tirto.id - Permukaan bumi tak lagi layak ditinggali. Ancaman radiasi yang mematikan tersebar di permukaan tanah. Tikus dan kecoak raksasa di mana-mana. Belum lagi para mutan kurang bersahabat yang kini menguasai dataran. Para manusia yang tersisa menggali, membolongi perbukitan, dan membangun perlindungan di dalamnya.
Itulah premis yang mendasari bergulirnya kehidupan pemain dalam beberapa gim dari seri Fallout setelah perang nuklir antarnegara pecah. Dalam salah satu judulnya, Fallout Shelter, para pemain ditugaskan mengurus permukiman yang fungsional di bawah tanah, membangun ruangan-ruangan baru. Kau bisa menghias berbagai ruangan dengan tema yang mengingatkan akan hidup di muka bumi sebelum ia menjadi wasteland, sebagai pengenang dan pengikat akan masa-masa yang lebih baik. Orang-orang menjalani hari dengan tujuan yang tereduksi, menjadi sekadar bertahan hidup dari hari ke hari.
Fallout Shelter yang bukan judul gim merupakan sesuatu yang nyata. Ruangan tertutup ini dirancang khusus untuk melindungi penghuninya dari puing-puing radioaktif atau curahan nuklir atau mutan dan tikus raksasa. Selter ini mulai dibangun di banyak negara sebagai mekanisme pertahanan sipil sejak Perang Dingin.
Amerika Serikat punya selter atau bungker semacam ini, demikian pula dengan Inggris. Tetapi bukan kedua negara itu yang tampak paling siap mengungsikan para warganya bila, mengutip Nasida Ria, "bom nuklir diledakkan." Negara itu adalah Swiss. Hingga 2006 saja, Swiss memiliki setidaknya 300 ribu selter di rumah, perkantoran, dan rumah sakit, juga 5.100 selter umum. Itu cukup untuk menampung seluruh penduduk dan masih bisa menambah sebagian warga negara lain.
Perang berikutnya memang mungkin terjadi di ranah dagang, digital, atau yang sedang terjadi saat ini, melawan virus. Kendati demikian, peluang meletusnya perang yang melibatkan nuklir atau senjata pemusnah massal tidak pernah benar-benar nol. Kita barangkali perlu memikirkan kemungkinan bakal hidup di dalam bunker.
Namun, untuk berbagai macam alasan, sebagian spesies kita sebenarnya sejak lama telah terbiasa tinggal di bawah tanah.
Underground Sejak Dulu
Kota atau arsitektur masa lampau yang masuk kategori subterranea 'bawah tanah' paling terkenal barangkali adalah Petra di Yordania. UNESCO mendeskripsikannya sebagai "salah satu kekayaan budaya yang paling berharga dari warisan budaya manusia". Petra, dalam bahasa Yunani berarti batu, merupakan kota yang sudah dihuni paling tidak sejak 312 SM oleh orang-orang Arab kuno, Nabateans. Ia dibangun dengan metode rock-cut, menggali batuan padat. Para arkeolog meyakini kota ini awalnya didirikan sebagai sarana untuk mengontrol reservoir alami yang terbentuk di bawahnya, atau mungkin sebagai situs pemakaman.
Seperti halnya Petra, orang-orang di Andalusia, tepatnya di Setenil de las Bodegas, membangun permukiman di bawah batu. Kendati memang tidak bisa dibilang benar-benar "underground" mengingat rumah-rumah di sana terletak di atas permukaan dengan batu-batu raksasa yang menjorok sebagai atapnya.
Struktur besar di bawah tanah (yang berada di bawah permukaan, bukan bebatuan) dibangun sejak abad ke-13 dan baru selesai pada abad ke-19 di Pilsen, Republik Ceko. Jaringan terowongan di bawah tanah mencapai hingga 20 km. Ia digunakan sebagai penyimpanan persediaan makanan, dan tentunya bir—tidak mengherankan, Pilsen merupakan tempat lahirnya merek bir populer: Pilsener.
Pada periode yang sama dengan pembangunan struktur bawah tanah di Pilsen, yakni abad pertengahan, orang-orang di Naours, Prancis mulai menjadikan jaringan bawah tanah tambang kapur milik Romawi sebagai tempat persembunyian. Dengan kapasitas yang sanggup menampung hingga 3.000 orang, jaringan itu dilengkapi tempat-tempat untuk pemujaan, kandang ternak, dan pembuatan roti—cukup memadai untuk disebut sebagai "desa bawah tanah".
Sementara di tengah-tengah Asia Kecil (kini bagian Turki), jaringan bawah tanah yang betul-betul pantas menyandang sebutan "kota underground" berdiri sejak era Kekaisaran Bizantium. Tepat di bawah tanah dataran tinggi gersang Cappadocia, yang lazimnya dikenal dengan formasi bebatuan lancip (fairy chimneys) dan balon-balon udara, berdirilah Derinkuyu. Kota ini menembus 60 meter di bawah tanah dengan kedalaman 11 lantai. Derinkuyu sempat digunakan sebagai tempat perlindungan dari muslim Arab selama Perang Arab-Bizantium berkecamuk (780-1180 M).
Fasilitasnya mencakup kandang ternak, ruang penyimpanan, istal, kapel, bahkan kuburan. Ia diperkirakan pernah mampu menampung 20 ribu orang, dan terhubung ke kota bawah tanah lain, Kaymakli, melalui terowongan sepanjang 8 kilometer.
Jika struktur bawah tanah pada masa lampau kerap digunakan sebagai sarana penyimpanan dan tempat persembunyian, lalu bagaimana dengan masa kini?
Subterran Masa Kini
"Kami pulang dari sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas-tugas kami. Dan kemudian ayah akan menyodorkan jackhammer dan berkata, 'bersiaplah, kita akan membuat kamar tidur lain'," ujar Thomas Hammermeister, salah seorang warga Coober Pedy, Australia.
Area pertambangan batu berharga opal terbesar dunia itu kelewat panas. Meskipun nihil radiasi nuklir dan kecoak raksasa, gurun di selatan Australia itu bukan tempat yang ramah untuk ditinggali manusia. Ridley Scott bahkan sempat menjadikan kawasan itu sebagai latar filmnya, Mad Max Beyond Thunderdome (1985)—pilihan akurat untuk menggambarkan wasteland di dunia pasca-apokalips.
Temperatur di atas tanah Coober Pedy, yang telah ditempati orang-orang Aborigin sejak ratusan tahun, bisa mencapai 50 derajat Celsius. Sementara di bawah tanah hanya berkisar 22 derajat Celsius, dan itu sepanjang tahun.
Kota bawah tanah mulai dibangun pada 1916, ketika opal ditemukan di sana. Hingga saat ini, setidaknya 1.500 orang tinggal di dugouts atau rumah-rumah bawah tanah di gurun tersebut.
Selain opal, kini Coober Pedy juga bergantung pada pariwisata. Di samping mengunjungi situs-situs seperti tambang, gereja, dan bar yang semuanya underground, para turis bisa merasakan bermalam di motel bawah tanah.
Berbeda dengan orang-orang di wasteland Australia, para warga bawah tanah Cina tidak perlu menyiapkan jackhammer untuk membobol tanah demi memperluas tempat tinggal. Rat Tribe, demikian orang-orang ini disebut, mendiami Dixia Cheng, kota bawah tanah Beijing. Satu juta orang diperkirakan hidup di bawah tanah Beijing.
Ruangan-ruangan yang dijadikan tempat bermukim itu telah tersedia sedari lama, mulanya dimaksudkan sebagai selter andai sewaktu-waktu hubungan Soviet-Cina bermuara pada perang nuklir.
"Aku kerap merasa kelelahan. Mungkin karena tidak ada sinar matahari di sini," kata Liu Hao, salah satu penghuni bawah tanah Beijing. Dari film arahan Jia Zhangke, The World (2004), Liu Hao untuk pertama kalinya melihat karakter yang tinggal di ruang bawah tanah. Kini ialah sang karakter tersebut.
Kondisi keuangannya tak memadai untuk memenuhi biaya sewa dan hidup di permukaan Beijing. Biaya sewa 436 yuan (sekitar Rp1 juta) atau setengah saja dari rata-rata biaya sewa di permukaan.
Cina sepertinya tidak butuh tempat perlindungan untuk rakyatnya dalam waktu dekat. Namun, sebagaimana negara Asia lain yang memiliki kota besar, urbanisasi yang kian marak menjadi persoalan yang mendesak. Tempat tinggal bawah tanah tidak pernah benar-benar dilegalkan, tetapi iklan-iklan "indekos" semacam ini tetap saja marak. Dan orang-orang tidak punya banyak pilihan.
Jaringan bawah tanah sudah lebih dari sekadar tempat berlindung dan menyimpan bir. Hari-hari ini, akibat panasnya iklim dan kian mahalnya harga sewa serta berkurangnya lahan, orang-orang mulai mengalihkan pandangannya ke perut bumi. Biaya hidup yang lebih terjangkau jadi prioritas, kendati ketiadaan matahari bikin rasa lelah seperti tak kunjung enyah.
Editor: Rio Apinino