Menuju konten utama

Siapa Sebenarnya Hatta Taliwang yang Diduga Terlibat Makar?

Ia banyak berkomentar. Banyak menulis. Pernah menjadi penyair. Salah seorang pendiri Partai Amanat Nasional. Bisakah ia berbuat makar?

Siapa Sebenarnya Hatta Taliwang yang Diduga Terlibat Makar?
hatta taliwangl. ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - “Aku ini bukan beruang lapar dari kumpulan yang terbuang,” itulah sebaris kalimat puisi Muhammad Hatta Taliwang.

Salah satu tokoh yang turut menandatangani akte notaris pendirian Partai Amanat Nasional tersebut sempat menjadi pemenang lomba puisi Kementerian Sosial 1973 silam. Kini Hatta Taliwang tengah diburu pihak kepolisian. Dia dituding menjadi salah satu inisiator penggulingan pemerintahan Presiden Jokowi.

Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan memastikan bahwa biang makar masih akan bertambah. Sementara ini ada 11 orang yang sudah diperiksa dan tiga dari mereka masih di tahan. Dari keterangan dan bukti petunjuk, polisi mengarahkan tudingan kepada Hatta Taliwang.

"Benar dia mengikuti rapat. Namun kami sedang cari bukti, sampai sekarang belum tertangkap. Kalau kalian tahu, kasih tahu saya," ujar Iriawan di Jakarta, Selasa (6/12).

Bahkan kepolisian pun, seperti diucapkan Kapolda Metro Jaya di atas, belum bisa menjawab apa dan bagaimana peran Hatta dalam perencanaan makar. Namun menarik menelusuri alam pikiran Hatta Taliwang tentang persoalan-persoalan ke-Indonesia-an.

Meski tak jelas dari mana sumber dan referensinya, ia pernah membuat tulisan tentang bahaya Cina. Ia menuding-nuding bahwa Cina telah mengirimkan para perantau untuk mendirikan partai politik di Indonesia. Beberapa dari mereka dia sebut pula, di antaranya Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Hary Tanoesoedibiyo, dan Setya Novanto.

Dia menulis judul artikelnya dengan huruf besar, “Waspada Politik Cina Raya”. Naskah yang dia tulis pada 22 Juli 2016 tersebut viral, bahkan beberapa media mengutipnya menjadi dua sampai tiga berita. Tudingan tersebut memang mengandung risiko yang berat. Pastilah Hatta Taliwang seringkali menikmati separuh malamnya untuk rutin melakukan penelitian itu.

Susah memang memahami struktur tulisan Hatta Taliwang. Tapi kira-kira di paragraf ke-27 dia mengungkap landasan ilmiah risetnya yang menjadi pondasi tudingan “Cina Raya”. Singkatnya dia menulis begini: “Sebuah sumber di medsos (media sosial) menulis.”

Dia menegaskan bahwa dulu Tibet merupakan negara yang merdeka. Namun setelahnya, negara tersebut digelontori bantuan dari Cina. Maka dikirimlah pekerja dari Cina. Tapi tiba-tiba para pekerja tersebut memegang senjata guna menguasai ibu kota dan pemeritahan.

“Ternyata mereka adalah para tentara yang menyamar jadi pekerja. Menurut sumber itu, kisah ini didengar langsung dari orang Tibet di kota Lasa (ibu kota Tibet).”

“Salah satu cara strategis untuk mengangkat harkat dan martabat Pribumi Nusantara,” lanjutnya, “Adalah dengan kembali ke UUD45/Pancasila yang menjadi dasar idealisme the founding fathers NKRI.”

Di era Presiden Jokowi, Anak Angkat Keluarga Jendral Besar TNI AH Nasution tersebut juga menebar wacana terkait “illuminati”. Satu-satunya catatan kaki dalam tulisan tersebut berbunyi begini, “Diedit dari Mbah Google.”

Dalam tulisan itu Hatta Taliwang mengutip Mbah Google yang mengutip pemikiran Myron Pagan. Menurutnya iluminasi harus menguasai para pejabat tinggi pemerintahan dari beberapa tingkatan jabatan, bila perlu dilakukan cara-cara kotor dengan menyogok, baik dengan uang maupun perempuan. Dia juga menuliskan bahwa iluminasi melakukan perekrutan terhadap aktivis mahasiswa yang potensial, yang mempunyai bakat dan dari keturunan yang unggul untuk dilatih sebagai anggota iluminasi yang prospektif di masa depan.

Dorong Sidang Istimewa MPR turunkan SBY

Hatta Taliwang merupakan memiliki ambisi yang tinggi untuk merebut kekuasaan. Dia sempat tak main-main, dia mendorong agar ada pelaksanaan Sidang MPRS. Hatta Taliwang bersama orang-orang yang tergabung dalam Komite Nasional Penyelamat Kedaulatan Rakyat (KN-PKR) siap menjadi bertindak sebagai inisiator dan fasilitator sidang tersebut.

“Saling percaya, membentuk Badan Persiapan Sidang Istimewan MPRS (BP SI MPRS) di tingkat pusat, yang akan menjadi panitia nasional untuk mempersiapkan penyelenggaraan Sidang Istimewa MPRS, baik persiapan materi, teknis pelaksanaan hingga penggalangan dan kampanye untuk meraih dukungan dan kepercayaan rakyat,” tegas pernyataan Hatta Taliwang dan rekan-rekannya.

Ia melanjutkan: “Kami juga akan bertindak sebagai inisiator dan fasilitator, mengajak dan menyerukan kepada seluruh elemen dan komponen bangsa di daerah-daerah untuk membentuk Badan Pendukung SI MPRS, untuk turut aktif mendukung, menggalang dan mengkampanyekan pentingnya Sidang Istimewa MPRS sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara.”

Pernyataan di atas diungkapkan oleh para pemrakarsa Komite Nasional Penyelamat Kedaulatan Negara pada 11 Desember 2013. Mereka di antaranya Haris Rusly, Salamuddin Daeng, Agus Jabo Priyono, Ismail Hasan, Wenry Anshory Putra, Pandapotan Lubis, dan sebagainya.

Apa dampaknya? Tak ada.

Kemudian pada 13 Maret tahun 2014, Hatta Taliwang sempat membuat surat terbuka kepada DPR dan MPR. Dengan huruf kapital dia menulis bahwa DPR dan MPR harus memanggil Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal tersebut lantaran SBY dianggap tak transparan dalam menjelaskan berapa sebenarnya hutang yang masih ditanggung negara.

Lantas adakah dampaknya? Juga tak ada.

Dalam salah satu tulisannya, Hatta Taliwang berharap agar MPR kembali menjadi lembaga negara yang posisinya paling tinggi sehingga bisa mengutak-atik posisi Presiden dan Wakil Presiden tanpa harus melewati mekanisme peradilan melalui Mahkamah Konstitusi.

Dalam tulisannya tersebut, Hatta Taliwang mengaku dirinya orang yang awam dalam hal hukum tata negara. “Tetapi saya punya fantasi tentang fungsi dan peran apa yang seharusnya diemban oleh MPR RI. MPR tidak mempunyai fungsi dan peran khusus lagi. Praktis jadi lembaga simbolik saja.”

Anggap DPR Tak Bertaji

Hatta Taliwang sempat menjadi anggota DPR RI dari Fraksi PAN periode 1999 hingga 2004. Namun kariernya di PAN tidak berlanjut. Pada 2010, ia tidak puas dengan situasi menjelang kongres PAN 2010 yang terbagi ke dalam dua kubu, Hatta Rajasa dan Drajad Wibowo. Ia mengancam membuat kongres PAN tandingan.

Untuk ketidakhadirannya lagi di Senayan sebagai anggota parlemen, Hatta Taliwang menuliskan sebuah pledoi. Ketua Dewan Mahasiswa Muhammadiyah tahun 1977-1978 berujar: “Sejak anda masuk Senayan (DPR), rakyat sudah masuk tong sampah! Karena itulah saya tidak tertarik lagi jadi caleg dalam sistem kepartaian dan keparlemenan seperti ini,” tulisnya.

Dia mengungkapkan bahwa selama di DPR, opini setiap anggota dewan disetir utusan partai politik yang bersemayam di DPR yaitu pimpinan fraksi. Hal itulah yang membuatnya tersandera. Maka dari itu, dia lebih memilih berada di luar legislatif agar bisa leluasa melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Sambil menunggu kawan kawan berkumpul untuk revolusi menegakkan demokrasi yang sesungguhnya,” katanya.

Tak lama dari pernyataannya tersebut, Hatta Taliwang bersama para pemohon terdiri Din Syamsuddin, Amidhan, Marwan Batubara, Adhyaksa Dault, Laode Ida, Rachmawati Soekarnoputri, Fahmi Idris mengajukan permohonan ke MK. Mereka meminta MK melakukan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.

Karena posisinya sudah tak lagi berada di dalam partai, Hatta Taliwang semakin ganas dalam berkomentar. Menurutnya kumpulan partai oposisi Jokowi, Koalisi Merah Putih (KMP) telah diacak-acak. Sedangkan PPP dipecah.

“Golkar dilumpuhkan. Partai lain yang jinak jinak-jinak merpati diberi angin surga dalam kabinet. DPR jadi lembaga banci. Belum puas dengan itu lembaga yang potensial membuka borok kekuasaan yaitu KPK dilumpuhkan.”

Hingga kini Hatta Taliwang hidup dengan bergelimang kontroversi. Meski begitu adakah dampak dari ocehan, "penelitian", dan pemikirannya? Tidak ada, selain menjadi terduga biang penggulingan pemerintahan Jokowi.

Tapi bagaimana ia menggulingkan kekuasaan? Dengan cara apa? Itu dia pertanyaannya!

Baca juga artikel terkait MAKAR atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Zen RS