, Cina akan memiliki Amerika Serikat,” kata Trump kepada pembawa acara radio konservatif Hugh Hewitt pada 11 Agustus lalu dikutip dari CNN.
Senada dengan pertakaannya tersebut, ketika kantor berita Reuters melakukan wawancara terhadapnya di bulan April lalu, Trump mengatakan dengan pasti bahwa Cina menginginkan ia kalah dalam pemilihan presiden kali ini.
“Cina akan melakukan apa saja agar saya kalah dalam perlombaan ini,” ungkapnya.
Siapa yang diinginkan oleh Cina untuk menang Pemilu AS?
Cina dan Amerika Serikat memang telah lama berkonfrontasi salah satunya soal kesepakatan dagang di antara keduanya. Hubungan keduanya memanas ketika AS menyebut Cina melanggar komitmen yang telah disepakati bersama.
Baik Cina dan AS pun saling serang tarif impor. Trump meningkatkan tarif impor barang Cina senilai 200 miliar dolar AS menjadi 25 persen, sedangkan Cina membalasnya dengan menaikkan nilai impor senilai 300 miliar dolar AS.
Tak hanya itu, Donald Trump mendapat kritikan dari berbagai belah pihak akibat upayanya dalam memblokade berbagai hal yang bersumber dari Cina. Beberapa waktu yang lalu, ia melarang perusahaan teknologi Cina untuk masuk ke pasar AS.
Trump juga memberikan sanksi kepada para pejabat tinggi Cina atas pelanggaran hak asasi manusia, mendeportasi siswa Cina yang memiliki hubungan militer, melarang platform media social TikTok, hingga menutup konsulat Cina di Houston.
Meski demikian, Wang Yiwei, Direktur Institute of International Affairs di Remin University, Beijing, mengatakan bahwa banyak orang Cina biasa ingin Trump menang dalam kontestasi politik besar AS pada periode ini.
“Banyak orang Cina ingin Trump menang, karena mereka mengira Trump telah menghancurkan sistem Amerika dan aliansinya,” kata Wang Yiwei. "Jadi jika Trump terus melakukan itu, mungkin ada peluang bagi Cina.
Trump bahkan mendapatkan nama panggilan khusus di kalangan netizen Cina. Chuan Jianguo, atau "Build-the-Country Trump," menyiratkan bahwa kesalahan Trump sebenarnya adalah anugerah bagi negara Cina.
“Mereka membantu Cina memperkuat solidaritas dan kohesi dengan cara yang khusus. Ini penting untuk kebangkitan Cina,” tulis Hu Xijin, editor Global Times, pada akun Twitternya pada 24 Juni.
Namun, banyak elit dan masyarakat Cina terpelajar yang telah lama di Amerika Serikat berharap bahwa Biden yang akan menjabat menjadi presiden selanjutnya. Mereka berharap Biden mampu memulihkan program budaya, Pendidikan, dan aspek lainnya kembali antara kedua negara yang tengah memanas tersebut.
“Trump tidak hanya merusak reputasi AS tapi juga citra Barat di Cina,” kata Wang. Akan tetapi, pandangan Wang tersebut pun sama dengan bagaimana warga AS melihat Cina. Hal ini sesuai dengan survei Pew Research Center pada bulan Juli lalu yang menemukan bahwa 73 persen orang Amerika memiliki pandangan negatif terhadap Cina.
“Trump membuat dunia lebih kompleks dan tidak dapat diprediksi,” lanjut Wang.
Di sisi lain, South Cina Morning Post menuliskan bahwa Cina tidak akan terlalu berkoar-koar untuk urusan pemilihan presiden AS kali ini. “Beijing telah secara dramatis menurunkan retorika nasionalisnya dan sebagian besar tetap diam tentang pemilihan yang akan dating,” tulis SCMP.
Bagaimana Rusia Menanggapi Pilpres AS?
Dikutip dari BBC, Rusia memiliki peran penting dalam pemilu AS 2016. Para intelijen AS percaya bahwa Rusia mencoba memengaruhi pemungutan suara untuk mendukung Donald Trump.
Adanya kesimpulan para intelijen AS atas upaya Rusia dalam memengaruhi hasil suara tersebut merujuk pada pertemuan antara tim Donald Trump dan pejabat Rusia, serangan dunia maya terhadap kampanye Hillary Clinton dan Demokrat, penargetan basis data pemilih negara bagian, dan upaya untuk memperkuat materi palsu atau partisan secara online.
Di sisi lain, panel Senat yang dipimpin partai Republik pada bulan lalu memberikan dukungan lebih lanjut yang menyatakan bahwa Rusia ingin Trump kembali menjabat sebagai presiden.
Sementara itu, kepala Pusat Kontra Intelijen dan Keamanan Nasional (NCSC) William Evanina mengatakan bahwa Rusia menggunakan berbagai tindakan untuk merendahkan kandidat Wakil Presiden Biden pada tahun 2020 ini. Para pejabat Rusia pun menyebarkan klaim tentang korupsi sebagai upaya melemahkan Biden dan Partai Demokrat.
“Beberapa aktor yang terkait dengan Kremlin juga berusaha untuk meningkatkan pencalonan Presiden Trump di media social dan televisi Rusia,” tulis Evanina dalam pernyataannya.
Direktur FBI Christopher Wray pun mengatakan Rusia selalu ikut campur dalam berbagai urusan politik AS dan menyebut pemilihan kongres 2018 merupakan gladi bersih bagi pilpres AS 2020.
Menanggapi hal tersebut, Rusia secara konsisten membantah telah ikut campur dalam pemilihan luar negeri. Pada awal tahun ini, salah seorang juru bicara Kremlin mengatakan bahwa tuduhan campur tangan tersebut hanyalah upaya menakut-nakuti.
Sementara itu, Donald Trump mengatakan bahwa memang ada kemungkinan Rusia mencoba ikut campur dalam pemilihan presiden periode keduanya melawan Biden. “Bisa jadi,” ungkapnya pada konferensi pers bulan Juli lalu dikutip dari CNBC. Namun, ia menambahkan: “Saya pikir orang terakhir yang ingin dilihat Rusia di kantor adalah Donald Trump.”
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Yantina Debora