tirto.id - Pada 7 November 2020, kecemasan dunia seputar hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020 selama beberapa bulan terakhir akhirnya terjawab. Politikus Demokrat Joe Biden memenangkan Pilpres AS 2020 mengalahkan petahana Donald Trump.
Dengan kemenangan ini, Biden akan menjadi presiden tertua sepanjang sejarah AS. Sementara Kamala Harris, anggota Senat yang mewakili California sejak 2017 dengan orang tua imigran asal Jamaika dan India, akan menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai wakil presiden AS.
Dilansir dari Reuters, ribuan orang di AS turun ke jalan untuk merayakan kemenangan mantan Wakil Presiden era Barack Obama ini. Di sisi lain, Reuters melaporkan bahwa ratusan pendukung Presiden Donald Trump dari Partai Republik masih bersikeras bahwa "pemilihan ini masih jauh dari selesai” saat melakukan demonstrasi.
Namun, keceriaan tersebut ternyata tidak hanya dirasakan pendukung Biden di negara Paman Sam. Beberapa pemimpin dunia juga turut memberikan ucapan selamat kepada Biden, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Selamat terhangat saya kepada @JoeBiden dan @KamalaHarris atas pemilihan bersejarah Anda. Hasil turnout (jumlah pemilih yang menggunakan haknya) yang sangat besar adalah cerminan dari harapan yang ditempatkan pada demokrasi," tulis Presiden Jokowi melalui akun resmi Twitter-nya @jokowi.
My warmest congratulations @JoeBiden and @KamalaHarris on your historic election. The huge turn out is a reflection of the hope placed on democracy. pic.twitter.com/Neai7coU6j
— Joko Widodo (@jokowi) November 8, 2020
"Pelaku pasar sangat memperhatikan pemilihan presiden karena [hal ini] akan mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat ke depannya," jelas Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee melalui pesan yang diterima Tirto pada 8 November 2020.
Menurut Hans, potensi meredamnya perang dagang AS dengan Cina, Eropa dan Meksiko ini dengan terpilihnya Biden akan cenderung menurunkan volatilitas pasar dan berpotensi membuat Rupiah menguat terhadap Dollar AS.
Selain itu, harga beberapa komoditas unggulan RI juga naik sepekan terakhir. Misalnya, harga minyak sawit mentah (CPO) kini berada di rentang tertinggi dalam delapan tahun terakhir meski terkoreksi tipis hari Kamis (12/11/2020), dilansir dari CNBC.
Lebih lanjut, sentimen positif dari kemenangan Biden tampaknya juga dipengaruhi oleh publikasi efektivitas vaksin COVID-19 dari Pfizer asal Amerika Serikat yang efektifitasnya mencapai 90 persen. Pengumuman terkait vaksin ini telah menimbulkan sentimen positif bagi perekonomian, seperti diucapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam diskusi bertajuk "Kondisi Sektor Keuangan Terkini Serta Meneropong Ekonomi 2021", Selasa (10/11/2020).
Belum Tentu Mereda?
Kendati demikian, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri kepada Tirto, Selasa (11/11/2020), menganggap bahwa terpilihnya Biden untuk menjadi Presiden ke-46 AS tidak serta merta akan menghentikan perang dagang AS dengan Cina.
Alasannya, permasalahan antar kedua negara raksasa ini "sangat dalam," mulai dari dominasi AS di dunia, manipulasi mata uang di Cina ataupun masalah-masalah lainnya.
"Tetapi penyelesaiannya kemungkinan tidak akan secara agresif ataupun dengan cara yang intimidatif," ucap Yose. "Yang mungkin dilakukan adalah membawa Cina ke WTO."
Namun, ia menilai bahwa Biden memang akan lebih "bersahabat" dengan kerja sama internasional dibandingkan Trump dan akan memberikan kepastian bagi pelaku usaha, sehingga akan berdampak positif kepada perdagangan internasional.
Menurut Yose, Trump cenderung menganggap perdagangan dan kerja sama internasional sebagai sesuatu yang merugikan AS seperti yang tercermin dalam keluarnya AS dari North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA) dan Kemitraan Trans Pasifik (TPP).
Dengan motonya "America First," Trump juga selama ini fokus menarik kembali investasi AS di luar negeri untuk agar dikembalikan ke dalam negeri. Yose menilai bahwa kebijakan AS juga sulit ditebak karena berbagai cuitan Trump di Twitter. "Hari ini bilang A, besoknya bilang B," kata Yose.
Data WTO menunjukan, akibat ulah Trump di tengah pelemahan PDB dunia dan konflik perdagangan yang makin panas, pertumbuhan perdagangan dunia merosot dari 4,7% (2017) menjadi 3% (2018) lalu terkontraksi 0,1% (2019). Pertumbuhan PDB dunia juga ikut melambat dari 3% (2017) menjadi 2,9% (2018) dan 2,3% (2019).
Indonesia Cuan?
Tidak semua ekonom melihat sisi positif dari kemenangan Biden di Pilpres AS. Sebulan sebelum hasil Pilpres AS tahun ini, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri menjelaskan bahwa kemenangan Biden bisa merugikan Indonesia.
Hal tersebut dikarenakan membaiknya ekonomi AS di bawah pemerintahan Biden dapat menyebabkan adanya penguatan dolar Amerika, sehingga dapat menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar, jelas Faisal dalam sebuah webinar pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu.
"Tapi ini agak lucu. Lebih baik buat Indonesia kalau Donald Trumpnya menang karena makin awut-awutan ekonomi [AS]. Kalau ekonomi Amerika awut-awutan, Indonesia makin diuntungkan," ucap Faisal.
Dikutip dari Detik, Faisal juga mengatakan bahwa Partai Demokrat di AS akan lebih ketat dalam memberikan insentif atau menjalin kerja sama dengan negara lain, misalnya Indonesia. Salah satunya adalah dengan memberikan sejumlah syarat-syarat terkait hak asasi manusia yang bisa memberatkan posisi Indonesia.
Di sisi lain, Partai Republik di AS selama ini "kerjaannya" mengeluarkan stimulus dan cetak uang, sehingga dolar AS turun dan rupiah menguat. Posisi ini dinilai akan lebih menguntungkan Indonesia.
"Kalau Partai Republik yang penting bisnis. Perusahaan minyaknya diminta dikasih fasilitas, Freeport jangan diganggu, begitu-begitu saja, dan GSP dikasih begitu kan," tutur Faisal.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara