Menuju konten utama
Misbar

Silo, Eratnya Simpul Misteri 144 Lantai ke Bawah Tanah

Silo mengeksplorasi kehidupan dunia bawah tanah yang diatur kelompok penguasa otoriter. Menyajikan ketegangan, misteri, dan drama dalam porsi yang pas.

Silo, Eratnya Simpul Misteri 144 Lantai ke Bawah Tanah
Series drama SILO. (FOTO/tv.apple.com)

tirto.id - Silo merupakan struktur (lazimnya berupa menara berbentuk silindris) tempat hasil panen dan pakan ternak disimpan. Ia bisa juga berupa ruang bawah tanah tempat peluru kendali disiapkan untuk ditembakkan. Sebagai kata kerja, silo bermakna "memisahkan atau mengisolasi sebuah grup dari yang lain".

Ini lantas jadi definisi akurat dalam menggambarkan drama distopia sci-fi kehidupan bawah tanah berjudul Silo yang tayang di Apple TV+ sejak Mei lalu.

Satu tontonan yang cocok untuk para pemain gim seperti Fallout Shelter, penikmat film semacam City of Ember, atau siapa pun yang penasaran dengan kehidupan bawah tanah. Silo juga hadir dengan suasana yang familier. Ia mengingatkan kita pada nuansa serial distopia lain berjudul Snowpiercer, yang mengusung pengaruh peradaban Orwellian—warganya hidup di bawah pengawasan superketat laiknya despotisme di 1984, dilengkapi teknologi (komputer) bergaya retrofuturistik, begitu juga desain ruangan, dekor sampai pemilihan warnanya.

Bangunan di Silo sendiri menerobos ke dalam tanah sejauh 144 lantai dan dihuni lebih dari 10.000 jiwa. Sebuah komunitas yang menyimpan misteri, dan misteri, dan misteri. Beberapa di antaranya berhasil diuraikan Juliette Nichols (Rebecca Ferguson) selama sepekan menjadi sheriff di silo. Sebagian saja.

Konspirasi, Politik, dan (yang terpenting) Drama Memikat

"Kami tak tahu mengapa kami di sini. Kami tak tahu mengapa segala hal di luar Silo seperti itu."

Kata-kata itu, dengan segala variasinya, keluar berulang dari mulut beberapa karakter. Ketika kian repetitif dan datang dari figur otoritas, ia sudah bukan jadi ketidaktahuan atau bahkan penerimaan, melainkan propaganda.

Pokoknya, Silo dan kehidupan di dalamnya sudah seperti itu selama ratusan tahun. Lalu nyaris satu setengah abad sejak suatu pemberontakan terjadi, mereka yang berwenang—disebut Judicial—menuding para pemberontak berupaya menghapus sejarah.

Untuk mencegah pemberontakan pecah lagi, Judicial kini menangkap gambar dan suara dari tiap rumah warga. Mereka mengamati, menandai, dan melancarkan operasi klandestin pada warga yang dicurigai. Hanya mereka yang patuh yang diperbolehkan beranak-pinak.

Sebaliknya, mereka yang berani mempertanyakan kehidupan di luar Silo atau gencar berupaya menemukan kebenaran bakal dihapus perlahan.

Hidup di bawah kontrol serta pembatasan pengetahuan seperti itu tentu jadi resep yang pas untuk memantik perlawanan. Serial Silo berangkat dari sana, konspirasi yang melahirkan perlawanan, yang lantas berkembang menjadi lebih banyak hal lain.

Politik selalu menjadi napasnya. Para pemangku kebijakan dan penegak hukum menjustifikasi setiap langkah mereka (termasuk menahan laju progres teknologi) atas nama “kebaikan yang lebih besar”. Semua itu demi keteraturan dan tingkat survival banyak jiwa dalam Silo.

Karenanya, Silo lantas menjadi komentar sosio-politik yang disampaikan dengan pendekatan thriller dan tentu drama memikat berselubung misteri.

Mulanya, ia terasa seperti tontonan yang biasa-biasa saja. Diawali dengan sorotan terhadap Sheriff Holston Becker (David Oyelowo) yang sejujurnya bukan karakter menarik (tak banyak yang bisa dilakukan untuk karakter suami yang tak mendengarkan). Adapun penulisan kisahnya difungsikan sebagai pembuka jalan untuk poin plot yang lebih krusial, yaitu "pembersihan" alias hukuman untuk mereka yang mencari kebenaran dengan dikirim ke luar Silo selamanya.

Episode pembuka yang nyaris terasa datar itu serta-merta berubah ketika istri sang sheriff, Allison Becker (Rashida Jones), berjalan ke luar Silo dengan baju hazmat. Sembari tertatih menuju dunia luas, kameranya menyoroti dunia luar. Dia terjatuh lalu bangkit barang sebentar untuk terjatuh lagi hingga—diimplikasikan—mati.

Adegan itu disaksikan banyak warga Silo yang lambat laun seakan jadi pemandangan normal. Mereka bakal menyantap makanan di kafetaria, mengamati bintang, selagi “mayat” salah satu warga terpampang di display sepanjang waktu. Pemandangan brutal soal begitu mudahnya individu manusia terlupakan.

Karakter sebagai Pelayan Naratif

Adegan mula itu lantas jadi penting dan jadi penarik minat penonton untuk bertahan menonton kelanjutannya. Seperti itulah Silo lantas bergulir pada sembilan episode berikutnya. Strukturnya disusun untuk merangkul aksi dan reaksi terkait jejalan misteri. Pada episode yang hanya menghubungkan plot pun selalu ada kejadian penting.

Kreator serial ini jelas paham betul bagaimana menjaga minat penonton.

Karakter Sheriff Holston Becker lantas kembali menjadi pengantar bagi elemen lain dalam cerita. Kendatipun mudah terlupakan, pengaruhnya dalam cerita terus bertahan. Dalam satu sekuens, dia mengantarkan kita pada protagonis cerita yang sesungguhnya, karakter Juliette Nichols yang sosoknya memang menguarkan aura "jagoan yang sebenarnya".

Juliette tak hanya andal sebagai mekanik dan penjaga generator. Sebagai sheriff, dia pun cakap melakukan deduksi dan memahami arah investigasi maupun framing dan perangkap dari Judicial. Meski begitu, karakternya bukannya tanpa cela. Sebagai figur antihero yang sibuk menjalankan misi pribadi, Juliette tak segan memperalat orang-orang di sekitarnya.

Rebecca Ferguson jadi sosok yang pantas memimpin cerita, memancarkan spektrum emosi yang luas, sekaligus tetap menyatu dengan tensi dunia Silo. Ada pula Tim Robbins sebagai Bernard Holland (kepala IT, lalu Mayor) yang tak mudah ditebak polahnya.

Common sebagai Robert Sims barangkali menjadi yang paling lemah di antara kombinasi aktor-karakter. Di sebagian waktu, dia tampak tak meyakinkan. Untuk karakter yang sebenarnya menyimpan segudang potensi, pengembangannya malah kurang mantap.

Secara umum, seluruh karakter utamanya punya peran dan fungsi yang jelas. Setidaknya dalam menggulirkan plot.

Serial ini menjaga rahasianya selama lebih dari setengah season. Kita tak melihat ruling class yang biasa diantisipasi pada kisah serupa Silo lainnya. Semisal para penguasa yang sibuk berpesta saat rakyat biasa kesusahan untuk sekadar bertahan. Siapa yang sebenarnya mengontrol dan mengambil keputusan-keputusan besar disingkap perlahan dan itu tak jauh-jauh dari karakter-karakter yang telah beredar. Ini penting untuk menjaga kepadatan, membuat seluruh karakternya tetap signifikan.

Konspirasi perlahan disibakkan pada plot utamanya. Naratifnya disampaikan dengan berputar-putarnya kisah dari masa kini maupun backstory—yang diselipkan dengan mulus pula tak menjemukan.

Dengan runtime rata-rata sekitar 50 menit per episode, Silo punya cukup waktu untuk tak tergesa, tapi juga tak berlarut-larut. Semua pas belaka. Cukup waktu untuk membawa penonton menerobos jauh ke bawah tanah menuju Down Deep hingga mesin raksasa penggali Silo atau menyeruak ke atas menuju Up Top.

Orang-orang mengangkut masa lalunya masing-masing tatkala turun-naik tangga spiral di tengah Silo. Mereka menjaga ketat rahasia masing-masing sampai dipaparkan dalam twist atau trik dalam penulisan yang cukup mindblowing.

Hidup di bawah tanah tak pernah sesederhana di atas permukaan. Bagaimanapun, ini adalah tontonan yang mampu membuat sekuens perbaikan generator jadi seru pula dramatis.

Pada akhirnya, Silo menerangkan bahwa dunia tak hanya dihuni 10.000 jiwa tersisa. Silo yang dihuni Juliette hanyalah satu dari banyak silo lain di bagian lain Bumi. Ia terus memainkan perspektif manusia dalam urusan menerima mana yang benar mana yang bukan.

Infografik Misbar SILO

Infografik Misbar SILO. tirto.id/Ecun

Membangun Dunia sekalian Memelihara Rasa Penasaran

Sebelum serial ini, satu-satunya koneksi antara saya dan Silo hanyalah dalam serial drama komedi Entourage yang banyak menguliti kisah para aktor dan sineas di balik gemerlapnya Hollywood. Di sana, Silo sempat ditanggapi sebagai cerita atau skrip bermutu; the next big thing. Di dunia nyata, serial TV kreasi Graham Yost ini akhirnya menjadi adaptasi perdana—didasarkan pada Wool, buku pertama dalam seri Silo karangan Hugh Howey yang terbit pada 2011 lalu.

Saya tentu tak dapat mengukur seberapa banyak perubahan pada karakter maupun naratif, seberapa akurat penggambaran dalam serial Silo dengan materi sumbernya. Namun, dengan menontonnya, saya merasakan gairah kreator dalam penggarapannya, dengan perhatian pada detail demi menciptakan adaptasi yang pantas.

Pada bagian paling mendasar, kreator Silo mampu membuat gambaran peradaban bawah tanah yang tampak realistis. Silo menjelaskan cara kerja dunianya dengan worldbuilding yang terang dan disisipkan dengan cermat ke dalam plot. Lantai terdekat dengan permukaan hingga generator jauh di perut bumi dihubungkan tangga spiral raksasa di tengah Silo.

Kebutuhan mendasar manusia, salah satunya sumber pangan, digambarkan pada beberapa lantai. Sedangkan, apartemen dan ruang kerja bergaya brutalis dihiasi begitu banyak lampu yang pudar (tampak kurang realistis untuk efisiensi daya). Semuanya menunjukkan desain produksi yang serius.

Terdapat pula cuplikan kebudayaan di sana-sini, mulai dari prosesi pemakaman yang khas, kompetisi lari menaiki tangga, atau keriaan berupa pertunjukan teater dan musik di lorong-lorongnya.

Tentu bakal lebih menarik bila di season berikutnya ada pemekaran eksplorasi lebih lanjut soal kultur manusia bawah tanah—agama, pendidikan, atau bahkan pabrik penyulingan miras.

Saat ini, Silo sukses menjadi rumah besar bagi banyak misteri. Ada kesungguhan dalam menyajikan investigasi sebagai salah satu formula utama naratif, melibatkan elemen-elemen seperti pintu rahasia, sejarah yang dihapus, realitas yang direkayasa penguasa, serta perjuangan kaum pencari kebenaran. Dan misteri itu tak berhenti di sana.

Masih ada pertanyaan seputar Pact (set hukum dan regulasi yang berlaku di Silo), juga soal siapa itu para Listeners? Atau, apa alasan Judicial melarang warganya ke permukaan? Mengapa mereka bakal “mati” beberapa langkah setelah keluar dari Silo, dan banyak lagi. Saking banyaknya pertanyaan yang belum terjawab dalam Silo musim pertama ini (bagi kita yang belum membaca bukunya), mereka bahkan bisa dirangkum dalam satu artikel tersendiri.

Untuk beberapa hal yang sepertinya tak begitu esensial bagi plot, saya sendiri masih mempertanyakan apa makna desain tato Juliette? Apakah Silo adalah alegori bumi di alam semesta, bahwa di luar sana ada bumi-bumi lain? Atau, mengapa pula George Wilkins menginfokan bahwa pintu rahasia berhasil ditemukan, tapi dia tidak memberikan lokasi yang jelas kepada Juliette?

Yang terakhir barangkali demi menjaga kerahasiaan dan alasan dramatis, jika bukan kelemahan cerita. Pasalnya, Silo tenty bukannya tanpa kelemahan.

Fakta remeh bahwa Juliette dkk. dengan cepat menyusuri saluran sampah dari lantai 22 ke lantai 126, misalnya, bisa dilewatkan begitu saja. Namun, ada bagian-bagian yang lebih menyerupai plothole atau plot armor. Misalnya, saat Juliette berulang kali lolos dari kejaran Judicial. Sebagian di antaranya terjadi pada episode 8 ("Hanna"), yang lagi-lagi sebetulnya juga bisa terabaikan, lantaran episode yang sama ditutup dengan twist besar berupa penyingkapan antagonis cerita yang sebenarnya.

Sejumlah kejanggalannya memang tak begitu mengganggu bila melihat Silo secara keseluruhan. Ia tetap menegangkan di banyak waktu. Diarahkan setidaknya lima sutradara berbeda, season ini terasa tetap konsisten mengingat setiap episodenya sangat mungkin menghasilkan rasa dan kualitas yang berbeda, dengan nuansa masing-masing.

Tone serius sepanjang waktu juga ditopang score khas kisah beratmosfer thriller, kadang terkesan angker, oleh komposer Atli Örvarsson. Menyatukan berbagai suasana sekaligus menjaga banyak momennya tak melenceng dari warna theme song rekaannya untuk sekuens opening serial ini.

Season pertama Silo memberikan potensi untuk banyak arah penceritaan di masa depan, baik dalam alur sesuai materi sumbernya maupun tidak. Belitan kisah misteri yang cukup segar, dengan plot investigasi yang layak dengan kepenasaranan yang dipelihara. Menjelma fondasi sekaligus pengantar yang kuat, mendorong kita yang belum membaca untuk meraih seri bukunya atau tak sabar menantikan season keduanya berlanjut—contoh adaptasi cerita yang sukses.

Baca juga artikel terkait SERIAL TV atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi