tirto.id - Alkisah Joko Nugroho, warga Tebet, Jakarta Timur, sukses setelah merantau di Ibukota selama lebih dari 10 tahun. Pada lebaran kemarin, dia mudik ke kampung halamannya di Yogyakarta. Saat berkumpul dengan keluarga besar, Joko pun bercerita tentang kisah suksesnya di Jakarta.
Salah seorang saudara jauhnya mendengarkan kisah sukses itu dengan hikmat. Dia pun lantas meminta Joko untuk mengajaknya ke Jakarta usai lebaran. Katanya, dia mau mencari kesuksesan seperti Joko. Ari, pemuda berusia 30 tahun, akhirnya tiba di Jakarta. Ia ingin merajut mimpi di ibukota, untuk mengulang sukses saudaranya.
Kisah seperti itu tentu bukan satu atau dua kali saja terjadi. Mungkin pada waktu bersamaan, 17 juta pemudik juga memiliki cerita yang serupa. Mereka yang sukses akan bercerita tentang bagaimana memenangkan pertarungan di ibukota yang konon katanya lebih kejam dari ibu tiri. Tentu tidak sedikit pula kerabat atau tetangga mereka yang terinspirasi dengan kisah sukses itu. Hanya bermodal nekat, banyak yang akhirnya memutuskan hijrah ke Jakarta pascalebaran. Satu impian pun mulai dirajut : sukses.
Fenomena itu sudah umum. Lumrah. Tiap tahun selalu saja begitu. Saking seringnya, pemerintah DKI Jakarta selalu kehabisan akal untuk menghadapi para pendatang baru itu. Tak jarang pemerintah memulangkan para pendatang baru yang sebagian besar memang belum memiliki tujuan yang jelas.
Pada 2016, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok pun sudah jauh-jauh hari mewanti-wanti. Dia tidak melarang pendatang. Ahok hanya menegaskan, yang penting pendatang baru memiliki tempat tinggal. Meski begitu, Ahok juga tidak akan melakukan operasi yustisi seperti yang sudah pernah dilakukan gubernur-gubernur sebelumnya.
"Saya tidak masalah ada pendatang, namanya juga ibu kota. Yang penting jangan tinggal di tempat kumuh dan bangunan liar. Kalau tinggal di tempat kumuh dan bangunan liar, akan kami tertibkan dan kami minta kembali ke kampung," kata Ahok seperti dilansir Antara.
Pemprov DKI Jakarta sendiri sudah memperkirakan akan ada 70.000 pendatang baru ke Jakarta usai lebaran. Angka itu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi, banjir pendatang baru itu tidak dibarengi dengan pertumbuhan industri dan lapangan pekerjaan yang tersedia di Jakarta.
Data statistik pemerintah provinsi DKI Jakarta menunjukan dari tahun ke tahun jumlah perusahaan dan industri di DKI Jakarta mengalami penurunan. Pada tahun 2007 ada 2.566 industri, jumlah itu menurun menjadi 1.866 pada 2008, 1.69 pada 2009, 1.588 pada 2010, 1.451 pada 2011, 1.410 pada 2012, dan 1.242 pada 2013.
Tren penurunan jumlah perusahaan dan industri di Jakarta berdampak pada pada penurunan jumlah lapangan pekerjaan di Jakarta. Data Bappenas menunjukan pertumbuhan lapangan kerja di Jakarta dari tahun ke tahun tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah pencari kerja.
Pada tahun 2011, ada 10.245 pencari kerja di Jakarta, namun lowongan pekerjaan yang ada hanya mampu menampung 1.242 saja. Pada tahun 2012 jumlah pencari kerja meningkat menjadi 16.180 orang, tetapi jumlah lapangan pekerjaan yang ada hanya 14.767 saja. Pada 2013 jumlah pencari kerja semakin meningkat menjadi 21.537 orang. Mirisnya, jumlah lapangan pekerjaan justru anjlok, hanya 7.744 lapangan pekerjaan. Dipastikan 13.793 orang menganggur. Pada tahun 2014 pencari kerja makin naik menjadi 26.509, padahal hanya ada 10.860 lapangan kerja. Lagi-lagi ada 15.649 orang yang tidak kebagian pekerjaan.
Tanpa Skill Harap Menyingkir
Tren menurunnya jumlah industri dan tidak seimbangnya lapangan pekerjaan dengan pencari kerja di Jakarta menjadi catatan penting. Minimal, memberikan gambaran bahwa untuk menorehkan kisah sukses dan mengubah nasib tidak mudah. Ada persaingan yang harus dihadapi. Untuk memenangkan persaingan ini dibutuhkan skill atau keahlian, bukan sekadar modal nekat tanpa perhitungan.
Berdasarkan data BPS, ada sembilan sektor pekerjaan yang ada di Jakarta yang menggambarkan kebutuhan skill untuk bersaing mendapat pekerjaan. Pertama pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan; kedua Pertambangan dan Penggalian; ketiga Industri Pengolahan; keempat Listrik, Gas dan Air; kelima Bangunan; keenam Perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel; ketujuh Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi; kedelapan Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan, dan kesembilan Jasa Kemasyarakatan.
Data BPS menunjukan jumlah pekerja di sembilan sektor lapangan pekerjaan di Jakarta yang naik turun. Di sektor Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan di Jakarta terjadi penurunan jumlah pekerja. Pada tahun 2014 ada 12.612 pekerja di sektor tersebut. Namun pada tahun 2015, jumlah pekerja turun menjadi 9982. Di sektor Industri Pengolahan juga terjadi penurunan. Pada tahun 2014 tercatat ada 572.658 pekerja, namun pada 2015 menurun menjadi 565.169 pekerja. Pada sektor Jasa Kemasyarakatan pun demikian. Pada tahun 2014 ada 983.436 pekerja, menurun pada tahun 2015 menjadi 980.652 pekerja.
Sementara itu di sektor Pertambangan dan Penggalian justru mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 ada 12.683 pekerja, meningkat menjadi 27.181 pada tahun 2015. Tidak hanya itu, di sektor Bangunan jumlah pekerja juga meningkat. Pada tahun 2014 hanya 194.767 pekerja meningkat menjadi 208.447 pekerja pada tahun 2015. Pada sektor Perdagangan besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 ada 770.948 pekerja, pada tahun 2015 meningkat menjadi 784.133 pekerja.
Sektor Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi juga mengalami peningkatan dari 283.727 pada tahun 2014 menjadi 307.034 pada tahun 2015. Sayang jumlahnya fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada Sektor Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 ada 397.289 pekerja, pada tahun 2015 menjadi 442.516 pekerja. Lagi-lagi jika dilihat dari tahun 2011, jumlah pekerjanya cenderung fluktuatif.
Sektor Listrik, Gas dan Air adalah sektor yang sejak tahun 2012 mengalami peningkatan jumlah pekerja. Pada tahun 2012 ada 6.107 pekerja, pada tahun 2013 menjadi 6.825 pekerja. Pada tahun 2014 mengalami lonjakan besar menjadi 16.835 pekerja. Pada tahun 2015 pun kembali meningkat menjadi 19.820 pekerja.
Dari data jumlah pekerja sembilan sektor itu maka terpetakan lapangan usaha yang banyak menerima pekerja adalah sektor listrik, gas dan air. Hal itu terlihat dari tren peningkatan tiap tahunnya. Selain itu juga ada sektor Pertambangan dan Penggalian yang mengalami tren positif. Sektor itu pun diprediksi akan membutuhkan lebih banyak pekerja pada tahun 2016.
Jika setelah lebaran Anda, saudara atau tetangga Anda akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta, baiknya mempertimbangkan skill dan kemampuan untuk bersaing dengan 70.000 pendatang baru. Karena bukan Anda saja yang ingin sukses, ada puluhan ribu orang yang juga berpikir sama : ingin pulang kampung lebaran tahun depan dengan kisah sukses. Tentu tak ada salahnya mencoba. Silakan saja.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti