tirto.id - Clay Jensen (17) merupakan seorang remaja putra kutu buku yang jarang bergaul di sekolahnya. Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Hannah Baker (17) yang belum lama pindah ke kotanya dan melanjutkan studi di sekolah yang sama. Cuplikan-cuplikan momen kebersamaan mereka membuat hari-hari Clay lebih berwarna. Sayangnya, kisah kasih itu tak berlangsung lama karena Hannah bunuh diri.
Kedekatan Clay dengan Hannah yang terasa begitu manis berubah 180 derajat mendatangkan paranoia bagi laki-laki tersebut. Seminggu pascakepergian Hannah, Clay mendapat kiriman kaset-kaset berisi rekaman pesan Hannah seputar alasannya mengakhiri hidup, termasuk di dalamnya perundungan siber dan seksual yang dialaminya di lingkungan pergaulan. Sejumlah perilaku teman-teman sekolahnya dikatakan Hannah menjadi pemicu depresi dan gagasan bunuh diri yang dilakukannya.
Clay pun melakukan napak tilas pengalaman hidup Hannah dengan mengikuti segala instruksi yang diutarakan perempuan itu di dalam kaset. Tak pelak, ia menemukan banyak kenyataan pahit yang membuatnya kian empati dengan gadis tersebut.
Itu adalah cuplikan cerita 13 Reasons Why yang tengah marak diperbincangkan di media massa belakangan ini. Saat menonton episode demi episode 13 Reasons Why, penonton akan dibawa menyelami kehidupan pelajar SMA di Amerika Serikat yang tidak bisa dikatakan mudah. Tidak hanya beban akademis saja yang menggelantung di pundak mereka, tetapi juga aneka permasalahan pergaulan yang mendapat porsi besar dalam keseharian orang-orang dalam masa peralihan ini.
Bukan hal yang sulit bagi banyak orang untuk merasa terhubung dengan serial yang diangkat dari novel karangan Jay Asher ini karena perundungan merupakan hal yang jamak ditemukan di sekolah, baik yang disadari maupun tidak disadari. Alasan lainnya, pada era digital seperti sekarang ini, pelecehan dan perundungan online sebagaimana digambarkan dalam serial tersebut tidak terlepas dari hal-hal yang terjadi di kehidupan nyata. Lihat saja adegan Hannah diperolok oleh teman-teman sekolahnya lantaran foto ciuman sesama jenisnya menyebar lewat pesan grup via ponsel.
Meskipun kisah yang diangkat dalam 13 Reasons Why tidak jauh dari kenyataan sehari-hari, sejumlah pihak mengkritisi kehadiran serial ini, bahkan ada pula yang mengecapnya berbahaya serta melarangnya dikonsumsi oleh pelajar-pelajar di beberapa tempat. Dilansir situs People, terdapat adegan-adegan dalam serial yang turut diproduseri penyanyi Selena Gomez ini yang memicu kontroversi seperti pelecehan seksual, perkosaan, konsumsi minuman keras oleh anak di bawah umur, menyetir di bawah pengaruh alkohol, pelecehan bagian tubuh, dan tentunya penggambaran bunuh diri remaja.
National Association of School Psychologists (NASP) menyatakan bahwa serial ini memiliki cara penyampaian cerita yang begitu kuat dan berpotensi mengarahkan penonton untuk meromantisasi keputusan-keputusan yang diambil para tokoh, termasuk balas dendam. “Penonton berkemungkinan mengidentifikasi diri dengan pengalaman yang digambarkan dan menangkap efek yang ditimbulkan dari aksi para tokoh, baik yang disengaja maupun tidak sengaja,” demikian pernyataan lembaga tersebut. NASP berargumen, penelitian menemukan bahwa paparan pengalaman bunuh diri seseorang lewat gambar mampu memicu risiko remaja-remaja bermasalah mental untuk memiliki pikiran atau berupaya mengakhiri hidup.
Beberapa sekolah di Kanada mengambil tindakan preventif terhadap efek buruk yang diasumsikan timbul dari menyaksikan 13 Reasons Why. Seperti dikutip dari Teen Vogue, kepala sekolah St. Vincent Elementary School, Azza Ghali, mengirimkan e-mail yang mengimbau para orangtua murid untuk melarang anak-anaknya membicarakan serial tersebut di sekolah.
Benarkah Budaya Populer Turut Memicu Ide Bunuh Diri Remaja?
Kritik ataupun pelarangan menonton dan membicarakan 13 Reasons Why di kalangan pelajar mengindikasikan adanya kekhawatiran sejumlah pihak bahwa produk budaya populer ini mampu menggiring penontonnya melakukan tindakan-tindakan negatif. Berbagai studi pun dilakukan untuk mencari kebenaran dari asumsi ini.
Salah satu penelitian yang menginvestigasi adanya pengaruh produk budaya populer seperti film terhadap perubahan persepsi penonton tentang bunuh diri dilakukan oleh Biblarz et. al. (1991). Sebanyak 119 mahasiswa usia 18-20 tahun yang tidak pernah memiliki niat bunuh diri berpartisipasi dalam studi mereka dan dibagi ke dalam tiga kelompok: penonton film bertema bunuh diri, film kekerasan, dan film dengan tema netral.
Mereka lantas diberikan serangkaian pernyataan seputar bunuh diri, agresi, dan rangsangan fisiologis yang dapat dijawab sesuai atau tidak setelah menyaksikan film-film yang diberikan sesuai pengelompokan. Beberapa pernyataan terkait bunuh diri dan agresi di antaranya “membunuh diri sendiri bukanlah jalan yang baik untuk meninggalkan masalah hidup” dan “orang-orang yang mengeksplotasi orang lain dan membuat mereka menderita patut dibunuh”. Sementara pernyataan seputar rangsangan “jantung saya berdegup cepat”, “napas saya menjadi tidak teratur”, dan “perut saya terasa mual”.
Dari hasil penelitian Biblarz et. al. yang dipublikasikan dalam jurnal Suicide and Life-Threatening Behavior, tidak ditemukan peningkatan persepsi positif terhadap bunuh diri yang signifikan dari ketiga kelompok tersebut. Meski demikian, mereka menyatakan terdapat peningkatan rangsangan fisiologis terhadap ide bunuh diri yang signifikan setelah kelompok pertama menonton film Surviving—film televisi yang menggambarkan bunuh diri dua remaja yang mengalami masalah keluarga. Secara khusus, mereka yang mengidentifikasi pengalaman diri dengan kisah tragis yang dialami tokoh-tokoh dalam film tentang bunuh diri berpotensi untuk memiliki rangsangan fisiologis yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak merasakan pengalaman serupa.
Temuan penelitian Biblarz et. al. ini mematahkan asumsi penelitian sebelumnya yang dicantumkan dalam buku Suicide Intervention in School (1989) bahwa film Surviving memberikan implikasi terhadap tindakan bunuh diri di kehidupan nyata.
Di lain sisi, terdapat pemberitaan mengenai fenomena bunuh diri remaja yang dipicu dari konsumsi produk budaya populer lainnya yakni social media game. Dilaporkan oleh situs Metro, permainan bernama Blue Whale dikaitkan dengan kematian 130 remaja di Rusia. Dalam social media game ini, pemain diminta untuk menjalankan sejumlah tugas selama 50 hari. Setelah menjalankan tugas-tugas dalam permainan tersebut, pemain didorong untuk memenangi permainan dengan cara membunuh dirinya sendiri. Salah satu pemain Blue Whale yang bunuh diri, Yulia Konstantinova (15) dikabarkan meninggal setelah meninggalkan pesan di media sosialnya yang mengatakan "selesai" selepas ia memublikasikan gambar paus biru yang diasosiasikan dengan permainan tersebut.
Mencari tahu penyebab munculnya niatan atau upaya bunuh diri seseorang memang tidak gampang. Banyak sekali faktor pemicu di luar paparan produk budaya populer atau media massa yang memungkinkan seseorang berpikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri seperti praktik pergaulan atau situasi keluarga.
Meski demikian, tidak dimungkiri besarnya peranan media massa dalam membentuk realitas para konsumennya. Maka itu, penting untuk memilah konten media mana yang baik dan tidak baik untuk dikonsumsi. Salah-salah, seseorang bisa turut arus meromantisasi masalah psikologis atau bunuh diri. Hal ini pada akhirnya bukan membuat situasi lebih baik, melainkan melumrahkan, bahkan cenderung menganggap keren sesuatu yang mestinya ditangani secara serius oleh tenaga-tenaga profesional dan diiringi pendampingan orang-orang terdekat.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti