tirto.id - Perfilman Indonesia kembali menyajikan film biopik tokoh nasional berjudul “Lafran” yang dirilis pada 20 Juni 2024. Film ini mengangkat perjalanan hidup tokoh nasional pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bernama Lafran Pane.
Kisah film ini dimulai dari masa kecil Lafran Pane yang cerdas, namun kurang disiplin. Dia tumbuh menjadi pemberontak, bahkan hingga menjadi petinju jalanan. Hal ini membuat dia selalu berpindah sekolah.
Kedua kakaknya, yakni penyair Sanusi Pane dan Armijn Pane, lantas mendorong Lafran untuk menyalurkan energinya dalam bentuk karya.
Beranjak dewasa di masa pendudukan Jepang, Lafran sempat ditahan karena membela para peternak sapi. Dia lantas dibebaskan usai ayahnya menebus dengan menyerahkan bus Sibual-buali.
Ketika kuliah di Jogja, Lafran risau melihat mahasiswa muslim yang terlalu asyik dengan pemikiran sekuler dan melupakan ibadah.
Atas hal ini dia pun mendirikan HMI sebagai wadah perjuangan dalam kerangka Islam, keindonesiaan, dan nonpolitik.
Film “Lafran” disutradarai oleh Faozan Rizal dan diproduseri Avesina Soebli dan Deden Ridwan.
Film berdurasi 1 jam 39 menit ini diperankan aktor/aktris ternama Indonesia, di antaranya Dimas Anggara, Mathias Muchus, Tanta Ginting, Lala Karmela, dan sejumlah aktor/aktris Indonesia lainnya.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai sosok tokoh pendiri HMI ini, berikut ini biografi singkat Lafran Pane.
Biografi Lafran Pane
Prof. Drs. Lafran Pane lahir pada 5 Februari 1922 di Padang Sidempuan, Angkola (saat ini Kabupaten Tapanuli Selatan), Keresidenan Tapanuli.
Lafran Pane merupakan anak keenam keluarga Sutan Pangurabaan Pane dari istri yang pertama.
Ia adalah anak bungsu dari enam bersaudara, yang mana memiliki dua orang kakak tokoh sastrawan Indonesia, Sanusi Pane dan Armijn Pane.
Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane merupakan seorang wartawan, penulis, aktivis politik Partai Indonesia (Partindo), hingga termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Kakek Lafran Pane pun seorang ulama bernama Syekh Badurrahman Pane.
Berasal dari keluarga tokoh muslim, turut mempengaruhi latar pendidikan Lafran Pane.
Lafran Pane mengawali pendidikan sekolah dari Pesantren Muhammadiyah Sipirok. Namun, dia sering berpindah sekolah sejak jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Ia pun melanjutkan pendidikan sekolah kelas 7 di HIS Muhammadiyah.
Lafran Pane lantas mengenyam pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Kemudian sebelum tamat dari STI, dia pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada 1948, yang diintegrasikan ke dalam Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1949 setelah dinegerikan.
Tercatat sejarah UGM sebagai salah satu mahasiswa yang pertama kali lulus meraih gelar sarjana pada 26 januari 1953, Lafran Pane pun tercatat sebagai salah satu sarjana ilmu politik pertama di Indonesia.
Rekam Jejak Lafran Pane
Wawasan dan intelektual Lafran Pane, khususnya dalam keislaman modern, sudah mulai berkembang sejak ia mengenyam pendidikan tinggi di STI.
Setelah pindah ke UGM, wawasan dan intelektual keislaman modern Lafran Pane semakin kuat.
Hingga kemudian Lafran Pane menginisiasi berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 5 Februari 1947.
Lafran Pane mendirikan HMI dengan gagasan awal untuk “mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam”.
Gagasan ini dianggap sebagai jalan tengah dialektika wacana kebangsaan dan keislaman yang sebelumnya telah dibahas sejumlah tokoh muslim Indonesia, seperti H.O.S Tjokroaminoto dan M. Natsir.
Lafran Pane kemudian menjadi ketua HMI pertama pada Februari 1947 hingga 22 Agustus 1947, dengan wakilnya Achmad Tirtosudiro (Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI ke-11).
Lahirnya HMI ini menjadi bukti kuatnya Lafran Pane dalam menjaga prinsip dan idealismenya sebagai aktivis. Bahkan, karakter tersebut sudah terlihat sejak ia remaja saat dia bergabung di Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) bersama D.N Aidit saat berada di bangku SLTA.
Usai berhasil menguatkan prinsip dasar HMI dan membuat organisasi Islam tersebut semakin dikenal luas, Lafran Pane lantas kembali ke dunia pendidikan dengan menjadi pengajar di sejumlah perguruan tinggi.
Lafran Pane tercatat pernah mengajar sebagai dosen di IKIP Yogyakarta, UGM, UII, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hingga Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dedikasinya terhadap dunia pendidikan, membuat Lafran Pane dinobatkan sebagai Guru Besar (Profesor) Ilmu Tata Negara di IKIP Yogyakarta pada 1966.
Setelah mendedikasikan hidupnya dalam dunia aktivis pergerakan, pemikiran keislaman modern, hingga dunia pendidikan, Lafran Pane wafat pada 25 Januari 1991 di Yogyakarta pada usia 68 tahun.
Atas jasanya yang besar terhadap bangsa Indonesia dengan menanamkan semangat membela negara, cinta tanah air, serta semangat persatuan kepada kelompok mahasiswa dan masyarakat umum, Lafran Pane lantas dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 2017 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Penulis: Bintang Pamungkas
Editor: Dipna Videlia Putsanra