Menuju konten utama
Misbar

Serial Ms. Marvel Tetap Melesat, Meski Landasannya Tak Mulus

Penggarapan serial Ms. Marvel tak bebas dari cela, tentu saja. Namun, ia tetap layak mendapat musim kedua dengan cerita dan villain yang lebih bermutu.

Serial Ms. Marvel Tetap Melesat, Meski Landasannya Tak Mulus
Film Ms. Marvel. FOTO/Disney+ Hotstar

tirto.id - Serial televisi tentang superheroine muslim pertama di semesta Marvel akhirnya tayang di Disney+ sejak 8 Juli lalu. Tak sampai sepuluh tahun sejak debutnya di komik, karakter Kamala Khan sebagai Ms. Marvel kini bergabung dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) Fase Keempat.

Selama enam minggu penayangannya, Ms. Marvel diwarnai keriuhan di media sosial. Dari mulai soal rating opening terendah di antara serial Marvel lain (banyak pihak yang menuding waktu penayangan yang bersamaan dengan serial Obi-Wan Kenobi sebagai biangnya), review bomb bermotif rasial, hingga munculnya polemik menyoal asal-usul Kamala ketika serial mencapai season finale.

Soal perdebatan asal-usul sang superhero—yang dikonfirmasi sebagai mutan pertama di MCU, alih-alih inhuman seperti di komik, barangkali bisa dikesampingkan sepenuhnya sebagai kegiatan pengisi waktu para fan fanatik. Lagi pula, medium live-action—entah itu film atau serial televisi—tentu tak mesti 100 persen mengikuti source material-nya. Ingat, meski berangkat dari motif berbeda, Marvel pun sebelumnya telah mengutak-atik asal-usul Wanda dan Pietro Maximoff?

Kendati demikian, perubahan-perubahan lainnya dari versi komiknya tetap saja menjadi sorotan fan.

Melipir dari Komik

Secara keseluruhan, serial ini tampak paling banyak mengacu pada komik pertama Ms. Marvel rekaan Sana Amanat, Gwendolyn Willow Wilson, dan seniman komik Adrian Alphona yang terbit pada 2013.

Ada modifikasi yang lebih sepele seperti perubahan sosok Aamir Khan, abangnya Kamala, yang kini tak sekaku dalam komik. Begitu pula penggambaran sahabat Kamala, Bruno Carrelli, yang sejatinya berasal dari keluarga Italia-Amerika dan berbagi nasib serupa dengan Kamala sebagai keturunan imigran.

Serial Ms. Marvel lantas mengambil cerita dan poin-poin dari komik orisinal itu dengan beragam perubahan, semisal adaptasi nama Ms. Marvel yang sebelumnya digunakan Carol Danvers, konflik pertemanan dengan Nakia, atau sosok Kamran yang nyaris sepenuhnya mengambil jalan berbeda, bahkan tak bisa dibilang menjadi antagonis sepenuhnya.

Sektor yang mengalami perubahan drastis ialah perubahan kekuatan Kamala dan bagaimana dia memperolehnya. Di serial, kekuatan Kamala tak diaktifkan oleh kabut hijau misterius (Terrigen Mist) sebagaimana yang biasa terjadi pada karakter-karakter inhuman, melainkan oleh artefak mistis. Ini lantas diikuti dengan perubahan kekuatan morfogenetis (manipulasi bentuk dan ukuran tubuh), barangkali demi menghindari kesamaan visual dengan Mr. Fantastic. Wujud kekuatan itu pun digantikan dengan visual energi padat berwarna ungu yang terasa lebih generik.

Dalam komik orisinalnya, Ms. Marvel menjadi semacam suara bagi generasinya (Gen Z) yang kerap dipandang sebelah mata oleh generasi-generasi yang lebih senior. Namun, hal itu tidak—atau belum—tercapai dalam serial sejauh ini.

Friendly Neighborhood Superheroine

Dalam kisah yang dituliskan ulang oleh Bisha K. Ali, kita masih mendapatkan kesan Ms. Marvel yang berbagi kesamaan dengan Spider-Man sebagai superhero remaja sekaligus jagoan di kawasan mereka tinggal. Spider-Man di New York, sementara Kamala di New Jersey.

Kisah Kamala sendiri berkitar di dunia pasca-Blip, selepas konflik besar di film Endgame. Kemanusiaan tampak sudah pulih dan dampak Blip bahkan sama sekali tak disinggung.

Kamala adalah seorang perempuan remaja dari keluarga imigran Pakistan, seorang geek yang memproduksi konten Youtube seputar Avengers dengan Captain Marvel sebagai jagoan favoritnya. Kisahnya ditopang visual yang indah pula kekinian. Teks obrolan di ponsel ditampilkan “nyeni” di layar, demikian pula pengantar serupa doodle dan grafiti bergerak seiring vibran warna neon di Jersey City. Musik-musik populer mengalun sepanjang seri, tak lupa bebunyian atau lagu dengan unsur-unsur musik Asia Selatan.

Para sineas Ms. Marvel agaknya berupaya keras menuturkan saga yang keluar dari pakem MCU. Sebuah upaya untuk tampil beda agar tak formulaik dan klise. Upaya itu tentu patut diapresiasi, tapi di lain sisi, ia juga kerap mendatangkan masalah.

Dalam saga kelahiran superhero baru, kita lazimnya disuguhi seorang jagoan pemula yang memberantas kejahatan remeh maupun penyelamatan skala kecil—sesuatu yang kemudian turut mengangkat namanya sendiri. Namun, serial Ms. Marvel tidak demikian.

Ms. Marvel tak banyak melakukan aksi semacam itu. Dia tidak melawan manusia berkepala burung yang mengeksploitasi anak-anak, tak juga bisa dibilang sebagai penyuara keresahan generasinya. Dia bahkan tak menghadapi villain yang serius.

Pendekatan ini pada akhirnya malah membuat tokoh antagonisnya terasa hadir dengan motif dan aksi yang kurang memenuhi potensi mereka. Najma dan The Clandestine alias grup para Djinn (yang bukanlah jin sesungguhnya), misalnya, tewas begitu saja setelah puluhan tahun teguh berpegang pada misi untuk pulang ke dunia mereka. Sementara itu, Damage Control justru tampak seperti kroco, meski telah diperkuat senjata energi.

Seorang superhero hampir pasti selalu punya “slogan” khas. Bagi Ms. Marvel slogan itu adalah seruan “embiggen” setiap kali hendak beraksi. Dalam serial, slogan embiggen itu baru dimunculkan di episode terakhir.

Cara ini dapat dinalar sebagai upaya untuk menyampaikan proses menjadi superhero yang mengklimaks dan itu bukan sesuatu yang buruk. Namun, menurut saya, cara ini seakan menutup ruang perihal apa saja yang mampu dilakukan Ms. Marvel—kalau bukan minim gagasan untuk mendemonstrasikan macam-macam kekuatannya.

Sebagai protagonis utama, adalah hal wajar jika serial ini menjadikan pergulatan Kamala dengan kekuatan barunya sebagai sentral cerita. Tak sekadar itu, Ms. Marvel melampaui hal itu dengan menyuguhkan juga soroton untuk drama dan interaksi antarkarakter lain.

Lagi-lagi, itu adalah upaya yang patut diacungi jempol. Namun, ada kalanya Kamala justru tak menjadi protagonis untuk kisahnya sendiri. Misalnya saat Kamala terlempar ke India 1940-an, di tengah berlangsungnya peristiwa Partisi antara India dan Pakistan. Selama setengah episode, dia seolah menjadi sekadar pengantar bagi kisah Aisha, nenek buyutnya.

Dalam kelanjutan aksinya di Pakistan, Kamala pun sepertinya melanggar ketentuan time-traveling di MCU (TVA maupun Kang the Conqueror mungkin punya beberapa hal yang perlu dibicarakan dengannya). Dan jangan lupakan kejanggalan adegan di stasiun. Di tengah sesak keramaian orang-orang yang berbondong-bondong meninggalkan India, sama sekali tak ada yang menyadari seorang perempuan muda mengeluarkan energi ungu nan vibran dari tangannya. Kok bisa?

Itu baru pertanyaan pertama.

Padat Teka-teki

Kisah Partisi, jika sedemikian krusial bagi keseluruhan bangun cerita, barangkali bisa diperdalam di musim berikutnya. Itu sekalian mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan semacam: Atas dasar apa Aisha dianggap aib keluarga? Bagaimana dengan latar cerita bangle yang dikenakan Kamala? Apa bedanya memiliki satu atau sepasang bangle?

Tanpa kisah Partisi pun, musim pertama Ms. Marvel sudah padat oleh teka-teki—yang akan saya coba jawab sendiri, meski terdengar tak memuaskan.

Pertama, mengapa Najma tidak merampas bangle kepunyaan Kamala ketika sang superhero berada di rumah mereka? Saya tak punya jawaban yang lebih baik, selain untuk kepentingan dramatis, yaitu menciptakan kaos di acara terpenting dalam hidup Aamir.

Kedua, dari mana kekuatan Kamran berasal? Apakah jawabannya sekadar "dari ibunya yang tak terlihat memiliki kekuatan super, tapi bisa mentransportasikan energi ke Kamran yang berada jauh di ruangan berbeda"?

Ketiga, mengapa pula Najma menutup selubung menuju dimensinya, sementara dia berupaya mati-matian untuk pulang ke sana selama puluhan tahun? Andaikanlah perkataan Kamala pada momen genting itu sukses membangkitkan sisa kebajikan atau keibuan Najma terhadap Kamran (anak yang hendak ditinggalkannya begitu saja di dimensi lain). Untuk perkara ini, kita bisa mengaitkannya dengan kebiasaan Marvel mengaburkan villain mereka dengan karakteristik antivillain—dalam hal punya setitik kebaikan atau tujuan mulia/netral dengan cara yang keliru dari perspektif the greater good yang lazim mereka usung.

Keempat, entah memang tak dijelaskan atau saya melewatkannya, bagaimana juga para Clandestine ini bisa tiba di dimensinya Kamala?

Selain itu, masih ada pertanyaan tak penting: Ke mana lubang yang diciptakan Kamala (pada episode finale) berujung? Dari Jersey City tembus ke Pakistan ataukah menuju gorong-gorong yang memungkinkan Kamran muncul di pelabuhan untuk menumpangi kapal ilegal? Ataukah tempat sembunyi sementara saja selama Kamala membereskan pasukan Damage Control?

Infografik Misbar MS Marvel

Infografik Misbar MS Marvel. tirto.id/Quita

Tetap Layak Dapat Musim Kedua

Terlepas dari kelemahan dan teka-teki itu, Ms. Marvel toh tetap memiliki percikan-percikan positifnya. Visualnya tentu menjadi aspek paling menonjol. Selain yang sudah dituliskan di atas, serial ini punya nuansa berkesan enerjik yang mengingatkan pada film-film Edgar Wright, khususnya Scott Pilgrim Vs. The World (2010).

Ms. Marvel setidaknya menampilkan kritis dan progresifnya Nakia ("sejarah ditulis opresor!"), kegeniusan Bruno, sekaligus mempertahankan penjelasan-penjelasan saintifik yang juga hadir dengan porsi layak seperti dalam komiknya.

Ada pula anasir-anasir sosio-teknologi terkini seperti Tiktok, nafsu meraih likes, serta media sosial sebagai penyebar kabar kesewenang-wenangan aparat tercepat. Begitu pula soal prasangka dari aparat terhadap golongan minoritas. Dan kendati disederhanakan sebagai kisah pelarian dari villain, ada edukasi ihwal sejarah Partisi Pakistan-India serta dampak meluas dari kolonialisme bagi warga biasa. Jika Kerajaan Inggris layak menerima cercaan atas kebijakan-kebijakan cerobohnya di masa lalu, yang pantas untuk menyampaikannya tentulah orang-orang Pakistan atau India.

Salah satu pendekatan berbeda dari komik yang berhasil adalah bagaimana Kamala beberapa atributnya dari orang-orang terdekatnya. Misalnya, pemilihan nama Ms. Marvel yang disampaikan dengan romantis—bahwa ada andil yang tak kecil dari orang-orang terkasih di balik suksesnya seorang pahlawan super.

Dari sisi penokohan, Iman Vellani jelas adalah Kamala Khan. Hanya dalam satu season, rasanya sulit melihat karakter ini diperankan aktor lain. Aktor asal Kanada ini sukses menampilkan karakter remaja biasa dengan segala permasalahannya—kendati tak punya skill khusus layaknya Kate Bishop, tapi tetap mampu menjadi superhero.

Dan yang terakhir pula terpenting, tentu perkara representasi. Serial atau film dengan protagonis atau mayoritas karakternya muslim tentu bukan barang baru, tapi untuk pasar seluas MCU, kita baru mendapatinya di Ms. Marvel. Selama beberapa dekade, penonton kerap disuguhi penokohan Arab, muslim, atau bahkan yang menyerupainya sebagai penjahat. Ms. Marvel seolah menjadi jawaban untuk trope usang itu—menjadi tontonan yang bagi sebagian kalangan tak ubahnya selebrasi.

Secara keseluruhan, Ms. Marvel adalah tontonan yang bisa lebih dinikmati tanpa banyak mikir, pula bisa diikuti penonton baru yang sama sekali tak menyimak mitologi MCU. Dengan deretan celanya, ia tak bisa ditempatkan di ranking yang tinggi di antara serial Marvel lainnya. Pun tak sukses-sukses amat membalikkan anggapan luas ihwal permulaan MCU Fase Keempat yang "di bawah standar".

Saya mungkin akan tetap mengikuti kelanjutannya, dalam The Marvels (2023) atau season berikutnya, untuk sekadar melihat serial ringan dengan visual yang segar atau mengikuti kiprah Kamala bergabung dengan Young Avengers dan gambar besar semesta Marvel. Juga satu hal yang penting, Kamala alias Ms. Marvel layak menghadapi musuh-musuh yang ditulis dengan baik dalam kisah yang pantas.

Baca juga artikel terkait SERIAL TV atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi