tirto.id -
Hendrawan menyatakan, hambatan itu bukan dari pihak koalisi Jokowi, melainkan menurutnya berasal dari internal Demokrat sendiri, terutama perihal ekspektasi menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.
Menurut Hendrawan, tawaran Demokrat menjadikan AHY sebagai cawapres terlalu tinggi buat disepakati partai-partai pendukung Jokowi lainnya. Sehingga, pada akhirnya komunikasi tidak berlanjut.
"Kondisi ekspektasi berlebihan ini menjadi lebih nyata karena Demokrat pernah menjadi partai terbesar ada sedimentasi emosional kalau bahasa negatifnya ada sindrome, tapi kami menyebut ada sedimentasi emosional partai terbesar," kata Hendrawan, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/7/2018).
Padahal, kata Hendrawan, andaikata Demokrat tidak mematok harus AHY yang jadi cawapres, komunikasi politik antara partai pengusung Jokowi dengan partai berlambang mercy tersebut bakal terus berlanjut.
"Itu sebabnya saya selalu mengatakan, kalau ingin mendekati koalisi Pak Jokowi ya, jangan kalkulatif jangan transaksional utamakan komitmen dulu, niat tulus dulu. Niat tulus melahirkan komitmen," kata Hendrawan.
Hal ini, kata Hendrawan, berbeda dengan PDIP yang sejak awal tulus mendukung Jokowi. Salah satunya dengan merelakan 109 kursi yang diperoleh di 2014 sebagai modal awal mantan Wali Kota Solo tersebut maju di Pilpres 2019.
Semalam, Selasa (24/7/2018), usai melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, SBY mengaku pernah melakukan pertemauan dengan kubu Jokowi. Namun, akhirnya komunikasi terhenti lantaran ada hambatan.
"Pak Jokowi juga berharap Demokrat di dalam. Namun saya menyadari banyak sekali rintangan dan hambatan untuk koalisi itu," ujar SBY dalam jumpa pers usai bertemu Prabowo di kediamannya Jalan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (24/7/2018).
SBY dalam kesempatan itu juga menyatakan terbuka lebar jalan bagi Demokrat berkoalisi dengan Gerindra di Pilpres 2019.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yulaika Ramadhani