tirto.id - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menunggu proses hukum inkrah terkait status tersangka Ketua DPR Setya Novanto sehingga menganut prinsip asas praduga tidak bersalah, menurut Ketua MKD M Syafii.
"Kami kan sudah punya mekanisme sendiri, punya standar prosedur bahwa seorang tersangka harus menunggu proses hukum yang final," katanya di Jakarta, Senin (17/7/2017).
Dia mengatakan seorang yang ditetapkan sebagai tersangka bisa bebas melalui mekanisme praperadilan.
Politisi Partai Gerindra itu mengatakan setelah Novanto jadi tersangka, yang bersangkutan masih menjadi Ketua DPR karena menggunakan asas praduga tidak bersalah.
"Kalau status tersangka, kami menggunakan asas praduga tidak bersalah, tapi kalau sudah mulai terdakwa baru diproses," ujarnya, seperti dikutip dari Antara.
Wakil Ketua MKD Sarifudin Sudding mengatakan dalam kasus Novanto sudah masuk ranah hukum, sehingga MKD melihat proses perkembangannya di KPK.
Menurut dia, MKD akan memantau dan meminta keterangan dari KPK tentang status Novanto secara resmi yaitu pernyataan tertulis dari KPK terkait penetapan status Novanto tersebut.
"Tidak mungkin kami mengambil rujukan dari media televisi sehingga kami akan konfirmasi ke KPK karena sudah ranah hukum," katanya.
Pada Senin (17/7/2017), Ketua DPR RI Setya Novanto akhirnya ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP.
"KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).
Menurut Agus, Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi. Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan. Setnov, panggilan akrab Setya Novanto, diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Setnov disangkakan melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia terancam pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri