tirto.id - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono membuka jalan koalisi dengan Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto untuk menghadapi Pemilu Presiden 2019. Sinyal untuk berkoalisi dengan Gerindra itu agaknya berkebalikan dengan sejumlah kader di beberapa daerah.
Muhammad Zainul Majdi, misalnya. Lelaki yang karib disapa Tuan Guru Bajang (TGB) ini memilih untuk mendukung Joko Widodo kembali menjadi presiden. Dukungan ini disampaikan TGB pada awal Juli lalu.
Dukungan ini mendapat respons keras dari sejumlah elite Demokrat. Salah satunya dari Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat Agus Hermanto yang menyatakan Gubernur NTB dua periode itu bakal terkena sanksi karena mendahului keputusan partai. Sebelum sanksi diterima, TGB lebih dulu mengundurkan diri dari jabatan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat pada 19 Juli 2018.
Selepas TGB, suara mendukung Jokowi disampaikan DPD Demokrat Jawa Timur melalui ketuanya Soekarwo pada 21 Juli 2018. Hal itu didasarkan masukan kader dalam Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda).
Meski belum resmi, perbedaan dukungan ini memperpanjang cerita yang sempat terjadi saat Pilgub DKI 2017. Saat itu, anggota DPRD Jakarta Hasnaeni Moein dan anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul memilih mendukung Ahok-Djarot meski partainya mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni. Ujung dari perbedaan sikap ini adalah pemecatan keduanya.
Riskan Kedodoran di Pemilu 2019
Perbedaan sikap semacam itu dinilai riskan bagi perolehan Demokrat pada Pemilu Legislatif 2019. Direktur Populi Centre Usep S. Ahyar mengatakan risiko itu didasarkan pada pelaksanaan pileg dan pilpres yang dilaksanakan berbarengan. Kondisi ini menuntut soliditas partai guna memperoleh suara tinggi.
“Kalau tidak solid, ya, bakal kedodoran suara di pileg,” kata Ahyar kepada Tirto, Rabu (25/7/2018).
Selain waktu pelaksanaan, Usep mendasarkan analisisnya pada sosok yang memberikan dukungan kepada Jokowi. Sosok tersebut dianggapnya punya basis massa yang cukup kuat di wilayahnya. TGB, misalnya, kata Ahyar, terbukti mampu menang dua kali dalam Pilgub NTB dan kini mempunyai elektabilitas tinggi di tingkat nasional.
“TGB bisa disebut aset Demokrat buat menggaet suara muslim di Pileg dan Pilpres,” kata Ahyar.
Penilaian Ahyar soal TGB berkorelasi dengan Hasil survei Indikator Politik periode 25-31 Maret 2018 dan Polcomm Institute periode 18-21 Maret 2018. Pada survei Indikator, TGB menempati urutan ke-5 sebagai capres favorit dengan elektabilitas 0,7%, unggul dibandingkan AHY yang menempati urutan ke-8 dengan elektabilitas 0,6% dari 1.200 responden yang disurvei.
Sementara pada survei Polcomm Institute, TGB menempati urutan keempat sebagai capres favorit dengan memperoleh 1,75% dan AHY menempati urutan keenam dengan memperoleh 0,75% dari 1.200 responden yang disurvei.
Pendapat berbeda disampaikan peneliti politik dari SMRC, Sirojuddin Abbas. Menurut Sirojuddin, partai yang sudah melewati tiga kali pemilu punya pengalaman untuk membuat kadernya tetap solid dan dapat menghasilkan suara maksimal. Dalam konteks ini, Demokrat adalah salah satunya.
Pada sisi lain, Demokrat adalah partai yang kadernya punya kecenderungan mengagumi sosok SBY, sama seperti kader PDIP terhadap Megawati Soekarnoputri.
“Saat ini mungkin masih berbeda sikapnya, tapi nanti ketika SBY benar-benar memutuskan satu dukungan, tentu kadernya akan mengikuti,” kata Sirojuddin kepada Tirto.
Sirojuddin menilai keputusan SBY merapat ke Gerindra sudah tepat, lantaran keinginan Demokrat untuk mengusung AHY sebagai cawapres lebih mungkin terwujud ketimbang bergabung ke koalisi pendukung Jokowi. “Kalau di koalisi Jokowi, mereka tak ubahnya partai lain saja,” kata Sirojuddin.
Dengan posisi PKS dan PAN yang saat ini masih setengah hati mendukung Prabowo, Sirojuddin menilai, Demokrat berpeluang menjadi partai pertama di koalisi. “Sekarang kalau dilihat posisi PAN dan PKS yang terkunci dengan SBY membuka lebar pintu koalisi,” kata Sirojuddin.
Demokrat Yakin Solid
Analisis mengenai potensi perpecahan di internal Demokrat lantaran adanya kader daerah dan pengurus pusat yang berbeda sikap dianggap Ketua Dewan Pembina Demokrat Agus Hermanto sebagai hal biasa. Ia memastikan partainya tetap solid di Pemilu 2019 mendatang.
“Nanti kalau sudah ada keputusan resmi dari pimpinan, semuanya ikut,” kata Agus, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat.
Agus menyatakan perbedaan sikap yang terjadi saat ini bukan berarti pembelotan. Ia menyebut SBY memang membuka diri kepada seluruh kadernya untuk menyuarakan aspirasinya sebelum ada keputusan resmi.
“Semua ketua DPD sudah dipanggil Pak SBY untuk dimintai pendapat,” kata Agus.
Sementara terkait mundurnya TGB, Agus menilai hal itu tidak akan berpengaruh kepada suara Demokrat secara nasional lantaran suara partai tidak hanya ditentukan satu dua orang saja.
Keyakinan Agus ini berbanding lurus dengan pernyataan Sekretaris DPD Demokrat Jatim Renvile Antonio. Menurutnya, keputusan Rakorda mendukung Jokowi hanya sebagai usulan kepada DPP Demokrat.
“Wilayah lain juga ada yang dukung Prabowo, kok. Misalnya, di Maluku, Jakarta, Sulsel, itu dukung Prabowo,” kata Renvile kepada Tirto.
Renvile berkata kader partai wajib mematuhi keputusan DPP dalam menentukan dukungan ke kandidat tertentu saat Pilpres 2019. Sehingga sampai saat ini, DPD Demokrar Jawa Timur masih menunggu keputusan resmi SBY.
“Kami ini partai, bukan relawan. Jadi harus taat keputusan pimpinan. Kader-kader Jatim saya pastikan nanti manut,” kata Renvile.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih