Menuju konten utama

Seputar Halal Haram Investasi Saham Syariah

Prinsip syariah dalam pasar modal syariah masih diperdebatkan berbagai kalangan ulama. Meski begitu, peminatnya terus bertambah.

Seputar Halal Haram Investasi Saham Syariah
Pialang mengamati pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI). FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma.

tirto.id - Ulama di seluruh dunia masih berdebat dan belum menemukan satu kesepakatan tentang halal atau haram investasi saham, meskipun saham yang ditransaksikan masuk dalam indeks saham syariah. Dalam Towards an Islamic Model of Stock Market yang diterbitkan Jurnal EKAU pada 2002, Seif El-Din I Taj memaparkan masih terdapat unsur gharar dan jahalah dalam transaksi pasar modal, walaupun sudah diberi embel-embel syariah.

Jika diterjemahkan, gharar berarti pertaruhan. Sedangkan jahalah adalah ketidakpastian. Membeli saham dianggap membeli pertaruhan dan ketidakpastian. Sebab nilainya fluktuatif, mereka yang membeli, bisa untung dan bisa rugi ketika saham itu dijual kembali.

Seif Eldin menilai perlu adanya regulasi yang bisa meminimalkan kedua unsur itu. Sebab bagaimanapun, sulit untuk benar-benar menghilangkannya dalam transaksi saham.

Ada juga akademisi ekonomi syariah yang beranggapan bahwa unsur gharar dan jahalah dalam jual beli saham masih bisa diterima. Dalam bukunya berjudul An Introduction to Islamic Finance: Theory and Practice yang terbit tahun 2007, Zamir Iqbal menyatakan transaksi saham didasarkan pada analisis fundamental atas variabel ekonomi. Jadi, ia bukan spekulasi murni.

Selain perdebatan tentang adanya unsur pertaruhan dan ketidakpastian itu, ada juga perdebatan tentang praktik short selling atau jual beli dalam waktu singkat. Praktik ini biasanya dilakukan oleh para trader yang membeli ketika harga saham turun, lalu segera menjual ketika harganya naik. (Baca: Tak Harus Kaya Raya untuk Investasi Saham).

Sampai saat ini, belum ada satu kesepakatan global tentang praktik ini, baik di lembaga keuangan Islam, maupun di kalangan praktisi ekonomi Islam. Di Indonesia, praktik ini jelas dilarang oleh Dewan Syariah Nasional. Di Malaysia, short selling legal. Alasan Shari'ah Advisory Council (SAC) of Malaysian Securities Commission melegalkan ini adalah ia dipercaya memperkuat efisiensi dan meningkatkan daya saing pasar modal.

Infografik Saham Berbasis Syariah

Terlepas dari perdebatan tentang halal haramnya, indeks saham syariah di Indonesia terus berkembang. Tahun 2000, PT Bursa Efek Indonesia dan PT Danareksa Invesment Management membentuk Jakarta Islamic Index (JII). Setiap periodenya, ada 30 saham yang masuk dalam daftar indeks ini.

Saat pertama kali dibuka, kapitalisasi pasar JII hanya Rp74,26 triliun. Sampai September tahun ini, nilai kapitalisasi pasarnya sudah mencapai Rp2.215 triliun. Semakin besar kapitalisasi pasar menunjukkan semakin banyak jumlah investor yang membeli saham syariah.

Selain JII, Indonesia juga punya Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI). Berbeda dengan JII yang hanya terbatas pada 30 emiten syariah, ISSI berisi seluruh perusahaan yang terdaftar di bursa dan memenuhi kriteria syariah.

Saat pertama kali dibuka pada tahun 2011, kapitalisasi pasar ISSI berada di angka Rp1.968 triliun. Untuk periode Desember 2016 hingga Mei 2017, ada 331 emiten yang lolos kriteria saham syariah. Penentuan masuk tidaknya emiten dalam daftar ini ada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Untuk periode terbaru ini, tercatat 13 emiten yang sebelumnya masuk dalam ISSI, namun sekarang dikeluarkan. Mereka adalah PT Alumindo Ligt Metal Industry Tbk, PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Surya Esa Perkasa Tbk, Graha Andrasenta Propertindo Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PT Modernland Realty Tbk, PT Nirvana Development Tbk, PT Prima Alloy Steel Universal Tbk, PT Roda Vivatex Tbk, PT Surya Citra Media Tbk, PT Sillo Maritime Perdana Tbk, PT Sorini Agro Asia Corporindo Tbk, dan PT Sigmagold Inti Perkasa Tbk.

Ada pula 33 emiten baru yang masuk dalam daftar ISSI, di antaranya PT Aneka Gas Industri Tbk, PT Gajah Tunggal Tbk, dan PT Golden Eagle Energy Tbk.

Dibandingkan ISSI, JII lebih spesifik. Posisi JII terhadap ISSI seperti posisi LQ45 terhadap IHSG. Penentuan kriteria dalam pemilihan saham dalam JII melibatkan Dewan Pengawas Syariah. Ada empat syarat yang harus dipenuhi. Pertama, emiten tidak menjalankan perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang. Kedua, emiten bukanlah lembaga keuangan konvensional yang menerapkan sistem riba, termasuk perbankan dan asuransi konvensional.

Ketiga, emiten tidak menjalankan usaha yang memproduksi, mendistribusikan, dan memperdagangkan makanan atau minuman haram. Terakhir, emiten tidak memproduksi dan mendistribusikan barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

Selain empat kriteria itu, dilihat juga laporan keuangannya. Hanya perusahaan dengan rasio kewajiban terhadap aktiva maksimal sebesar 90 persen yang boleh masuk dalam daftar ini.

Beda indeks, beda aturan. Dow Jones di Amerika mematok syarat rasio utang terhadap kapitalisasi pasar harus kurang dari 33 persen. Rasio piutang terhadap total aset juga harus lebih kecil dari 50 persen. Financial Times Stock Exchange (FTSE) Global Islamic Index mematok standar lebih ketat. Rasio utang terhadap total aset harus kurang dari 33,3%.

Dari segi mekanisme transaksi, tak ada bedanya dengan transaksi saham konvensional. Investor saham syariah juga harus berpedoman pada indeks dan pergerakan harga saham serta dengan menggunakan analisis teknikal dan fundamental.

Agar lebih afdal, investor saham syariah tentu harus menggunakan dua analisis itu. Sebab analisis teknikal biasanya lebih sering digunakan para trader, dan menurut Dewan Syariah Nasional pratik itu tidaklah halal.

Baca juga artikel terkait SYARIAH atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti